1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

IS: Penjahat di Balik Topeng Agama

Dr. Kersten Knipp/rzn/hp19 Agustus 2015

Kebrutalan Islamic State masih terus menghantui. Tindak tanduk kelompok teror itu menunjukkan bahwa mereka adalah gerakan atheis paling sinis dalam sejarah modern. Komentar Kersten Knipp.

Symbolbild Islamischer Staat
Foto: picture-alliance/AP Photo

Bagaimana logika kejahatan berbentuk, bisa dilihat dari banalitas di lapangan. Setahun silam kelompok Islamic State menyerbu pemukiman kelompok Yazidi. Ribuan dibantai. Perempuan diculik, diperkosa dan dijual sebagai budak. Ampun cuma diberikan buat mereka yang mau masuk Islam.

"Kami dulu hidup di dalam kegelapan," kata salah seorang yang dipaksa pindah agama. "Sekarang kami hidup dalam cahaya." Ungkapan yang terakhir mencerminkan keyakinan kelompok teror tersebut.

Karena siapapun yang hidup dalam "cahaya" boleh bertindak apapun. Al-Quran dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga memberikan dalih untuk pencurian, pembunuhan dan pemerkosaan atas dasar agama.

"Kami adalah dewa kalian"

"Mereka melakukan hal-hal keji terhadap kami," kata seorang warga Yazidi yang berhasil melarikan diri. Bukti-bukti lain mengungkap derita yang mereka alami. Bahkan bocah perempuan berusia tujuh atau delapan tahun dijual kepada pria paruh baya.

Seorang perempuan Yazidi melaporkan, dirinya dijual sebanyak 20 kali. Ketika ia mencari perlindungan pada agama, gerilayawan IS mencibir. "Lupakan agama kalian," seru salah satu pelaku pemerkosa, "kami adalah dewa kalian."

Sebaris kalimat tersebut menunjukkan kuasa yang mereka hadiahkan untuk diri sendiri. IS adalah gerakan atheis paling sinis dalam sejarah modern. Mereka tidak menyembah Tuhan, melainkan berperan sebagai penguasa semesta.

Memanfaatkan Peluang

IS adalah organisasi internasional. Anggota dan simpatisannya berasal dari berbagai negara di dunia. Mereka pun memiliki ideologi politis yang berbeda-beda. Sebagian tumbuh di sistem demokratis, yang lain hidup di bawah payung diktatur dan sistem otoriter lain.

Artinya biografi anggota IS tidak bisa disatukan dalam satu atap. Terutama teori yang menyebut bahwa kaum jihadis berperang karena tidak adanya pengakuan sosial dan budaya dari lingkungan asalnya.

Sederhananya, mereka menjadi brutal karena diberikan kesempatan. Mereka membunuh, memerkosa dan menyiksa manusia karena mereka mampu memanipulasi agama untuk membenarkan tindakan keji tersebut.

Maka IS bukan cuma lawan militer, melainkan juga musuh ideologi. Sebab itu ulama dan tokoh Islam, terutama dari kelompok Sunni, menghadapi tantangan besar, yakni mengungkap akar tak bertuhan kelompok Islamic State.


Dr. Kersten Knipp adalah wartawan senior Jerman dan sejak 10 tahun malang melintang di dunia Arab. Saat ini Knipp bekerja untuk berbagai media, termasuk di antaranya Deutsche Welle.