1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Islam Mengenal Tanggungjawab Lingkungan"

30 November 2015

Jauh sebelum Paus Fransiskus berbicara soal lingkungan, Sayd Hossein Nasr telah lebih dulu menemukan konsep perlindungan alam dalam ajaran Islam. Menurutnya konsumerisme cuma bisa dikalahkan oleh spiritualitas.

Symbolbild Religion Islam
Foto: Jasmin Merdan - Fotolia.com

Sejak beberapa tahun ini wacana lingkungan yang mengaitkan tema ekologis dengan etika Islam digulirkan secara global. Namun, sejauh mana orang dapat mengangkat pedoman langkah-langkah bagi keberlanjutan ekologis dari Islam? Eren Güvercin berbincang dengan pakar sosiologi Dr. Sigrid Nökel.

Apakah dalam tradisi Islam terdapat konsep dasar tertentu yang ditujukan bagi perlindungan alam?

Dr. Sigrid Nökel: Dunia Islam mengenal hukum dari masa lalu yang bisa dipakai sebagai instrumen perlindungan alam. Saat ini orang berupaya untuk kembali menerapkannya . Misalnya yang dinamakan zona Harim dan Hima. Yang dimaksud adalah zona konservasi yang berkaitan dengan mata air dan jalur-jalur air yang misalnya tidak boleh ditutup oleh permukiman agar airnya tidak menjadi kotor.

Dulu ada daerah padang rumput dan hutan yang hanya dapat diolah pada waktu tertentu dan untuk kepentingan tertentu, misalnya setelah panen atau kalau musim kemarau mengancam. Kebijakan ini terlupakan melalui privatisasi lahan, intensifikasi pertanian dan peningkatan pembangunan rumah. Sejak beberapa tahun ini orang mengupayakan untuk kembali merealisasikannya dalam proyek-proyek air bersih, pesisir dan perlindungan keanekaragaman jenis.

Dalam penelitian anda, anda menulis tentang teologi ekologis Seyyid Hussein Nasr. Apa artinya itu?

Nökel: Sama seperti sejumlah teolog kristen, filsuf Persia dan teolog Seyyid Hussein Nasr yang lahir tahun 1933, menempatkan soal keseimbangan ekologis ke dalam konteks agama. Sebagai dasarnya ia meletakkan pandangan kosmologis dari dunia di mana alam, manusia, Tuhan atau langit dan bumi dulunya merupakan sebuah bentuk tatanan yang seimbang.

Menurut Nasr, sejak zaman pencerahan Eropa, manusia sayangnya mengingkari tatanan itu dan menggantinya dengan tatanan antroposentric yang memfokuskan manusia. Dan karena kurangnya hubungan dengan tatanan yang lebih tinggi, tatanan antroposentric itu memberikan kebebasan kepada manusia untuk menguras alam.

Nasr berpendapat bahwa manusia adalah mahluk egois yang tidak mengenal batas dan rakus. Tetapi bersamaan dengan itu manusia berusaha mencapai hal-hal transendental yang tanpa pengukuhan kosmologis, tidak dapat benar-benar menemukan kepuasan. Sebab itu manusia mencari kompensasi dalam konsumsi yang tak henti-hentinya dan dalam teknik yang semakin disempurnakan. Krisis lingkungan baginya adalah krisis spiritual. Diagnosa ini juga berlaku bagi Islam dan Kristen yang sedianya harus kembali lagi ke jalannya yang semula.

Sesuai dengan tradisi Sufi, Nasr terutama berawal dari manusia yang mengenali hukum kosmologis dan yang sedianya menyatu dengannya. Orientasi spiritual nantinya akan menggantikan orientasi konsumtif. Ini sangat konservatif dan sekaligus juga sangat aktual, bila mengingat tuntutan di mana-mana untuk tidak bersikap konsumsif dan mengubah gaya hidupnya.

Apa yang mungkin dapat disumbangkan kaum muslim bagi tema “perlindungan alam” yang saat ini sangat intensif dibicarakan?

Nökel: Kaum muslim pertama-tama harus mengetahui dulu hubungan antara agama dan lingkungan. Bagi sejumlah besar umat muslim ini merupakan dua hal yang sama sekali terpisah yang belum pernah mereka hubungkan. Ide seperti misalnya "Eko-Islam" mungkin dapat memberikan dorongan untuk mengidentifikasikan diri dengan tema lingkungan dan untuk merefleksikan diri dan gaya hidup serta kebiasaannya sehari-hari terhadap tema itu.

Bagi Nasr yang penting adalah bahwa Islam tidak semata terdiri dari kegiatan ritual, melainkan juga berupa tanggung jawab terhadap dunia, melampaui batas keagamaan. Dalam hubungan ini, setiap orang harus melakukan upaya. Perlindungan lingkungan dan iklim akan menjadi sebuah hal yang bersifat spiritual, terlepas dari semua tren yang ada. Melalui perhimpunan di mesjid dan kelompok-kelompok Islam, orang dapat menjaring sejumlah besar warga yang biasanya tidak terjangkaukan. Wacana lingkungan dapat ditanamkan di sini. Jaringan-jaringan dengan kelompok dan organisasi lingkungan lainnya menjadi mungkin. Dengan begitu gerakan lingkungan maju selangkah.

Wawancara oleh: Eren Güvercin/rzn/vlz


©Qantara.de


*Dr. Sigrid Nökel adalah pakar ilmu sosiologi. Ia menyelesaikan program S3 di Universitas Bielefeld mengenai “Putri-putri pekerja migran dan Islam“ dan melakukan penelitian di Institut Ilmu Kebudayaan Essen (KWI) dan di Universitas Bremen mengenai “Euro-Islam“. Untuk yayasan Interkultur ia telah melakukan penelitian mengenai tema Islam, lingkungan hidup dan tindak berkelanjutan yang diterbitkan tahun 2009 dalam seri “Stiftung Interkultur-Skripte zu Migration und Nachhaltigkeit“.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait