1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Ishiguro, Murakami, dan Kita

10 Oktober 2017

Kazuo Ishiguro raih Nobel Sastra tahun ini. Bagaimana dengan karya sastra Indonesia? Untuk memperkenalkan karya-karya terbaik kita dan bersaing dengan karya-karya terbaik dunia saat ini, jalan panjang masih terbentang.

UK PK des  japanischen Schriftstellers Kazuo Ishiguro in London
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Grant

Tahun lalu, pengumuman musisi Bob Dylan sebagai pemenang Nobel Sastra memicu kontroversi. Tak seperti kemenangan Dylan setahun silam, kemenangan Kazuo Ishiguro sebagai pemenang Nobel Sastra tahun ini tidak kontroversial karena dia termasuk pengarang kelas atas yang telah meraih berbagai penghargaan meski dia tidak diunggulkan. Media massa, para pemerhati sastra, dan bursa taruhan lebih mengunggulkan Haruki Murakami, Margaret Atwood, dan Ngugi Wa Thiong'o.

Walau berdarah Jepang, sejak usia 5 tahun Ishiguro menetap di Inggris dan kini menjadi warga negara Inggris. Semua karya penulis kelahiran Nagasaki 62 tahun silam ini pun—delapan buku, sebagian besar novel—ditulis dalam bahasa Inggris.

Akademi Swedia sebagai panitia Nobel Sastra diwakili juru bicaranya, Sara Danius, memuji Ishiguro sebagai penulis yang "dalam novel-novel yang mengandung kekuatan emosional luar biasa berhasil menyingkap jurang di balik ilusi kita atas keterhubungan dengan dunia". Dengan kemenangannya, Ishiguro berhak atas hadiah sebesar 9 juta Kronor atau sekitar 15 miliar Rupiah. Naik sejuta Kronor dari hadiah tahun lalu.

Penulis: Anton Kurnia Foto: privat

Menanggapi kemenangannya, Ishiguro menyatakan bahwa itu kehormatan besar. Dia berharap Hadiah Nobel bisa menjadi kekuatan kebaikan. "Dunia berada dalam saat yang tak pasti dan saya berharap seluruh Hadiah Nobel bisa menjadi kekuatan untuk sesutau yang positif di dunia ini," katanya kepada para wartawan.

Karya-karya Ishiguro telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Ada empat novelnya yang telah diterbitkan di sini, yaitu The Remains of the Day, Never Let Me Go, When We Were Orphans, dan An Artist of the Floating World.

Sepuluh tahun silam, saya diminta menjadi pembicara dalam diskusi novel The Remains of the Day edisi terjemahan Bahasa Indonesia di sebuah toko buku di Jakarta yang kini sudah tutup. Novel ketiga Ishiguro yang menyabet Booker Prize 1989 itu adalah kisah cinta yang subtil dan berakhir sedih. Tokoh utamanya adalah Stevens, seorang kepala pelayan di keluarga Lord Darlington, dan Miss Kenton, pengurus rumah tangga di tempat yang sama. Mereka saling tertarik, tapi Stevens tak punya keberanian untuk menyatakan perasaannya.

Novel itu tentu saja tak hanya membahas kisah cinta yang sedih, tapi juga bisa dibaca sebagai krtitik terhadap feodalisme dan kapitalisme yang membuat ada kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Stevens menjadi korban sebagai kelas pelayan yang seumur hidup harus mengabdi kepada majikan sehingga mengorbankan kehidupan dan kebahagiaan pribadinya.

Sayangnya, novel-novel Ishiguro tidak termasuk laris di Indonesia. The Remains of the Day tidak dicetak ulang karena penerbitnya kini sudah tutup. Tiga novelnya yang diterbitkan penerbit lain malah sudah diobral sebagai buku murah lewat setahun setelah terbit.

Bukan Murakami

Sisi lain yang menarik dari penganugerahan Nobel Sastra tahun ini adalah "kekalahan” Haruki Murakami dari sesama pengarang kelahiran Jepang. Setidaknya sudah lima tahunan belakangan ini Murakami disebut-sebut sebagai kandidat kuat pemenang Nobel Sastra. Namun, selalu tidak beruntung.

Uniknya, 4 tahun silam, saat mempromosikan novelnya di Inggris, Murakami sempat ditanya wartawan Guardian siapa pengarang favoritnya dan dia menjawab salah satunya Kazuo Ishiguro. "Menurut saya dia mengabdikan dirinya untuk menulis,” komentar Murakami.

Murakami sendiri sosok fenomenal. Bukunya laris di berbagai negara dan dia punya banyak penggemar fanatik. Novel terakhirnya, The Colorless Tsukuru Tazaki and His Pilgrimage Years (2013), terjual sejuta eksemplar hanya dalam dua minggu di Jepang. Di sisi lain, banyak kritikus memuji karyanya.

Berbeda dengan gaya Ishiguro yang subtil, kalem, lambat, penuh simbol, dan sangat Inggris meski dia sesungguhnya orang Jepang, gaya Murakami yang menulis tentang tokoh orang Jepang dalam bahasa Jepang terasa lebih lugas.

Awal tahun ini terbit buku terbaru Murakami dalam terjemahan bahasa Inggris, sebuah kumpulan cerita panjang. Judulnya tentu saja dicuri dari kumpulan cerita Hemingway yang terbit abad lalu: Men Without Women. Judul ini amat menggambarkan hidup para tokoh lelaki dalam karya Murakami. Seperti dalam banyak novelnya, cerita-cerita di buku ini menggunakan rumus serupa yang khas Murakami: alusi pada musik klasik, jazz, dan The Beatles, kucing, perempuan yang hilang tiba-tiba, dan keterikatan tersembunyi dengan Kafka.

Berbeda dengan novel-novel Ishiguro yang kurang diminati di Indonesia, karya-karya Murakami bisa dibilang cukup laris dan berkali-kali dicetak ulang, antara lain Norwegian Wood, Dengarlah Nyanyian Angin, IQ84, Dunia Kafka, dan What We Talk About When We Talk About Running.

Fenomena ini tentu saja tidak berarti karya Murakami lebih baik daripada Ishiguro. Minat pasar dan kualitas karya adalah dua hal berbeda. Ini hanya membuktikan bahwa penggemar Murakami di Indonesia lebih banyak ketimbang pembaca Ishiguro.

Kawan saya, Yuliani Liputo, seorang editor dan penerjemah yang pernah tinggal di Jepang, menyatakan, "Buat saya, dibanding Kazuo, tetap lebih menarik Murakami. Tak apa-apa tak dapat Nobel, tapi dapat cinta luar biasa dari para pembaca setianya.”

Kapan Giliran Kita?

Ishiguro adalah pemenang Nobel Sastra ke-110 sejak diberikan kali pertama pada 1901. Sayangnya, selama lebih seabad sejarahnya tak satu pun penulis Indonesia yang berhasil meraih penghargaan prestisius ini. Pada masa lalu nama Pramoedya Ananta Toer sempat disebut sebagai kandidat pemenang Nobel Sastra. Setelah Pramoedya wafat, belum ada lagi nama pengarang Indonesia yang masuk bursa pemenang. Salah satu syarat pemenang adalah yang bersangkutan masih hidup saat pengumuman.

Siapakah pengarang kita yang berpeluang meraih Nobel Sastra? Di masa depan mungkin kita bisa berharap kepada Eka Kurniawan yang belakangan karya-karyanya mendapat sorotan dunia, mendapat penghargaan internasional, dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa. Tahun ini misalnya, novel Eka, Cantik Itu Luka, diterbitkan di Islandia dan Swedia—markas panitia Nobel.

Untuk memperkenalkan karya-karya terbaik kita dan bersaing dengan karya-karya terbaik dunia saat ini, jalan panjang masih terbentang. Banyak yang harus dikerjakan. Salah satunya dengan mengupayakan agar lebih banyak lagi karya para pengarang kita diterjemahkan dengan baik, diterbitkan secara luas, dan diapresiasi cukup layak di luar negeri.

Penulis:

Anton Kurnia

pembaca dan penulis