Kita sering mendengar julukan tenaga kerja Indonesia (TKI) sebagi pahlawan devisa. Namun kenapa sebagai pahlawan, nasib mereka memprihatinkan dan perlindungan hukum terhadap mereka minim?
Iklan
Semakin banyak penghasilan yang dibawa oleh para buruh migran kembali ke tanah air, maka akan semakin besar pula kontribusi mereka terhadap pertumbuhan devisa. Jika devisa negara meningkat, ini berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Itu sebanya peran buruh migran sangat penting.
Bertolak belakang dari arti pentingnya peranan mereka, kenyataan di lapangan menunjukkan, hingga saat ini, nasib para pekerja Indonesia di manca negara, masih saja memprihatinkan. Lembaga pemerhati buruh migrant, Migrant Care mencatat, lebih dari 200 buruh migran kini menghadapi ancaman hukuman mati. Sebagian besar di antaranya, berada di Malaysia, sebagian lagi di Arab Saudi, sisanya di Qatar, Singapura, dan lain-lain.
Blog pegiat hak asasi manusia, Atnike Sigiro dalam kolom #DWNesia, selain menyoroti hak hidup pekerja migran, juga mengritik bagaimana buruknya perlakuan masyarakat dan pemerintah terhadap mereka. Sementara itu, pegiat perlindungan buruh migran yang merupakan pendiri Migrant Care, Wahyu Susilo mendesak perlindungan negara terhadap para pahlawan devisa tersebut. Jika pemerintah mengaku dapat menyelesaikan persoalan Timur Tengah, khususnya Palestina, menurut Wahyu, seharusnya pemerintahpun dapat menyelesaikan persoalan buruh migran, dari hulu ke hilir.
Pemerintah diharapkan lebih serius menghadirkan Nawacita bagi pekerja migran, dengan menjamin perlindungan dan rasa aman pada seluruh warga negara, termasuk warganya di manca negara.
Sementara, di sisi lain, pengamat masalah Timur Tengah, Sumanto al Qurtuby beranggapan, persoalannya bukan hanya pada masyarakat ataupun pemerintah negara penerima dan pengirim, melainkan juga kesadaran hak dan kewajiban dari buruhnya sendiri. Misalnya, dalam mematuhi peraturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Adakah di antara Sahabat DW yang juga merupakan pekerja migran? Bagaimana pendapat Sahabat DW mengenai perlindungan nasib para buruh migran? Sampaikan pendapatmu dalam rubrik #DWNesia di laman facebook DW Indonesia. Ikuti diskusinya di twitter @dw_indonesia dengan menyertakar tagar #DWNesia.
Anak Terlantar dari "Negeri Tanpa Orangtua"
Ribuan anak-anak di Republik Moldova harus mengurus diri sendiri tanpa orang tua yang bekerja di luar negeri untuk mencari nafkah. Kisahnya kini didokumentasikan oleh seorang fotografer Jerman.
Foto: Andrea Diefenbach
"Negeri Tanpa Orangtua"
Olga, Sabrina dan Carolina harus mengurus diri sendiri selama tiga tahun. Selama itu ibunya bekerja sebagai perawat di Italia. Ia terpaksa tidur di atas tempat tidur lipat di koridor rumah majikannya. "Negeri tanpa orangtua" karya fotografer Andrea Diefenbach, menceritakan kisah anak-anak di Republik Moldova yang hidup terpisah dari orang tuanya.
Foto: Andrea Diefenbach
Kepala Keluarga Berusia 12 Tahun
Olga yang tertua di antara saudaranya, "mengambilalih tugas ibu. Membuat keju, memanggang roti dan memastikan kedua adiknya pergi besekolah," kata Diefenbach. Kemandirian yang lahir dari kemiskinan itu mendominasi foto yang dibuat oleh sang fotografer.
Foto: Andrea Diefenbach
"Mama, jangan lupakan kami!"
Begitulah kalimat yang sering diucapkan Carolina setiap kali berbicara dengan ibunya lewat telepon. "Pada dasarnya anak-anak itu bisa hidup dengan situasi seperti ini," ujar Diefebach. "Tapi keluarga mulai mengalami keretakan. Dampaknya mungkin baru akan terasa setelah 20 tahun, ketika anak-anak ini menjadi dewasa," imbuhnya.
Foto: Andrea Diefenbach
Bantuan dari Nenek
Orangtua Cătălina juga bekerja di luar negeri. Tapi ia beruntung karena diurus oleh sang nenek. Keutuhan keluarga kerap menjadi barang langka di negara bekas Uni Sovyet itu. Menurut Bank Dunia, seperempat penduduk Moldova mencari rejeki di luar negeri. Kebanyakan tidak memiliki izin tinggal yang legal.
Foto: Andrea Diefenbach
Pesan Sayang dari Kejauhan
Orangtua secara berkala mengirimkan paket kepada anak-anaknya. Terkadang berisikan Popcorn, atau apel yang dibeli di sebuah supermarket di Italia. "Rasanya mungkin tidak seenak apel segar dari Moldova, tapi paket ini adalah satu-satunya kesempatan orangtua untuk menunjukkan rasa sayangnya."
Foto: Andrea Diefenbach
Tujuh Tahun Terpisah
Ludmilla, yang melakoni enam pekerjaan sebagai petugas kebersihan di Italia, harus hidup berpisah dari putranya, Slavek selama tujuh tahun. Karena tidak memiliki izin tinggal, kebanyakan orangtua tidak bisa mengunjungi anak-anaknya. Karena sekali melintas perbatasan, mereka terancam tidak bisa kembali. Ludmilla sebaliknya mendapat izin tinggal dan bisa mengundang sang anak untuk tinggal bersamanya
Foto: Andrea Diefenbach
Membanting Tulang di Negeri Orang
Alyona dan Vanya menafkahi kedua anaknya dengan bekerja sebagai buruh panen di ladang melon di Italia. Mereka berbicara setiap hari lewat telepon. Jika hujan turun, pekerjaan pun menghilang dan mengurangi upah harian yang sejak awal sudah minim.
Foto: Andrea Diefenbach
Menjaring Simpati
"Saya berharap, lewat foto-foto ini penduduk makmur di Eropa Barat bisa merenung, apakah mungkin pembantu asing mereka punya anak dan seperti apa kehidupannya," kata Andrea Diefenbach. "Kasih sayang orangtua bisa menjaring simpati semua orang."
Foto: Andrea Diefenbach
Berkelana dengan Sebuah Foto
Orangtua yang berkisah lewat Diefenbach "tidak punya pilihan," selain melihat foto anaknya untuk mengobati rasa rindu. "Mereka tidak tahu, bagaimana bisa membeli perlengkapan sekolah untuk semester depan." Republik Moldova adalah salah satu negara termiskin di Eropa, dengan pendapatan rata-rata 200 Euro per bulan.
Foto: Andrea Diefenbach
"Tanpa Emosi Palsu"
Untuk proyeknya "Negeri tanpa Orangtua", Andrea Diefenbach mendapat penghargaan "N-Ost" 2012 silam. "Gambar-gambarnya berkesan kuat tanpa emosi palsu dan menunjukkan kesenjangan ekonomi di Eropa," kata anggota juri, Lars Bauernschmitt, Professor Fotografi Jurnalistik dan Dokumenter di Hannover.
Foto: Andrea Diefenbach
Memahami Kehidupan
Andrea Diefenbach juga memublikasikan bukunya di Moldova. "Banyak orang terkejut bagaimana kerasnya kehidupan sanak saudaranya di luar negeri. Karena mereka cuma mengenal paket berisikan makanan dan baju baru," ujarnya.