Kandidat utama partai ultra konservatif kanan AfD Alexander Gauland adalah gambaran politisi Eropa yang terutama memanfaatkan Islamofobia untuk menjaring suara.
Iklan
Wakil Ketua partai ultrakonservatif kanan AfD, Alexander Gauland (76 tahun) adalah kandidat utama partainya yang menggalang kampanye dengan isu-isu anti-imigran, anti-islam dan anti Eropa.
Dalam wawancara dengan editor DW Ines Pohl dan Jaafar Abdul Karim, Gauland kembali mempertegas posisi partainya. AfD belakangan mengalami keretakan dan sengketa di tingkat jajaran pimpinan. Gauland adalah salah satu pelaku penting yang berusaha mendongkel pimpinan partai saat Frauke Petri.
Gauland sebelumnya adalah anggota CDU yang sekarang dinakhodai oleh kanselir Angela Merkel. Tidak heran, dia sekarang mengeritik setiap kebijakan kanselir Jerman itu. Terutama politik pengungsi Angela Merkel.
"Orang-orang ini (pengungsi) seharusnya malah tidak boleh diizinkan menginjak Jerman", kata Gauland. Permohonan suaka politik, menurutnya, harus diajukan di luar Jerman, bahkan di luar Eropa. Sedangkan pengungsi dari daerah konflik seperti misalnya Suriah bisa diberikan status suaka yang terbatas, sesuai Konvensi Jenewa.
GermanyDecides: Meet the Candidate Alexander Gauland
25:33
Partai ultra kanan AfD (Alternative für Deutschland) memang mulai naik daun setelah muncul krisis pengungsi dua tahun lalu. Gauland mengatakan, kebanyakan migran sebenarnya datang ke Jerman karena alasan ekonomi.
"Kita harus melihat kepentingan kita sendiri. Dan menerima banyak pengungsi bukanlah kepentingan Jerman", kata Gauland.
AfD juga punya posisi berbeda dengan partai-partai politik lain di Jerman dalam isu Islam. Saat ini, ada sekitar 5 juta warga muslim di Jerman. Tapi bagi AfD, Islam tidak punya tempat di negara ini.
"Islam sebagai entitas kebudayaan dan agama tidak punya tempat di Jerman," tandas Gauland. „Islam, dengan hukum syariah dan beberapa posisinya adalah agama yang jelas-jelas dapat kita katakan tidak kompatibel dengan konstitusi Jerman," tambahnya.
Gauland mengatakan, konstitusi Jerman memang melindungai agama seorang individu. Tapi tidak boleh ada penyusupan nilai-nilai Islam lewat pintu belakang.
Masjid Köln, Masjid Terbesar di Jerman
Masjid yang dibangun tahun 2009 ini tercatat sebagai masjid terbesar dan termegah di Jerman. Sempat menuai kontroversi, masjid Köln kini dianggap sebagai simbol integrasi dan simbol lahirnya arsitektur masjid Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Becker
Masjid terbesar di Jerman
Masjid Pusat Köln (Zentralmoschee Köln) yang berukuran 4500 meter kuadrat ini mampu menampung 1200 jamaah. Inilah yang membuat Masjid Köln dianggap sebagai masjid terbesar di Jerman. Masjid yang dibangun oleh organisasi muslim Turki DiTiB ini dilengkapi perpustakaan, tempat kursus, ruang seminar, pusat olah raga, kantor serta pertokoan.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Nuansa oritental yang modern
Layaknya Masjid Sultan Ahmed di Turki, masjid di Köln ini juga menghadirkan nuasana biru yang khas. Suasana modern terlihat lewat desain kaca-kaca yang menyatu di dinding. Kesan Islam yang modern juga tampak dari tulisan kaligrafi emas di masjid. Nama nabi penting di agama Yahudi dan Kristen turut ditoreh, diantaranya Abraham, Musa, Nuh dan Isa Almasih.
Foto: Picture alliance/dpa/M. Becker
Perjalanan panjang hingga tegak berdiri
20 tahun lamanya warga muslim Turki di Köln bermimpi mendirikan masjid yang mumpuni. Rencana ini baru mulai terealisasi tahun 2009, namun sempat tersendat tahun 2011 karena munculnya penolakan warga anti imigran. Jajak pendapat yang dilakukan surat kabar lokal mengungkap 63% warga sebenarnya mendukung pembangunan masjid, namun 27% diantaranya ingin ukuran masjid diperkecil.
Foto: picture-alliance/dpa
Tak lagi di pojok terpencil
Diperkirakan 4,7 juta umat Muslim, mayoritas berlatar belakang Turki, hidup di Jerman. Di Köln, kota berpenduduk sekitar 10 juta ini terdapat 70 masjid yang tersedia bagi sekitar 120 ribu umat Muslim. Biasanya masjid ini terletak di pojok terpencil. Namun berbeda halnya dengan Masjid Köln yang terletak di Ehrenfeld, sudut kota yang biasa dikenal sebagai salah satu pusat budaya di Köln.
Foto: Picture alliance/dpa/O. Berg
Donasi untuk Masjid
Biaya pembangunan masjid berkisar 30 juta Euro atau 450 miliar Rupiah. 2/3 diantaranya berasal dari sumbangan jamaah dan 884 organisasi Islam. Donasi juga datang dari Gereja Katolik St. Theodore yang khusus menggalang dana untuk membangun masjid ini.
Foto: picture alliance/dpa/Geisler
Paul Böhm, arsitek yang ciptakan integrasi
Paul Böhm adalah arsitek di balik Masjid Pusat Köln. Keluarga besarnya merupakan arsitek terkenal di Jerman. Ia dan ayahnya, Gottfired Böhm adalah ahli di bidang arsitekur gereja Katolik. Bagi dekan fakultas arsitektur TH Köln ini, Masjid Köln adalah karya terbaiknya sebab lewat karya arsitektur ini ia mampu menjawab tantangan integrasi di Jerman.
Foto: AP
Rumah ibadah yang transparan
"Terbuka" dan “terang“, secuil komentar yang mendeskripsikan masjid karya Paul Böhm itu. Bangunan masjid didesain transparan dengan menggunakan kaca yang menonjolkan pencahayaan natural. Namun, tak sekadar bentuk fisik, masjid ini juga membuka diri untuk dikunjungi warga yang berbeda agama. Tujuannya agar Masjid Köln dapat menjembatani komunikasi antar agama di Jerman.
Foto: Lichtblick Film GmbH/Raphael Beinder
Masjid "bergaya Jerman"
Masjid bermoto "Unsere Moschee für Kölle“ atau "Masjid Kita untuk Köln" ini dijuluki sebagai "Masjid Kölsch“, sebutan bagi dialek dan bir lokal. Desain masjid juga dianggap "sangat Jerman“ karena mampu menciptakan gebrakan di bidang arsitektur rumah ibadah yang .mengawinkan arsitektur masjid era Ottoman Turki dengan arsitektur bergaya romawi khas Eropa.
Foto: picture alliance / dpa
Menara yang menjulang di langit Cologne
Dua menara Masjid Köln sempat menjadi topik perdebatan karena dianggap akan merubah citra kota dan "membayang-bayangi" menara Katedral Köln. Gereja gotik tersebut diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia sehingga tata kota di sekitar katedral memang harus dijaga orisinalitasnya. Menara Masjid Köln dibangun setinggi 55 meter - atau 1/3 dari 157 meter ukuran puncak Katedral Köln.
Foto: picture alliance/dpa/H.Kaiser
Delapan syarat Masjid Köln
Kursus bahasa Jerman bagi jamaah menjadi satu dari delapan syarat berbasis integrasi yang diwajibkan agar Masjid Köln dapat dibangun. Para Imam juga harus mahir berbahasa Jerman, karena mereka dituntut untuk berkotbah dalam bahasa yang dimengerti semua pengunjung. Selain itu, persamaan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki juga menjadi poin penting prasyarat tersebut.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Gauland sendiri menolak melakukan pertemuan dengan kalangan muslim.
"Saya tidak punya kebutuhan untuk berbicara dengan orang muslim dalam kapasitas resmi saya. Tapi tentu saja, saya siap berbicara dengan seseorang secara pribadi. Itu tidak malah", katanya.
DW mewawancarai serangkaian politisi teras di Jerman dalam rangka pemilihan umum nasional yang akan diselenggarakan 24 September mendatang.
Seberapa Terintegrasi Muslim di Eropa?
Semakin meluasnya gerakan populis haluan kanan di Eropa menimbulkan keraguan apakah praktik agama Islam dapat sejalan dengan demokrasi barat. DW mengungkap beberapa kesalahpahaman soal integrasi yang tersebar.
Foto: picture-alliance/Godong/Robert Harding
Seberapa sukseskah integrasi linguistik?
3/4 warga Muslim kelahiran Jerman memakai bahasa Jerman sebagai bahasa ibunya. Di antara para imigran, hanya 1/5 yang mengaku bahasa Jerman sebagai bahasa pertama. Semakin lama suatu generasi di suatu negara, maka semakin baik kemampuan bahasanya. Tren ini terlihat di seluruh Eropa. Di Jerman, 46% Muslim mengaku bahasa nasional mereka adalah bahasa Jerman. Bandingkan di Austria 37% dan Swiss 34%.
Foto: picture-alliance/dpa
Bagaimana pandangan Muslim atas hubungan antar-agama?
Studi yang dirilis Religion Monitor (2017) mengungkap 87% Muslim Swiss mengisi waktu luang mereka dengan menjalin relasi secara teratur dengan warga non-Muslim. Di Jerman dan Perancis hasilnya 78%, sementara di Inggris 68% dan Austria 62%. Sebagian besar Muslim dari generasi terkini secara konstan menjalin kontak dengan warga non-Muslim, terlepas dari berbagai rintangan yang muncul di masyarakat.
Foto: Imago/R. Peters
Apakah Muslim merasa terkoneksi dengan Eropa?
96% Muslim Jerman merasa terkoneksi dengan negara yang mereka tinggali. Persentase setinggi ini juga dirasakan warga Muslim di Perancis, namun persentase tertinggi dimiliki Swiss dengan perolehan 98%. Terlepas dari sejarahnya yang sejak lama dikenal memiliki institusi yang terbuka terhadap keragaman budaya dan agama, hanya sedikit Muslim (89%) yang mengaku memiliki hubungan dekat dengan Inggris.
Foto: Getty Images/S. Gallup
Seberapa pentingkah agama dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim Eropa?
Muslim dari keluarga imigran memiliki komitmen religius yang tinggi, yang terus dipertahankan lintas generasi. 64% Muslim yang tinggal di Inggris menyebut diri mereka "sangat religius". Perbandingan Muslim yang saleh di antara negara di Eropa yakni Austria 42%, Jerman 39%, Perancis 33% dan Swiss 26%.
Foto: DW/A. Ammar
Berapa banyak mahasiswa Muslim yang meraih gelar sarjana?
36% Muslim kelahiran Jerman meninggalkan bangku sekolah pada umur 17 tahun, tanpa melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Di Austria proporsinya mencapai 39%. Di Perancis, dengan sistem pendidikan yang lebih setara, warga Muslim memiliki hasil pendidikan yang lebih baik. Hanya satu dari sepuluh siswa Muslim yang meninggalkan sekolah sebelum mencapai usia 17 tahun.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Berapa banyak warga Muslim yang mampu memasuki pasar kerja?
60% Muslim yang pindah ke Jerman sebelum tahun 2010 memiliki jam kerja penuh-waktu, sementara hanya 20% yang memiliki kerja paruh-waktu. Persentase ini sama bagi non-Muslim. Warga Muslim Jerman memiliki peluang kerja yang lebih tinggi dibandingkan negara lainnya di Eropa. Angka pengangguran di Perancis di antara warga Muslim mencapai 14%, lebih tinggi 8% dibandingkan dengan warga non-Muslim.
Foto: picture alliance/dpa/U.Baumgarten
Seberapa luas penolakan terhadap Islam?
Satu dari empat non-Muslim di Austria mengaku tidak mau tinggal bersebelahan dengan Muslim. Persentase di Inggris juga cukup tinggi, mencapai 21%. Di Jerman, 19% responden non-Muslim menyebut mereka tidak menerima Muslim sebagai tetangga. Angkanya tak jauh berbeda di Swiss 17% dan Perancis 14%. Di antara golongan minoritas lainnya, Muslim adalah kelompok sosial yang paling banyak ditolak.
Foto: AP
‘Muslim di Eropa - terintegrasi namun tak diterima’
Seluruh informasi terkait bagaimana integrasi Muslim di Eropa dirilis oleh Yayasan Bertelsmann dengan judul riset ‘‘Muslims in Europe - Integrated but not accepted?’ Kesimpulan diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap lebih dari 10.000 orang di Jerman, Austria, Swiss, Perancis dan Inggris. Pengungsi Muslim yang tiba di Eropa sebelum tahun 2010 tidak termasuk dalam kelompok responden.