1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Konflik

IS dan Al-Qaeda Anggap Wabah Corona Sebagai Peluang

3 April 2020

Saat sebagian kelompok teror mengakui ancaman wabah Corona bagi umat Islam, beberapa memboncengi bencana demi merekrut pejuang baru atau melancarkan serangan teror. Perang senyap itu kini sedang berkecamuk di Afrika

Serdadu Perancis di Afrika.
Serdadu Perancis di Afrika.Foto: picture-alliance/AP Photo/J. Delay

Hari-hari ini peringatan tentang bahaya wabah virus corona mengalir kencang dari kanal propaganda Islamic State - ISIS dan Al-Qaeda. Pesan itu bercampur kalimat serapah, bahwa virus corona ‘diturunkan’ sebagai azab bagi kaum kafir. 

Al Qaida dalam surat edaran yang diterbitkan Selasa (31/3) silam, mengimbau kaum muslim agar memanfaatkan waktu di masa karantina utuk mendalami Islam. Sebaliknya, ISIS melalui kanal al-Naba mendesak pengikutnya agar tidak memberi belas kasih dan justru melancarkan serangan di tengah krisis kesehatan. 

Sebab itu lembaga riset International Crisis Group (ICG) mewanti-wanti bahwa pandemi Covid-19 bisa memperlemah jejaring keamanan global untuk meredam ancaman teror, dan “mempermudah kaum jihadis menyiapkan serangan yang spektakuler,” tulis LSM asal Belgia tersebut. 

Meski demikian ICG menilai terlalu dini untuk menyimpulkan kelompok mana yang aktif memanfaatkan krisis corona untuk menebar teror.  

Musim Teror di Tengah Wabah Corona

Namun begitu akhir Maret lalu kelompok teror di Afrika melancarkan serangan paling mematikan terhadap aparat keamanan di Chad, yang menewaskan 92 serdadu di perbatasan Nigeria dan Niger.  

Chad termasuk negara yang berkontribusi besar dalam perang melawan teror di Afrika. 

Di Mesir, dua pejabat militer mengaku pihaknya mencatat eskalasi serangan teror oleh Islamic State di utara Semenanjung Sinai pada bulan Maret. Keduanya tidak bersedia menyebut nama lantaran dilarang berbicara dengan media. 

Sebaliknya situasi di Suriah dan Irak cenderung stabil. Meski begitu risiko keamanan meningkat, karena koalisi militer AS menghentikan aktivitasnya di Irak dan berniat menarik pasukan dari sejumlah pangkalan akibat eskalasi wabah. 

Langkah serupa diyakini akan diambil oleh negara lain yang masih menempatkan serdadu di Timur Tengah.  

ICG menyimpulkan sikap pasif koalisi barat akan membuka celah keamanan yang bisa dimanfaatkan kelompok teror. 

Ancaman itu kini dirasakan di sejumlah wilayah Afrika, seperti lawasan Sahel, danau Chad dan Somalia, di mana militer AS telah menarik mundur sejumlah besar pasukannya.  

Kesempatan bagus untuk tarik pasukan 

“Setiap negara yang ingin menarik mundur pasukannya dari Afrika akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukannya,“ kata Clionadh Raleigh yang memimpin lembaga pendataan konflik bersenjata di Afrika. 

“Situasinya akan sangat buruk,“ pungkasnya. 

Jurubicara komando militer AS di Afrika mengakui adanya penyusutan jumlah pasukan. “Langkah untuk memastikan keselamatan pasukan koalisi,“ kata Letnan Christina Gibson. “Tapi komitmen kami untuk Afrika tetap sama,“ imbuhnya kepada kepada kantor berita AP. 

Selain AS, Inggris juga menghentikan misi pelatihan anti-teror di Kenya dan memulangkan semua pasukan dan keluarga. 

Sejauh ini hanya Perancis yang masih mempertahankan pasukannya yang berjumlah 5.100 personil di Barkhane, Sahel. Padahal empat orang serdadu sudah dites positif mengidap COVID-19

Militer Perancis memastikan situasi wabah belum berdampak pada aktivitas mereka di kawasan.  

Militer negara-negara Afrika di kawasan teror yang sudah menipis dan babak belur oleh perang, diyakini juga akan mengurung diri jika wabah corona menyergapi pasukannya. 

Hal ini sudah bisa dilihat di Nigeria. Militer yang sedang berjuang melawan kelompok ekstremis Boko Haram dan Islamic State, harus menunda sebagian besar operasinya untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2.  

Sebuah memo dari kepala kepolisian yang bocor ke publik menginstruksikan agar kendaraan dinas digunakan untuk mengantar pasien ke rumah sakit, atau membawa jenazah ke pemakaman. 

Tidak hanya aparat keamanan, lembaga pemasyarakatan berpeluang dijadikan sasaran serangan, kata Laith Alkhouri, penasehat anti terorisme di Afrika Barat. Menurut dia kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan IS dan Al-Qaida mengubah Sahel menjadi kawasan teror paling berdarah di Afrika, antara lain dengan cara menjalin aliansi – sesuatu yang tidak lazim bagi kedua kelompok. 

“Adapun mesin propaganda kelompok teror berusaha memboncengi wabah Covid-19 untuk menyebar rasa permusuhan kepada pemerintah, dengan alasan kebijakan kesehatan yang buruk“, imbuh Alkhouri. 

Tunda Konflik demi Kemaslahatan Bersama

Uniknya, sejumlah kelompok mengindikasikan ikut terimbas wabah Corona dan berusaha memahami mekanika penularan untuk melindungi diri.

Dalam sebuah pertemuan lima hari yang tergolong langka, petinggi al-Shabbab yang berafiliasi dengan Al-Qaeda menyepakati ancaman wabah Corona bagi seluruh umat Islam di dunia.

Kepada kenator berita AP, seroang jurubicara al-Shabbab mengatakan terlalu dini untuk berspekulasi tentang apakah kelompoknya akan menaati imbauan PBB untuk menghentikan perang yang masih berkecamuk hingg kini.

Adapun di Afghanistan, Taliban yang sedang kembali bertransformasi menjadi kekuatan politik, menyebar kampanye sosial tentang bahaya Corona dan menyumbangkan masker dan sabun untuk penduduk. Petinggi Taliban juga menjamin keamanan semua organisasi bantuan yang datang untuk membantu korban.

„JIka wabah merajalela di daerah yang kami kontrol, maka kami akan berhenti berperang di area tersebut,“ kata Jurubicara Taliban Zabihullah Mujahed.

Sumber: ap, afp, rtr, (rzn/as)

 

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya