Kazuo Ishiguro raih Nobel Sastra tahun ini. Bagaimana dengan karya sastra Indonesia? Untuk memperkenalkan karya-karya terbaik kita dan bersaing dengan karya-karya terbaik dunia saat ini, jalan panjang masih terbentang.
Iklan
Tahun lalu, pengumuman musisi Bob Dylan sebagai pemenang Nobel Sastra memicu kontroversi. Tak seperti kemenangan Dylan setahun silam, kemenangan Kazuo Ishiguro sebagai pemenang Nobel Sastra tahun ini tidak kontroversial karena dia termasuk pengarang kelas atas yang telah meraih berbagai penghargaan meski dia tidak diunggulkan. Media massa, para pemerhati sastra, dan bursa taruhan lebih mengunggulkan Haruki Murakami, Margaret Atwood, dan Ngugi Wa Thiong'o.
Walau berdarah Jepang, sejak usia 5 tahun Ishiguro menetap di Inggris dan kini menjadi warga negara Inggris. Semua karya penulis kelahiran Nagasaki 62 tahun silam ini pun—delapan buku, sebagian besar novel—ditulis dalam bahasa Inggris.
Akademi Swedia sebagai panitia Nobel Sastra diwakili juru bicaranya, Sara Danius, memuji Ishiguro sebagai penulis yang "dalam novel-novel yang mengandung kekuatan emosional luar biasa berhasil menyingkap jurang di balik ilusi kita atas keterhubungan dengan dunia". Dengan kemenangannya, Ishiguro berhak atas hadiah sebesar 9 juta Kronor atau sekitar 15 miliar Rupiah. Naik sejuta Kronor dari hadiah tahun lalu.
Menanggapi kemenangannya, Ishiguro menyatakan bahwa itu kehormatan besar. Dia berharap Hadiah Nobel bisa menjadi kekuatan kebaikan. "Dunia berada dalam saat yang tak pasti dan saya berharap seluruh Hadiah Nobel bisa menjadi kekuatan untuk sesutau yang positif di dunia ini," katanya kepada para wartawan.
Karya-karya Ishiguro telah diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa, termasuk Bahasa Indonesia. Ada empat novelnya yang telah diterbitkan di sini, yaitu The Remains of the Day, Never Let Me Go, When We Were Orphans, dan An Artist of the Floating World.
Sepuluh tahun silam, saya diminta menjadi pembicara dalam diskusi novel The Remains of the Day edisi terjemahan Bahasa Indonesia di sebuah toko buku di Jakarta yang kini sudah tutup. Novel ketiga Ishiguro yang menyabet Booker Prize 1989 itu adalah kisah cinta yang subtil dan berakhir sedih. Tokoh utamanya adalah Stevens, seorang kepala pelayan di keluarga Lord Darlington, dan Miss Kenton, pengurus rumah tangga di tempat yang sama. Mereka saling tertarik, tapi Stevens tak punya keberanian untuk menyatakan perasaannya.
Novel itu tentu saja tak hanya membahas kisah cinta yang sedih, tapi juga bisa dibaca sebagai krtitik terhadap feodalisme dan kapitalisme yang membuat ada kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Stevens menjadi korban sebagai kelas pelayan yang seumur hidup harus mengabdi kepada majikan sehingga mengorbankan kehidupan dan kebahagiaan pribadinya.
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.
Foto: DW/R. Nugraha
9 foto1 | 9
Sayangnya, novel-novel Ishiguro tidak termasuk laris di Indonesia. The Remains of the Day tidak dicetak ulang karena penerbitnya kini sudah tutup. Tiga novelnya yang diterbitkan penerbit lain malah sudah diobral sebagai buku murah lewat setahun setelah terbit.
Bukan Murakami
Sisi lain yang menarik dari penganugerahan Nobel Sastra tahun ini adalah "kekalahan” Haruki Murakami dari sesama pengarang kelahiran Jepang. Setidaknya sudah lima tahunan belakangan ini Murakami disebut-sebut sebagai kandidat kuat pemenang Nobel Sastra. Namun, selalu tidak beruntung.
Uniknya, 4 tahun silam, saat mempromosikan novelnya di Inggris, Murakami sempat ditanya wartawan Guardian siapa pengarang favoritnya dan dia menjawab salah satunya Kazuo Ishiguro. "Menurut saya dia mengabdikan dirinya untuk menulis,” komentar Murakami.
Murakami sendiri sosok fenomenal. Bukunya laris di berbagai negara dan dia punya banyak penggemar fanatik. Novel terakhirnya, The Colorless Tsukuru Tazaki and His Pilgrimage Years (2013), terjual sejuta eksemplar hanya dalam dua minggu di Jepang. Di sisi lain, banyak kritikus memuji karyanya.
Berbeda dengan gaya Ishiguro yang subtil, kalem, lambat, penuh simbol, dan sangat Inggris meski dia sesungguhnya orang Jepang, gaya Murakami yang menulis tentang tokoh orang Jepang dalam bahasa Jepang terasa lebih lugas.
Awal tahun ini terbit buku terbaru Murakami dalam terjemahan bahasa Inggris, sebuah kumpulan cerita panjang. Judulnya tentu saja dicuri dari kumpulan cerita Hemingway yang terbit abad lalu: Men Without Women. Judul ini amat menggambarkan hidup para tokoh lelaki dalam karya Murakami. Seperti dalam banyak novelnya, cerita-cerita di buku ini menggunakan rumus serupa yang khas Murakami: alusi pada musik klasik, jazz, dan The Beatles, kucing, perempuan yang hilang tiba-tiba, dan keterikatan tersembunyi dengan Kafka.
Berbeda dengan novel-novel Ishiguro yang kurang diminati di Indonesia, karya-karya Murakami bisa dibilang cukup laris dan berkali-kali dicetak ulang, antara lain Norwegian Wood, Dengarlah Nyanyian Angin, IQ84, Dunia Kafka, dan What We Talk About When We Talk About Running.
Fenomena ini tentu saja tidak berarti karya Murakami lebih baik daripada Ishiguro. Minat pasar dan kualitas karya adalah dua hal berbeda. Ini hanya membuktikan bahwa penggemar Murakami di Indonesia lebih banyak ketimbang pembaca Ishiguro.
Kawan saya, Yuliani Liputo, seorang editor dan penerjemah yang pernah tinggal di Jepang, menyatakan, "Buat saya, dibanding Kazuo, tetap lebih menarik Murakami. Tak apa-apa tak dapat Nobel, tapi dapat cinta luar biasa dari para pembaca setianya.”
Kesempatan Emas bagi Sastra Indonesia
Tahun 2015, menjadi terobosan baru dalam karya sastra Indonesia. Indonesia akan menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurter Buchmesse, ajang pameran buku bergengsi di dunia, yang diselenggarakan tiap tahun di Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Acara Serah Terima
Serah terima Guest of Honour dari Finlandia kepada Indonesia Minggu, 12 Oktober 2014 di Pameran Buku Frankfurt.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tarian Memukau
Penampilan musik dan tari Ayu Laksmi, Endah Laras dan Ariani, Minggu 12 Oktober 2014.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Tongkat Guest of Honour
Inilah tongkat Tamu Kehormatan yang diserahkan kepada Indonesia untuk 2015.
Foto: Frankfurter Buchmesse/A. Heimann
Dewi Dee Lestari
Dewi Dee Lestari bertukar pengalaman dengan penulis Finlandia Kjell Westo dalam acara serah terima.
Foto: Frankfurter Buchmesse/P. Hirth
Tamu Kehormatan
Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di Frankfurter Buchmesse atau Frankfurt Book Fair pada tahun 2015 nanti. Dalam pameran buku akbar tahun ini dimana Finlandia menjadi tamu kehormatan, Indonesia mulai unjuk diri.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
17.000 Islands of Imagination
Indonesia mengemas keikutsertaan di FBF dalam tema "17.000 Islands of Imagination". Pulau dalam hal ini adalah semacam suatu imajinasi, kreativitas yang tidak terbatas yang lahir dan berkembang di 17.000 pulau di tanah air.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Memperkenalkan Indonesia
Dalam pameran buku tahun ini pihak penyelenggara memperkenalkan peran serta Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. Hadir dalam konferensi pers, Direktur Frankfurt Book Fair Juergen Boos, Wakil Menteri Kebudayaan Indonesia, Wiendu Nuryanti, Goenawan Mohamad, penulis senior yang menjadi panitia delegasi Indonesia, dan Husni Syawie dari IKAPI.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Banyak Peminat
Konferensi pers yang memperkenalkan Indoensia sebagai tamu kehormatan diserbu pengunjung. Menjadi tamu kehormatan sangat menguntungkan, karena mendapat kesempatan dalam menonjolkan Indonesia pada dunia. Bahkan, selama setahun sebelum penyelenggaraan, negara yang menjadi tamu kehormatan akan diperkenalkan ke publik dalam berbagai liputan media di Jerman.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Ajang Penting
Pameran buku internasional di Frankfurt merupakan ajang yang sangat efektif dalam mengenalkan para penulis Indonesia yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Mencari Penerjemah
Bukan perkara mudah untuk mencari penerjemah buku Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Direktur Frankfurter Buchmesse Jürgen Boos mengatakan: "Ini merupakan tantangan besar, untuk mencari penerjemah sastra ke bahasa Jerman.“
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
Terobosan Indonesia
Pada pertengahan tahun 1970-an, fokus pameran lebih bersifat tematik. Namun sejak tahun 1980-an, tiap tahun dipilih tamu kehormatan dari berbagai negara dalam pameran akbar itu. Setelah Indonesia menjadi tamu kehormatan tahun 2015, Belanda akan menyusul sebagai tamu kehormatan 2016.
Foto: Frankfurter Buchmesse/Marc Jacquemin
11 foto1 | 11
Kapan Giliran Kita?
Ishiguro adalah pemenang Nobel Sastra ke-110 sejak diberikan kali pertama pada 1901. Sayangnya, selama lebih seabad sejarahnya tak satu pun penulis Indonesia yang berhasil meraih penghargaan prestisius ini. Pada masa lalu nama Pramoedya Ananta Toer sempat disebut sebagai kandidat pemenang Nobel Sastra. Setelah Pramoedya wafat, belum ada lagi nama pengarang Indonesia yang masuk bursa pemenang. Salah satu syarat pemenang adalah yang bersangkutan masih hidup saat pengumuman.
Siapakah pengarang kita yang berpeluang meraih Nobel Sastra? Di masa depan mungkin kita bisa berharap kepada Eka Kurniawan yang belakangan karya-karyanya mendapat sorotan dunia, mendapat penghargaan internasional, dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa. Tahun ini misalnya, novel Eka, Cantik Itu Luka, diterbitkan di Islandia dan Swedia—markas panitia Nobel.
Untuk memperkenalkan karya-karya terbaik kita dan bersaing dengan karya-karya terbaik dunia saat ini, jalan panjang masih terbentang. Banyak yang harus dikerjakan. Salah satunya dengan mengupayakan agar lebih banyak lagi karya para pengarang kita diterjemahkan dengan baik, diterbitkan secara luas, dan diapresiasi cukup layak di luar negeri.
Penulis:
Anton Kurnia
pembaca dan penulis
Wajah 10 Tahun Nobel Sastra
Kurang perempuan, kurang literatur non Eropa, begitu kritik lama terhadap Akademi Swedia yang menetapkan pemenang Nobel Sastra. Bagaimana wajah pemenang Nobel Sastra selama 10 tahun terakhir?
Foto: AP
"Master" Cerita Pendek
Alice Munro, lahir 1931 di Ontario, Kanada adalah seorang penulis cerita pendek. Kumpulan cerpen pertamanya “Dance of Happy Shades” terbit 1968. Dua karyanya, Lives of girls and women (1994) dan "The Bear Came Over the Mountain” (2006) telah diadaptasi sebagai film. Pemenang Nobel Sastra 2013 disebut sebagai "Master" cerita pendek kontemporer.
Foto: PETER MUHLY/AFP/Getty Images
Realisme Fantastis
Mo Yan yang berarti "diam“ adalah nama pena Guan Moye. Ia lahir sebagai anak petani di propinsi Shandong, Cina. Terobosan dialaminya dengan karya “Red Sorghum” pada tahun 1987. Tim juri mengkategorikan tulisannya sebagai realisme fantastis.
Foto: picture-alliance/dpa
Buah Nominasi Panjang
Sejak 1993 dinominasi untuk Nobel Sastra, penyair Swedia Tomas Gösta Tranströmer memenangkan penghargaan ini pada tahun 2011. Kelahiran 1931, karyanya meliputi 12 kumpulan pusi. Pada usia 23 tahun, ia menerbitkan kumpulan puisi pertamanya "17 dikter“ pada tahun 1954.
Foto: Fredrik Sandberg/AFP/Getty Images
Gambaran Perlawanan Individu
Menulis dalam bahasa Spanyol, Jorge Mario Pedro Vargas Llosa, lahir di Peru pada tahun 1936. Salah seorang novelis dan esais Amerika Latin paling signifikan, namanya melejit tahun 60-an, dengan novel “La ciudad y los perros”. Nobel Sastra 2010 diterimanya untuk penggambaran perlawanan, pemberontakan dan kekalahan individu serta kartografi struktur kekuasaan dalam novel-novelnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Menyorot Kekerasan dan Teror
Herta Müller, penyair dan penulis Jerman keturunan Romania lahir tahun 1953. Ia pemenang Nobel Sastra 2009. Ttulisannya sudah diterjemahkan ke dalam lebih 20 bahasa. Karyanya banyak mengangkat dampak kekerasan dan teror. Novelnya, “Atemschaukel" (2009) bercerita tentang deportasi minoritas Roma-Jerman yang dideportasi ke gulag-gulag di Uni Soviet.
Foto: DW/N. Naumann
Utamakan Bahasa Perancis
Menulis dalam berbagai genre, karya-karya Jean-Marie Gustave Le Clézio meliputi puisi hingga cerita anak-anak yang seluruhnya dalam bahasa Perancis. Dengan sedikitnya 40 karya ia menerima Nobel Sastra, sebagai penulis yang mengeksplorasi kemanusiaan di luar masyarakat normatif. Le Clézio, penulis Mauritius-Perancis ini kelahiran 1940.
Foto: AP
Nobel di Usia Senja
Penulis Inggris Doris May Lessing lahir tahun 1919 di Kermansyah, Iran. Novel pertama “The Grass is Singing“ terbit tahun 1950. 2008 ia masuk ranking lima daftar “50 penulis terbaik Inggris sejak 1945”. Aktifitasnya menentang senjata nuklir dan apartheid di Afrika Selatan menyebabkan pencekalan dari negara itu. Pada tahun 2007, Lessing menjadi perempuan ke sebelas yang menerima Nobel Sastra.
Foto: AP
Mengusik Kebebasan
Nobel Sastra 2006 dimenangkan Orhan Pamuk, penulis Turki kelahiran 1952. Karyanya seperti “My name is Red” diterjemahkan ke dalam lebih 60 bahasa. 2005, Pamuk diadili karena mengangkat isu genosida warga Armenia di masa kekuasaan Otoman. Kontroversi yang berawal dari kritik soal kebebasan bersuara di Turki itu, disusul aksi-aksi pembakaran buku-bukunya.
Foto: DW
Angka Magis 50
50 merupakan angka magis sastrawan kenamaan Inggris Harold Pinter, kelahiran1930. Dalam 50 tahun karirnya, ia menyutradarai 50 produksi teater dan film, dan telah menerima 50 penghargaan, antara lain Nobel Sastra 2005. Karyanya yang paling terkenal termasuk “The French Lieutenant's Woman” (1981) dan “The Trial“ (1993). Ia meninggal Desember 2008.
Foto: AP
Musikalitas Suara
Penulis Austria Elfriede Jelinek, kelahiran 1946, menerima Nobel Sastra pada tahun 2004 untuk musikalitas suara-suara yang bertentangan, dalam tulisan-tulisannya yang menunjukkan absurditas dan tekanan yang terjadi, akibat gambaran-gambaran klise dalam masyarakat. Ia seorang penulis feminis. Tulisannya sering menyoroti seksualitas perempuan dan eksploitasi.
Foto: AP
Fokus Afrika
Penulis Afrika Selatan kedua, setelah Nadine Gordimer, yang memenangkan Nobel Sastra adalah John Maxwell "J. M." Coetzee. Ia menerima hadiah itu pada tahun 2003. Akademi Swedia mengatakan, Coetzee secara istimewa menggambarkan keterlibatan orang luar dalam berbagai pergulatan moral. Karyanya “Disgrace“ (1999) diadaptasi untuk film pada tahun 2008.