1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Bisakah Israel dan Palestina Berdamai setelah Perang Gaza?

David Ehl | Shani Rozanes
8 Oktober 2025

Hubungan antara Israel dan Palestina di wilayah Palestina berada pada titik terendah. Deutsche Welle berbicara dengan peneliti opini publik dan pakar konflik akan kemungkinan jalan keluarnya.

Israel-Palestina, dua dunia yang terpisah tembok. Foto tembok di kota al-Ram, Yerusalem timur.
Israel-Palestina, dua dunia yang terpisah tembok. Foto tembok di kota al-Ram, Yerusalem timur.Foto: Mahmoud Illean/AP Photo/picture alliance

Meskipun saat iniperundingan tengah dilakukan di Mesir untuk mengakhiri perang di Jalur Gaza, jajak pendapat menunjukkan dengan jelas bahwa baik mayoritas warga Israel juga Palestina telah kehilangan kepercayaan dan pesimis bahwa konflik ini suatu hari dapat benar-benar terselesaikan.

Kerenggangan hubungan antara Palestina dan Israel terlihat jelas dalam sebuah survei yang diterbitkan Universitas Hebrew di Yerusalem di bulan Agustus lalu. 62 persen responden Israel setuju bahwa "tidak ada orang tak bersalah di Gaza.” Jika survei hanya menyoroti pendapat warga Israel Yahudi, angkanya bahkan mencapai 76 persen.

"Saya terpukul dengan minimnya rasa kemanusiaan yang ada”

"Kekhawatiran terbesar saya adalah kurangnya empati Israel,” kata Corey Gil-Shuster dalam wawancara dengan DW. Shuster adalah kepala program magister Penyelesaian Konflik dan Mediasi di Universitas Tel Aviv. 

Sejak 2012, Gil-Shuster secara rutin mengangkat isu-isu kontroversial melalui seri video web-nya "The Ask Project”  ia meminta penonton mengirimkan pertanyaan dan ia kemudian akan menanyakan hal tersebut langsung baik kepada orang Israel atau Palestina yang ditemuinya di jalan. Dalam salah satu video, ia bertanya pada warga Palestina apakah mereka mendukung serangan teror terhadap Israel yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober 2023. Dalam klip lainnya, ia bertanya kepada warga Israel apakah mereka merasa senang atas penderitaan warga Gaza.

Saat Shuster ditanya tentang empati terhadap lansia, orang sakit, dan anak-anak, seorang perempuan hanya mengangkat bahu dan menjawab dengan sedih,  "Saya bahkan tidak berpikir tentang apa yang dunia pikirkan tentang kami (orang Israel) — itu urusan lain. Saya khawatir dengan dampaknya terhadap masyarakat. Saya terpukul dengan minimnya rasa kemanusiaan dalam masalah ini.”

Hilangnya rasa kemanusiaan sejak 7 Oktober 2023

Khalil Shikaki juga mengidentifikasi hubungan antara kedua belah pihak sedang berada dalam titik terendah. Ilmuwan politik ini memimpin Pusat Riset Kebijakan dan Opini Publik (PCPSR) Palestina di Ramallah. "Dalam dua tahun terakhir telah terjadi hampir sepenuhnya proses penghilangan harkat manusia (dehumanisasi), kedua masyarakat telah mencapai titik di mana mereka tidak bersedia untuk saling mengakui derajat kemanusiaan pihak lain.”

Perkembangan ini, kata Shikaki dalam wawancara dengan DW, juga berdampak nyata terhadap kompromi yang bersedia dibuat masyarakat untuk mencapai solusi damai.

Wilayah Palestina al-Amari, selatan RamallahFoto: Zain Jaafar/AFP/Getty Images

Shikaki secara rutin melakukan survei opini publik di wilayah Palestina dan juga sering terlibat dalam survei bersama dengan pihak Israel. Dalam survei terbarunya pada Mei 2025, ditemukan adanya keraguan besar di kalangan warga Palestina. 69 persen responden di jalur Gaza dan 88 persen di Tepi Barat tidak percaya bahwa Israel akan menarik diri dari Gaza jika Hamas menyerahkan senjatanya.

Namun Shikaki juga menegaskan bahwa kepercayaan timbal balik tidak harus menjadi prasyarat rekonsiliasi — kepercayaan dapat tumbuh sepanjang proses perdamaian, "Jika kita menunggu sampai Palestina dan Israel saling percaya terlebih dahulu, itu tidak akan pernah terjadi.”

Langkah pertama di jalan panjang menuju rekonsiliasi

Bagaimana rekonsiliasi dapat dimulai setelah konflik puluhan tahun? Pertanyaan ini menjadi fokus Gary Mason dari Irlandia Utara. Organisasinya, Rethinking Conflict, membagikan pengalaman konflik Irlandia Utara kepada orang-orang dari Timur Tengah. Baik kasus Irlandia Utara dan Israel-Palestina menurutnya melibatkan sengketa tanah, identitas, dan agama.

Terlepas dari kelompok ekstrem, baik orang Israel maupun Palestina menginginkan solusi atas konflik ini. Meski ada kemungkinan gencatan senjata di Timur Tengah, Mason memperkirakan perdamaian sejati mungkin masih memakan waktu lima hingga sepuluh tahun. "Di Irlandia Utara, 27 tahun setelah Perjanjian Belfast, kami masih harus terus bekerja dalam proses perdamaian kami,” ujarnya.

Menurut Gil-Shuster, banyak orang sudah pasrah dan terbiasa hidup dalam konflik ini. Namun, komunikasi politik yang tepat bisa mengubah keadaan. "Langkah pertama adalah dengan kampanye: kami semua menderita, kami tidak ingin terus seperti ini, dan karenanya kini kami bernegosiasi,” jelasnya. "Orang perlu diberi visi hal tersebut. Lalu kita harus terus membicarakan dan ‘memasarkan'-nya seolah-olah Israel dan Palestina adalah sebuah produk.”

Apa rencana Trump dapat benar-benar membawa perdamaian?

Pada akhir September, Presiden AS Donald Trump meluncurkan inisiatif baru: di hadapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, ia mempresentasikan rencana 20 poin yang mencakup penghentian pertempuran dan pembebasan semua sandera sebagai langkah awal. Sebuah panel internasional yang dipimpin oleh tokoh senior Inggris Tony Blair akan mengawasi langkah-langkah selanjutnya.

Tony Blair turut dalam negosiasi Perjanjian Belfast untuk Irlandia Utara di tahun 1998. Pada tahun 2007 ia dipilih menjadi utusan Timur Tengah oleh Kuartet Timur Tengah, meski tidak diterima oleh banyak negara Arab karena bersama Presiden AS Geoge W. Bush memulai perang Irak di tahun 2003.Foto: Jade Gao/AFP/Getty Images

Di Israel dan wilayah Palestina, kepercayaan terhadap kepemimpinan politik sangat rendah, hanya minoritas yang puas dengan pemerintahan Netanyahu. Sementara itu, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas hampir tidak memiliki legitimasi karena tidak ada pemilu sejak 2006. Dalam survei PCPSR terbaru, 81 persen responden mendesaknya untuk mundur.

Namun dalam situasi saat ini, Gil-Shuster percaya bahwa kepemimpinan adalah satu-satunya jalan keluar dari konflik yang tak terpecahkan. "Diperlukan seorang pemimpin kuat yang setidaknya mendorong pihaknya dengan cara berpikir berbeda dan bahkan mendorong hal serupa bagi pihak lawan. Tapi saya tidak melihat kedua pihak melakukan hal tersebut saat ini.”

Seberapa realistis solusi dua negara?

Agar proses perdamaian yang kredibel dapat dimulai, menurut Shikaki, diperlukan dukungan aktor internasional yang kuat — terutama Amerika Serikat sebagai sekutu terdekat Israel dan negara-negara Arab sebagai pendukung Palestina.

"Berdasarkan survei gabungan Israel-Palestina, terlihat jelas bahwa orang Israel dalam kondisi seperti ini bersedia mengubah pandangan mereka dan mendukung solusi dua negara.”

Di kalangan Palestina, dukungan terhadap solusi dua negara juga kembali menguat, meski dua pertiga responden dalam survei masih meragukan solusi tersebut.

September lalu, Prancis, Inggris, Australia, dan beberapa negara lain mengambil langkah simbolis dengan mengakui Palestina. Rencana Trump, setelah reformasi dalam pemerintahan Palestina setidaknya menawarkan "jalur kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina.”

Namun pemerintah Israel dengan tegas menolak pembentukan negara Palestina yang memiliki kedaulatan penuh dan baru-baru ini kembali mempercepat pembangunan pemukiman di Tepi Barat. Indeks Perdamaian yang dirilis Universitas Tel Aviv menunjukkan menurunnya dukungan terhadap solusi dua negara di Israel. Pada April/Mei 2025, hanya 21 persen warga Israel Yahudi yang mendukung solusi ini.

Rekonsiliasi meski terpisah 'tembok'

Selain itu, Tepi Barat yang diduduki kini telah begitu terfragmentasi oleh permukiman Israel sehingga para pengkritik menganggap negara Palestina tak realistis karena tidak memiliki wilayah yang menyatu.

Namun, contoh Irlandia Utara menunjukkan bahwa keterpisahan fisik bukanlah halangan mutlak bagi rekonsiliasi. Di Belfast, wilayah-wilayah yang didominasi kubu unionis (yang ingin menjadi bagian dari Inggris) dan republikan (yang ingin bergabung dengan Irlandia) masih dipisahkan oleh tembok dengan gerbang-gerbang yang ditutup setiap malam. "Saat tiba waktunya, tembok-tembok tersebut akan dihancurkan,” kata Mason. "Setelah konflik panjang, 27 tahun bukan waktu yang lama, terutama karena ingatan akan konflik masih begitu kuat.”

Mason telah mempelajari konflik sejak awal 1990-an. Saat itu, Israel dan Palestina sedang merundingkan proses perdamaian Oslo dan "Irlandia Utara dianggap sebagai konflik besar yang tak mungkin diselesaikan,” ujarnya.

Kini, konflik Israel-Palestina berada dalam posisi serupa, tidak ada yang tahu apakah rekonsiliasi dapat benar-benar tercapai dalam waktu dekat.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Sorta Caroline 

Editor Yuniman Farid

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait