1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Staatsbankrott

9 Oktober 2008

Bahwa bank-bank bangkrut, juga yang besar dan terkenal, tidak terdengar aneh di telinga, menyusul terjadinya krisis keuangan global. Tapi bahwa sebuah negara bisa bangkrut, itu mengejutkan banyak orang.

Menteri Keuangan Islandia, Bjorgvin Sigurdsson (ki.), bersama PM Geir H. Haarde (ka.)Foto: AP

Banyak negara kelabakan karena dibebani terlalu banyak utang. Tapi adalah keliru menganggap sebuah negara tidak bisa bangkrut karena ia adalah negara dan bukan perusahaan.

Christoph Ohler, profesor hukum publik dan hukum ekonomi internasional di Universitas Jena, Jerman mengatakan, "Sejarah menunjukkan semakin banyak negara yang menuju kebangkrutan. Baru-baru ini misalnya Ukraina atau Argentina terjerumus dalam kondisi pailit. Perbedaan menentukan dengan kebangkrutan perusahaan adalah tidak lazim sebuah negara jatuh pailit. Jadi tidak disebut pailit melainkan tidak mampu lagi membayar utang. Pembayaran dilanjutkan kelak, tergantung dari pulihnya ekonomi negara itu kembalinya negara itu dalam pasar modal internasional.“

Tampil sebagai debitur yang baik di pasar modal sama pentingnya bagi sebuah negara seperti bagi suatu perusahaan. Di satu pihak tergantung pada apakah ada negara yang mau meminjamkan dana segar, dan dengan prasyarat apa.

Seorang pegawai Landsbanki, bank terbesar kedua di Islandia.Foto: AP

Jika tidak ada pasokan dana, situasi di dalam negeri akan memburuk. Negara tidak bisa berinvestasi dan harus terus membatasi pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur. Semakin sedikit yang dilakukan di sektor ini, semakin berkurang kesempatan bagi negara itu untuk membebaskan diri dari krisis dengan kekuatannya sendiri.

Di samping itu, pupuslah status sebagai debitur yang baik, dan bertambahlah bunga untuk hutang yang ada. Semakin banyak uang yang harus dikeluarkan negara, untuk membayar hutang yang lama, semakin sedikit kebebasannya untuk bergerak sesuai keinginan sendiri.

Semua itu kini juga mengancam Islandia, kata pakar hukum ekonomi internasional Christoph Ohler.

"Negara itu hanya memiliki 300.000 penduduk dan perekonomian yang sangat kecil. Ekonominya didominasi, selain oleh sektor perikanan, terutama oleh tiga bank internasional yang dalam beberapa tahun terakhir melakukan ekspansi secara besar-besaran. Hutang bank-bank ini tidak bisa lagi dibayar karena di pasar modal internasional bank-bank Islandia ini sudah dianggap tidak pantas diberi kredit. Pemerintah Islandia lalu mengumumkan nasionalisasi ketiga bank tersebut, dengan konsekuensi siap mengambilalih hutang ketiganya. Tapi, anggaran negara Islandia tidak bisa menanggung jumlah hutang sebesar itu.“

Sebagai perbandingan, neraca transaksi ketiga bank itu 10 kali lebih besar dari produk domestik brutto Islandia yang mencapai sekitar 10 miliar Euro.

Kaupthing Bank di Reykjavik juga nyaris ditutupFoto: AP

"Jadi, kita bicara tentang jumlah besar yang tidak akan bisa ditutupi oleh perekonomian Islandia, juga penerimaan pajak, jadi Islandia betul-betul membutuhkan bantuan luar negeri“, kata Ohler.

Ditambah lagi dengan masalah moneter. Mata uang Islandia dalam bulan-bulan terakhir merosot nilainya hampir 75%. Beban sangat besar bagi rakyat di pulau yang harus mengimpor hampir semua barang kebutuhan sehari-hari itu dan kini mengalami lonjakan harga. (rp)