Jauh sebelum Paus Fransiskus berbicara soal lingkungan, Sayd Hossein Nasr telah lebih dulu menemukan konsep perlindungan alam dalam ajaran Islam. Menurutnya konsumerisme cuma bisa dikalahkan oleh spiritualitas.
Iklan
Sejak beberapa tahun ini wacana lingkungan yang mengaitkan tema ekologis dengan etika Islam digulirkan secara global. Namun, sejauh mana orang dapat mengangkat pedoman langkah-langkah bagi keberlanjutan ekologis dari Islam? Eren Güvercin berbincang dengan pakar sosiologi Dr. Sigrid Nökel.
Apakah dalam tradisi Islam terdapat konsep dasar tertentu yang ditujukan bagi perlindungan alam?
Dr. Sigrid Nökel: Dunia Islam mengenal hukum dari masa lalu yang bisa dipakai sebagai instrumen perlindungan alam. Saat ini orang berupaya untuk kembali menerapkannya . Misalnya yang dinamakan zona Harim dan Hima. Yang dimaksud adalah zona konservasi yang berkaitan dengan mata air dan jalur-jalur air yang misalnya tidak boleh ditutup oleh permukiman agar airnya tidak menjadi kotor.
Dulu ada daerah padang rumput dan hutan yang hanya dapat diolah pada waktu tertentu dan untuk kepentingan tertentu, misalnya setelah panen atau kalau musim kemarau mengancam. Kebijakan ini terlupakan melalui privatisasi lahan, intensifikasi pertanian dan peningkatan pembangunan rumah. Sejak beberapa tahun ini orang mengupayakan untuk kembali merealisasikannya dalam proyek-proyek air bersih, pesisir dan perlindungan keanekaragaman jenis.
Dalam penelitian anda, anda menulis tentang teologi ekologis Seyyid Hussein Nasr. Apa artinya itu?
Nökel: Sama seperti sejumlah teolog kristen, filsuf Persia dan teolog Seyyid Hussein Nasr yang lahir tahun 1933, menempatkan soal keseimbangan ekologis ke dalam konteks agama. Sebagai dasarnya ia meletakkan pandangan kosmologis dari dunia di mana alam, manusia, Tuhan atau langit dan bumi dulunya merupakan sebuah bentuk tatanan yang seimbang.
Peliharalah, Bukan Merusak
Baik Islam, Buddha. Hindu, Kristen, Katholik dan Yahudi, memiliki kitab suci yang memberikan petunjuk dalam kehidupan. Di dalamnya mengajarkan para pengikut agama tersebut untuk merawat bumi dan lingkungannya.
Foto: Jody McIntryre / CC-BY-SA-2.0
Melestarikan Ciptaan
Adam dan Hawa di Taman Eden: Kristen dan Yahudi meyakini memelihara ciptaan Tuhan adalah satu tugas yang Tuhan percayakan kepada manusia: "Dan Tuhan menempatkannya di Taman Eden untuk bekerja dan memelihara taman itu" .(Alkitab: Kejadian 2: 15)
Foto: Jonathan Linczak / CC BY-NC-SA 2.0
Yahudi dan Kristen Alkitab berbagi pesan kunci
Kisah penciptaan diceritakan dalam perjanjian lama Kitab Musa. Kitab pertama Musa adalah bagian dari kitab Taurat, bagian pertama dari kitab Yahudi, yang disebut Tanakh.
Foto: Lawrie Cate / CC BY 2.0
Buku paling laku di dunia
Kisah penciptaan juga bagian sentral dari Perjanjian Lama dalam kitab suci umat Kristen, yang menjalin bagian-bagian dari teks-teks suci Yahudi. Alkitab adalah teks tertulis yang paling banyak digunakan dan paling sering dipublikasikan di dunia.
Foto: Axel Warnstedt
"Aturan ketertiban" manusia
"Dan Allah memberkati mereka, lalu berfirman: Beranakcuculah dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan menaklukkannya. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi "(Alkitab, Kejadian 1: 28).
Foto: Axel Warnstedt
Bekerja dengan berhati-hati atas ciptaannya
Dalam Islam, ciptaan Allah harus dilindungi. Manusia dapat memanfaatkannya, tapi dengan secara baik: "Matahari & bulan beredar menurut perhitungan, bintang-bintang dan pohon-pohon tunduk pada-Nya. Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan. Jangan ganggu keseimbangannya. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu menguranginya". (Al Qur‘an, Surat 55, 3-10)
Foto: sektordua / CC BY 2.0
Jangan sebabkan kerusakan di muka bumi
Al-Qur'an berisi petunjuk khusus dan rinci bagi umat Muslim. Banyak petunjuk di dalamnya yang langsung berkaitan dengan masalah lingkungan dan alam. Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". (Al Qur'an, Surat Al-Baqarah: 2, 11)
Foto: Axel Warnstedt
Hindu dalam siklus abadi
Dalam semuanya bergerak dalam siklus di mana masing-masing komponen – kelahiran atau kematian, terlihat atau tidak terlihat – semua terulang secara terus-menerus. Manusia adalah bagian dari dunia ini, statusnya sama seperti makhluk hidup lainnya.
Foto: public domain
Selalu menjaga keseimbangan
Keseimbangan alam harus dipertahankan. Siapa yang sudah mengambil sesuatu, harus mengembalikannya. Dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup: "…dengan pengorbanan, Dewa akan memberkati apa yang kamu butuhkan. Ia yang menikmati apa yang para dewa beri, tanpa memberi imbalan sesungguhnya adalah pencuri . "(Bhagavad Gita 3:12)
Foto: Jody McIntryre / CC-BY-SA-2.0
Semua saling terkait
Dalam bahasa Pali pada kitab awal Buddha, terdapat tulisan mengenai segala sesuatu yang saling ketergantungan dan keterkaitan: "Sesuatu yang ada, memiliki keberadaan. Eksistensi muncul dari keberadaannya. Jika sesuatu tidak ada, maka eksistensinya pun tiada. Dengan terhentinya sesuatu, maka hal ini akan selesai. "(Pali, Samyutta Nikaya II, 12:21)
Foto: Mixtribe-Photo / CC BY 2.0
9 foto1 | 9
Menurut Nasr, sejak zaman pencerahan Eropa, manusia sayangnya mengingkari tatanan itu dan menggantinya dengan tatanan antroposentric yang memfokuskan manusia. Dan karena kurangnya hubungan dengan tatanan yang lebih tinggi, tatanan antroposentric itu memberikan kebebasan kepada manusia untuk menguras alam.
Nasr berpendapat bahwa manusia adalah mahluk egois yang tidak mengenal batas dan rakus. Tetapi bersamaan dengan itu manusia berusaha mencapai hal-hal transendental yang tanpa pengukuhan kosmologis, tidak dapat benar-benar menemukan kepuasan. Sebab itu manusia mencari kompensasi dalam konsumsi yang tak henti-hentinya dan dalam teknik yang semakin disempurnakan. Krisis lingkungan baginya adalah krisis spiritual. Diagnosa ini juga berlaku bagi Islam dan Kristen yang sedianya harus kembali lagi ke jalannya yang semula.
Sesuai dengan tradisi Sufi, Nasr terutama berawal dari manusia yang mengenali hukum kosmologis dan yang sedianya menyatu dengannya. Orientasi spiritual nantinya akan menggantikan orientasi konsumtif. Ini sangat konservatif dan sekaligus juga sangat aktual, bila mengingat tuntutan di mana-mana untuk tidak bersikap konsumsif dan mengubah gaya hidupnya.
Apa yang mungkin dapat disumbangkan kaum muslim bagi tema “perlindungan alam” yang saat ini sangat intensif dibicarakan?
Nökel: Kaum muslim pertama-tama harus mengetahui dulu hubungan antara agama dan lingkungan. Bagi sejumlah besar umat muslim ini merupakan dua hal yang sama sekali terpisah yang belum pernah mereka hubungkan. Ide seperti misalnya "Eko-Islam" mungkin dapat memberikan dorongan untuk mengidentifikasikan diri dengan tema lingkungan dan untuk merefleksikan diri dan gaya hidup serta kebiasaannya sehari-hari terhadap tema itu.
Bagi Nasr yang penting adalah bahwa Islam tidak semata terdiri dari kegiatan ritual, melainkan juga berupa tanggung jawab terhadap dunia, melampaui batas keagamaan. Dalam hubungan ini, setiap orang harus melakukan upaya. Perlindungan lingkungan dan iklim akan menjadi sebuah hal yang bersifat spiritual, terlepas dari semua tren yang ada. Melalui perhimpunan di mesjid dan kelompok-kelompok Islam, orang dapat menjaring sejumlah besar warga yang biasanya tidak terjangkaukan. Wacana lingkungan dapat ditanamkan di sini. Jaringan-jaringan dengan kelompok dan organisasi lingkungan lainnya menjadi mungkin. Dengan begitu gerakan lingkungan maju selangkah.
10 Negara Pendosa Iklim
Kendati mencatat kemunduran, Indeks Perlindungan Iklim 2015 memastikan bahwa untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan meningkatnya emisi CO2. Berikut negara-negara pendosa iklim terbesar di dunia.
Foto: Reuters
1. Arab Saudi
Level emisi yang diproduksi negeri para Emir ini tidak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Namun bukan itu yang menjadi masalah terbesar. Perekonomian Arab Saudi masih banyak bertumpu pada penjualan minyak mentah. Terlebih, niat pemerintah memproduksi 50 Gigawatt listrik dari energi terbarukan hingga 2032 sejauh ini cuma terwujud di atas kertas.
Foto: picture-alliance/dpa
2. Australia
Pemerintahan konservatif di bawah Tony Abott ternyata serius mencoret perlindungan iklim dari agenda utama Australia. Peringkat negeri kangguru itu pun merosot 21 tempat. Organisasi Germanwatch menetapkan lima indikator buat menyusun indeks iklim, yakni level emisi (30%), pertumbuhan emisi (30%), pembangunan energi terbarukan (10%), efisiensi energi (10%) dan kebijakan iklim (20%).
Foto: picture-alliance/dpa
3. Kazakhstan
Negeri kaya minyak dan gas ini sebenarnya getol menelurkan undang-undang perlindungan iklim. Kazakhstan adalah negara bekas Uni Soviet pertama yang menerapkan sistem perdagangan emisi karbon. Namun aktivis lingkungan mengeluhkan, implementasi kebijakan iklim tidak menyentuh pendosa terbesar, yakni industri minyak dan gas.
Foto: REUTERS
4. Kanada
Germanwatch kecewa pada program perlindungan iklim Kanada yang sedang mengalami stagnasi. Ambisi pengurangan emisi CO2 yang ditargetkan Canberra hingga 2020 diyakini akan meleset sebanyak 20 persen. Transportasi dan industri hingga kini masih menyumbangkan jejak emisi terbesar, tanpa adanya upaya serius untuk menggenjot efisiensi energi di kedua sektor tersebut.
Foto: dapd
5. Iran
Sebenarnya pemerintahan baru di Teheran mulai banyak berbuat untuk perlindungan iklim, antara lain dengan menelurkan sederet undang-undang dan menggariskan sasaran iklim baru yang lebih ambisius. Iran misalnya berniat menggenjot pembangunan infrastruktur energi terbarukan hingga 2020. Kendati mendapat nilai merah, Iran memperoleh catatan positif terkait perspektif perlindungan iklim di masa depan
Foto: ISNA
6. Rusia
Menurut Departemen Energi AS, Rusia menyumbangkan 5,6 persen terhadap emisi karbon global. Sebagian besar berasal dari penggunaan bahan bakar oleh industri dan produksi listrik. Gas, batu bara dan nuklir adalah tiga pilar pasokan energi negeri beruang ini. Pemerintah di Moskow sebenarnya sudah menggariskan efisiensi produksi energi. Namun implementasinya belum berdampak pada neraca karbon Rusia
Foto: picture-alliance/dpa
7. Korea Selatan
Negeri kaya di semenanjung Korea ini sedang memasuki puncak industrialisasi. Batu bara dan minyak bumi adalah tulang punggung pasokan energi di Korea Selatan. Sebab itu pemerintah berupaya memangkas emisi karbon dengan menetapkan pajak lingkungan, merangsang efisiensi energi melalui teknologi baru dan mencanangkan industri IT hijau. Sayangnya upaya tersebut belum berdampak pada neraca iklimnya.
Foto: Fotolia/Marzky Ragsac
8. Taiwan
Seperti yang bisa diduga, sebagian besar emisi karbon milik Taiwan berasal dari sektor manufaktur dan energi. Kendati mencatat perkembangan positif dalam hal efisiensi energi dan neraca karbon, adalah kebijakan iklim yang dinilai terlalu berpihak pada industri yang menyeret posisi Taiwan ke peringkat delapan dalam daftar hitam pendosa iklim.
Foto: picture alliance/Chromorange
9. Jepang
Tiga faktor membuat posisi Jepang melorot tajam, yakni level emisi, efisiensi energi dan kebijakan iklim. Negeri Sakura itu kini sangat bergantung pada energi fosil pasca insiden di Fukushima. Terlebih, Tokyo juga merevisi sasaran iklimnya dengan membatasi kenaikan emisi sebesar 3,8 persen dari level 2005. Sebelumnya Jepang berambisi memangkas 25 % emisi karbon hingga 2020
Foto: picture-alliance/AP
10. Malaysia
Menurut klaim pemerintah, nyaris 90 persen emisi CO2 Malaysia berasal dari asap kendaraan bermotor. Namun faktor terbesar yang menambah dosa emisi negeri jiran ini sebenarnya adalah laju industrialisasi, pembukaan lahan hutan dan emisi dari limbah pabrik. Padahal Malaysia berambisi memangkas emisi karbondioksidanya sebanyak 40 persen hingga tahun 2020.
Foto: Manan Vatsyayana/AFP/Getty Images
17. Cina
Dirunut berdasarkan jumlah emisi, maka Cina adalah pendosa iklim terbesar di muka bumi dengan sumbangan sebesar 26,4 persen terhadap emisi global. Tapi di balik itu Cina adalah investor terbesar untuk teknologi energi terbarukan. Selain itu kesediaan Beijing membuat komitmen pengurangan emisi yang disepakati bersama dengan Amerika Serikat beberapa pekan lalu juga menyisakan catatan positif.
Foto: Reuters
18. Amerika Serikat
Amerika Serikat menyumbangkan emisi karbon terbesar kedua di dunia dengan 17 persen. Tapi di sisi lain AS berhasil memangkas emisi karbon dari sektor transportasi. Rendahnya pertumbuhan emisi adalah satu-satunya catatan positif buat AS. Terkait kebijakan iklim, bercokolnya kelompok konservatif di parlemen mempersulit upaya pemerintahan Barack Obama meregulasi emisi di tingkat federal
Foto: Reuters/Erik De Castro
39. Indonesia
Di mata Germanwatch, Indonesia memiliki catatan hijau terkait perlindungan iklim. Pertumbuhan emisi dan efisiensi energi adalah dua faktor yang mencuatkan posisi kita di dalam indeks perlindungan iklim. Namun begitu sejumlah masalah masih belum terselesaikan, yakni emisi kendaraan bermotor dan giatnya pembukaan lahan untuk industri.
*Dr. Sigrid Nökel adalah pakar ilmu sosiologi. Ia menyelesaikan program S3 di Universitas Bielefeld mengenai “Putri-putri pekerja migran dan Islam“ dan melakukan penelitian di Institut Ilmu Kebudayaan Essen (KWI) dan di Universitas Bremen mengenai “Euro-Islam“. Untuk yayasan Interkultur ia telah melakukan penelitian mengenai tema Islam, lingkungan hidup dan tindak berkelanjutan yang diterbitkan tahun 2009 dalam seri “Stiftung Interkultur-Skripte zu Migration und Nachhaltigkeit“.