Hamparan terbuka gurun pasir di utara Irak menjadi medan tempur teranyar mencegah kebangkitan rejim teror Islamic State. Perang bereskalasi pada saat yang sama ketika gerilayawan ISIS menduduki penjara teroris di Suriah.
Iklan
Lubang peluru memenuhi tembok menara pengawas di barak militer Irak, Hawi al-Azim, di utara ibu kota Baghdad. Lubang-lubang tersebut merupakan saksi bisu serangan fajar oleh gerilayawan ISIS yang menewaskan 11 serdadu pada pekan lalu.
Barak yang terletak di pinggir sungai itu dikelilingi kantung-kantung pasir, lubang parit dan untaian kawat berduri. Sejumlah serdadu dengan seragam campur terlihat sibuk memperkuat tembok dengan semen dan batu bata.
Tiga tahun sejak jatuhnya "kekhalifahan” ISIS di Raqqa, kelompok esktremis Sunni itu semakin sering melancarkan serangan-serangan kecil dan mematikan di Irak dan Suriah. "Mereka bersembunyi di dalam lubang yang digali di dalam rumah yang sudah tidak dihuni,” kata seorang perwira senior militer Irak ketika disambangi AFP, Senin (4/1) lalu.
"Di sini juga mereka menyembunyikan bahan peledak dan senjata,” imbuhnya.
Barak militer di tepi Sungai Adhaim itu merupakan bagaian dari jaringan pos pertahanan yang dibangun militer Irak di tiga provinsi di utara Baghdad untuk mengawasi pergerakan ISIS. Namun pada Jumat dini hari pukul 02:30 pekan lalu, ISIS yang giliran balik menyerang.
Anggota ISIS Yang Menyesal dan Kembali ke Sukunya
Banyak warga Suriah yang bergabung dengan ISIS. Setelah kekalahan kelompok teror itu, mereka ditahan dan diadili, kemudian dikembalikan ke sukunya melalui perundingan antar suku.
Foto: DW/B. Gerdziunas
Milisi Al-Sanadid
Milisi Al-Sanadid dari suku Shammar menguasai kawasan di Suriah timur laut, dekat dengan perbatasan ke Irak. Mereka adalah bagian dari Pasukan Demokratik Suriah SDF yang didukung AS. Sekarang menjadi menjadi bagian aparat keamanan dari pemerintahan sipil Kurdi di Suriah utara.
Foto: DW/B. Gerdziunas
Ikatan kesukuan
Banyak mantan anggota ISIS lokal yang menyerahkan diri ke SDF setelah mengalami serangan dan mendengar seruan agar menyerah. Mereka kemudian ditahan dan diadili. Setelah itu, mereka diizinkan lagi pulang dan bergabung dengan sukunya.
Foto: DW/B. Gerdziunas
Mediasi kepala suku
Kepala suku Sheikh Humaydi menjamu tamu-tamunya dan menjadi penengah dalam perselisihan lokal. "Konflik nasional ini akan berakhir suatu hari, tetapi konflik relijius akan berlanjut," katanya. "Tujuan kami sama dengan barat - perang melawan terorisme; sekarang kami menengahi antara mantan pejuang ISIS dan mereka yang pernah menderita di bawah penindasan ISIS."
Foto: DW/B. Gerdziunas
Diplomasi antar suku
Anggota suku Shammar menyambut tamu dari Irak. "Ada di Suriah yang bergabung dengan ISIS hanya karena tekanan dari para pemimpin mereka," kata Sheikh Humaydi, "dan karena kita memiliki ikatan kesukuan, mereka kembali kepada kami."
Foto: DW/B. Gerdziunas
Hierarki yang ketat
Kehidupan di daerah pedesaan diatur dengan hierarki yang ketat. Para pemimpin suku Shammar ingin memainkan peranan penting dan menempatkan diri sebagai penengah. Sheikh Humaydi mengatakan, baru-baru ini delegasi Inggris dan AS mengunjunginya.
Foto: DW/B. Gerdziunas
Tidak ingin dikenali
Pria yang dipanggil Abu Hassan ini tidak ingin mengungkapkan nama aslinya karena takut pembalasan ISIS. Dia mengaku tidak pernah berperang untuk ISIS, dan hanya bergabung dengan kelompok teror ini tahun 2015 agar dapat terus bekerja sebagai guru sekolah. "Kami pikir ISIS akan membawa keadilan, karena kami sangat menderita di bawah rezim Assad," katanya.
Foto: DW/B. Gerdziunas
Komandan milisi
Komandan milisi Al-Sanadid adalah Bandar Humaydi, putra Sheikh Humaydi. Karirnya naik tahun 2014/15 ketika pasukannya berhasil melakukan perlawanan terhadap ISIS. Waktu itu desa mereka hampir sepenuhnya dikepung pasukan ISIS yang datang menyerang.
Foto: DW/B. Gerdziunas
Remaja di masa perang
Remaja di Shammar bermain bola mengisi waktu senggangnya. Jalur kereta yang dulu menghubungkan Suriah dan Irak sudah terbengkalai di dekatnya. Saat ini, ratusan anggota ISIS sudah berpaling dan bergabung lagi dengan sukunya, kata Sheikh Humaydi, tanpa menyebutkan jumlah tepatnya.(Teks: Benas Gerdziunas/hp/ )
Foto: DW/B. Gerdziunas
8 foto1 | 8
Serangan itu dilancarkan ketika seratusan gerilyawan ISIS merebut penjara teroris di Hasakah, Suriah, demi membebaskan ribuan gerilayawannya yang ditahan di sana. Hingga berita ini diturunkan, pertempuran antara para teroris dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) menginjak hari keenam dan sudah menewaskan 160 orang.
Penjara Ghweira menampung sekitar 3.500 tersangka anggota ISIS yang ditahan dalam operasi militer antara SDF dan Amerika Serikat. Sebagian sudah dipindahkan ke tempat lain oleh aparat Kurdi. Tapi tidak jelas berapa yang masih bercokol di dalam.
Iklan
Ancaman mendekat ke Baghdad
Di Irak, aparat kini rajin menyisir bantaran Sungai Adhaim sebagai reaksi atas serangan pada Jumat malam. "Kami sudah berpatroli selama empat hari di daerah ini,” kata Kapten Azhal a-Juburi, perwira sebuah satuan reaksi cepat di kepolisian federal Irak.
"Kami belum mengalami konfrontasi langsung, tapi kami sudah menangkap beberapa tersangka teroris.” Peristiwa itu merupakan "kali pertama mereka menyerang kami secara langsung,” imbuhnya.
Etnis Kurdi di Suriah, Antara Harapan dan Ketakutan
Jurnalis foto Karlos Zurutuza mengunjungi wilayah perbatasan utara Suriah setelah invasi Turki. Di sana, ia bertemu sejumlah keluarga yang mengungsi dan para lelaki kesepian yang tetap tinggal di desa-desa.
Foto: Karlos Zurutuza
Dalam pengungsian
Menurut informasi PBB, hampir 200.000 orang telah mengungsi di wilayah itu sejak awal invasi Turki. Menurut laporan, banyak orang Kurdi berusaha mencari tempat berlindung di daerah pemukiman Kurdi di Irak. Namun hanya mereka yang memiliki izin tinggal di Irak lah yang diperbolehkan melintasi perbatasan.
Foto: Karlos Zurutuza
Para lelaki tinggal di desa
Kini banyak desa di timur laut Suriah yang telah ditinggalkan. Perempuan dan anak-anak melarikan diri dari daerah perbatasan ke pedalaman, seperti ke ibu kota provinsi Al-Hasakah. "Tetapi kondisi di Al-Hasakah semakin memburuk karena begitu banyak pengungsi yang datang. Jadi kami putuskan untuk tinggal," ujar Suna, seorang ibu dari tiga anak, kepada DW.
Foto: Karlos Zurutuza
Kehidupan mulai meredup
Bazar yang pernah semarak di kota Amude, Suriah, kini jadi tempat yang suram. Hanya ada beberapa orang yang berkunjung. Sejak awal serangan Turki, banyak pebisnis menutup toko mereka. Saat hari menjelang gelap, suara ledakan granat dari sisi lain perbatasan mulai terdengar. Siapa pun yang memutuskan tinggal di kota, nyaris tidak berani meninggalkan rumah pada sore dan malam hari.
Foto: Karlos Zurutuza
Dia kembali lagi
Patung mantan penguasa Hafiz al-Assad kembali menyapa di jalan masuk kota Kamischli yang merupakan kota paling penting di timur laut Suriah. Hubungan antara pemerintahan Kurdi dan rezim Presiden Bashar al-Assad di wilayah tersebut menegang sejak awal perang saudara di Suriah tahun 2011.
Foto: Karlos Zurutuza
Ketidakpastian masih membayang
Etnis Kurdi di Suriah merasa dikhianati Presiden AS Donald Trump yang telah memerintahkan penarikan pasukan AS. "Kami tahu apa yang dilakukan Trump kepada kami, namun kami masih tidak tahu apa-apa terkait niatan Putin," ujar Massud, seorang pelanggan di salon rambut ini. AS telah meyakinkan Turki bahwa gencatan senjata di utara Suriah adalah langkah yang tepat.
Foto: Karlos Zurutuza
"Saya sebaiknya tidak berkomentar apa-apa"
Bertahun-tahun di bawah tekanan pemerintahan Bashar al-Assad dan ayahnya, banyak orang di kota Derik, Suriah, menolak mengatakan pendapat mereka tentang pengaruh kebangkitan pemerintah Suriah di wilayah tersebut. "Seluruh negeri pada saat itu diawasi oleh intelijen. Ini mungkin akan segera terjadi, jadi tidak ada yang akan berbicara apa pun tentang hal itu," ujar seseorang yang diwawancarai.
Foto: Karlos Zurutuza
Lima peti mati, lima takdir
Di mana-mana di timur laut Suriah, orang-orang harus mengurusi mayat-mayat yang setiap hari menjadi korban serangan. Serangan udara Turki menghantam sasaran militer dan warga sipil. Rumah sakit seperti yang terletak di Derik, tempat para korban terluka dirawat, kini telah dievakuasi untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak.
Foto: Karlos Zurutuza
Ribuan jiwa jadi korban
Etnis Kurdi di Suriah mengklaim telah ada sekitar 11.000 korban dalam perang melawan milisi teroris ISIS. Meski ISIS tidak lagi mengendalikan sebagian besar wilayah ini, korban tewas tetap berjatuhan. Puluhan warga sipil dan ratusan milisi dilaporkan tewas setelah Turki melancarkan serangan di timur laut Suriah.
Foto: Karlos Zurutuza
Ditinggalkan sendiri
Setelah perang saudara di Suriah pecah tahun 2011, etnis Kurdi di Suriah memilih untuk tidak memihak kepada kedua pihak - tidak memihak pemerintah, maupun oposisi. Dengan penarikan pasukan AS, mereka dibiarkan sendirian, tanpa ada dukungan apa pun. (ae/na)
Foto: Karlos Zurutuza
9 foto1 | 9
Apapun penilaiannya, serangan terhadap barak militer Irak menggarisbawahi betapa Islamic State "berusaha memobilisasi pasukan dan aktivitasnya di Irak,” kata analis keamanan Imad Allou.
Sebuah laporan PBB tahun lalu memperkirakan sekitar 10.000 gerilayawan ISIS masih memanggul senjata di Irak dan Suriah. Kebanyakan bersembunyi di kawasan otonomi Kurdi di utara.
Di Irak, ISIS tidak hanya aktif di utara, tetapi juga rajin membidik target jauh seperti serangan bom di kantung penganut Syiah, Sadr City, Juli silam, yang menewaskan belasan orang.
Perang melawan ISIS menjadi lebih sulit sejak AS mencabut dukungan dari koalisi antiteror internasional. Mandat tersebut melibatkan 2.500 serdadu, termasuk satuan tempur Angkatan Udara yang memberikan dukungan langit bagi operasi melawan Islamic State.
Tapi tanpa dukungan itu pun, perwira militer Irak mengaku tidak khawatir. "Kami punya angkatan udara sendiri, dan kami mengandalkan mereka,” kata dia. "Sementara sisanya, bukan kami yang bisa menentukan.”