1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Israel, Palestina, Arab Bekerja Sama Atasi Perubahan Iklim

23 Maret 2023

Inisiatif baru yang dipimpin Amerika Serikat menyatukan Palestina, Israel dan negara-negara Arab untuk mengatasi perubahan iklim di wilayah tersebut. Membangun kepercayaan dan mendanai proyek bersama cukup menantang.

Petani Emirat memanen kurma di daerah Khanou di Oasis Liwa Abu Dhabi.
Foto: Karim Sahib/AFP

Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) adalah salah satu wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara ini sudah terpukul secara tidak proporsional oleh kenaikan suhu, kelangkaan air dan penggurunan. Prospek masa depannya juga suram.

"Ini semua adalah alasan kuat bagi para ahli di kawasan ini untuk lebih banyak berkolaborasi", kata penyelenggara konferensi tentang ketahanan pertanian, air, dan pangan. Konferensi yang dihadiri oleh para ahli dari Israel, wilayah pendudukan Palestina dan beberapa negara Arab dan Muslim tersebut bertujuan untuk mengembangkan program-program praktis untuk mengatasi tantangan regional.

"Sangat banyak yang dapat dilakukan di kawasan ini dengan bekerja sama lintas batas," kata William Wechsler, Direktur Senior Prakarsa N7, penyelenggara konferensi yang diadakan pekan lalu di ibu kota Uni Emirat Arab, Abu Dhabi. Inisiatif ini mempromosikan kolaborasi antara Israel dan negara-negara Arab dan Muslim yang telah menandatangani Abraham Accords, kesepakatan yang ditengahi pada tahun 2020 untuk menormalkan hubungan antara Israel dan beberapa negara, termasuk Maroko, Uni Emirat Arab, dan Bahrain.

"Misalnya, ketersediaan air dapat dibuat lebih mudah, harga pangan dapat diturunkan, dan kehidupan masyarakat dapat dibuat lebih aman,” kata Wechsler, menyebutkan keuntungan dari kerja sama potensial.

Wechsler meyakini, pertanian adalah basis yang ideal untuk kolaborasi perubahan iklim. Bukan hanya bidang yang kemajuannya dapat dicapai dengan cepat, tetapi juga dapat berdampak besar bagi kehidupan masyarakat di seluruh kawasan MENA.

"Jika kita melewatkan kesempatan untuk mengatasi perubahan iklim sekarang, jendela peluang pada akhirnya akan tertutup," Wechsler memperingatkan.

Terlepas dari peningkatan eskalasi baru-baru ini di Israel dan Tepi Barat yang diduduki, Wechsler yakin mereka yang secara aktif terlibat dalam mengatasi perubahan iklim dan pengaruhnya ingin bekerja sama.

"Pada akhirnya, para ilmuwan dan insinyur adalah orang-orang dari dunia praktik yang tertarik untuk memecahkan masalah, tidak peduli dari mana pun mereka berasal," kata Wechsler kepada DW.

Sulit mencari pendanaan untuk proyek bersama

Peserta konferensi Faouzi Bekkaoui, Direktur Institut Penelitian Pertanian Nasional Maroko menyebutkan, Israel memiliki banyak hal untuk ditawarkan kepada negaranya.

"Keahlian Israel khususnya berkaitan dengan efisiensi penggunaan air, seperti sistem irigasi dan mengembangkan tanaman dan varietas yang lebih tahan banting,” katanya kepada DW.

Maroko adalah salah satu negara yang paling terdampak krisis air di dunia menurut laporan Bank Dunia 2022, dan sektor pertaniannya sangat terpengaruh oleh kekurangan air dan perubahan iklim.

"Israel juga membuat kemajuan signifikan dalam bioteknologi atau genomik, dan semua bidang ini juga dapat bermanfaat bagi Maroko," katanya.

Tetapi dana untuk proyek bersama Maroko-Israel atau pertukaran akademik sangat terbatas. Bekkaoui sekarang telah mengajukan proposal ke Merck Foundation yang berbasis di AS, yang mendanai proyek antara Israel dan negara-negara Arab yang menandatangani Abraham Accords, untuk mendapatkan hibah.

Sistem Irigasi Unik Berfungsi di Tunisia Ratusan Tahun

04:01

This browser does not support the video element.

Wilayah ini diketahui tidak memiliki tradisi kerjasama akademik lintas batas.

"Sebagian besar administrasi penelitian nasional, memiliki jalur terbatas untuk memberikan dana penelitian kepada organisasi asing,” kata Youssef Wehbe, seorang peneliti di Pusat Meteorologi Nasional di Abu Dhabi, dalam podcast baru-baru ini oleh Middle East Institute.

Menemukan pendanaan untuk proyek lintas batas untuk memerangi perubahan iklim bahkan lebih kompleks. Selama COP26 KTT Iklim Dunia di Glasgow pada tahun 2021, negara-negara yang lebih kaya setuju untuk menyediakan dana adaptasi senilai $40 miliar (€37,3 miliar atau Rp 601,9 triliun)) setiap tahun untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mulai tahun 2025 dan seterusnya.

"Tetapi sebagian besar dari pembiayaan ini diberikan dalam bentuk pinjaman untuk proyek mitigasi untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, seperti memasang panel surya atau pembangunan ladang energi angin, yang memberikan keuntungan bagi negara pemberi pinjaman", jelas Wehbe.

"Sebaliknya, pembiayaan untuk skema adaptasi rendah, karena lebih sulit untuk didanai dan kurang menarik bagi negara pemberi dana dibandingkan dengan model pinjaman, yang mengembalikan keuntungan bagi negara pemberi pinjaman ini," kata Wehbe.

Dia menyerukan program penelitian yang lebih berorientasi global yang menargetkan perubahan iklim "untuk mengumpulkan ide dari komunitas ilmiah internasional."

Teknologi irigasi Israel dapat membantu negara lain di kawasan itu, misalnya Maroko.Foto: Menahem Kahana/AFP

Mengatasi perubahan iklim untuk mengurangi konflik

Pakar pertanian dan perubahan iklim Jamal Saghir, seorang profesor di Universitas McGill Kanada dan mantan direktur Bank Dunia, juga menganggap kolaborasi lintas batas sebagai solusi terbaik.

"Kerja sama regional selalu merupakan situasi yang saling menguntungkan dan jauh lebih baik daripada proyek nasional atau bilateral," katanya kepada DW. "Sebagian besar negara Timur Tengah belum berbuat cukup banyak dan laju perubahan iklim jauh lebih cepat."

Timur Tengah memanas dua kali lipat rata-rata global. Hal ini diperkirakan akan memicu persaingan dan konflik atas sumber daya yang semakin menipis – sehingga penting bagi kawasan ini untuk mengatasi perubahan iklim dan konsekuensinya, seperti semakin banyaknya migrasi dan kerusuhan.

Namun, Saghir yakin kawasan ini dapat mengatasi masalah ini melalui teknologi. Di sini dia melihat Israel dan negara-negara Teluk dalam posisi memimpin.

"Teknologi Israel terdepan dalam desalinasi dan irigasi, sehingga kawasan ini akan mendapat banyak manfaat dari metode itu," katanya. Uni Emirat Arab, di luar bisnis minyaknya yang berkembang pesat, juga telah melakukan investasi yang signifikan dalam energi terbarukan, jelasnya.

"Kolaborasi bersama akan melahirkan ide-ide baru dalam penelitian dan pengembangan, yang kemudian dapat diimplementasikan oleh beberapa negara,” ujarnya. "Apa yang mereka tunggu? Ini bisa terjadi sekarang."

Kerja sama regional lintas batas dapat membantu mengatasi kekurangan air sebelum terlambat, kata penyelenggara KTT.Foto: Albert Gonzalez Farran/UNAMID/AFP

Membangun dasar kepercayaan

Tareq Abu Hamad, direktur eksekutif Arava Institute for Environmental Studies di Israel, percaya bahwa mengatasi perubahan iklim bersama dengan ilmuwan lain di seluruh wilayah dapat berubah menjadi "kesempatan besar untuk membangun kepercayaan."

"Kita tinggal di wilayah kecil yang dianggap sebagai titik panas terkait perubahan iklim, dan kita tidak punya pilihan lain selain bekerja sama satu sama lain untuk menghadapi tantangan ini," katanya.

Alex Plitsas, yang terlibat dalam Inisiatif N7, dikejutkan oleh satu adegan di konferensi yang memberinya harapan.

"Hal paling luar biasa yang saya saksikan ... di Abu Dhabi adalah ketika seorang diplomat pria Arab dari negara Teluk mengenakan thobe tradisional & mengenakan kaffiyeh duduk bersama seorang pengusaha wanita Israel dan saya larut malam," tulisnya di Twitter, "saat mereka bekerja untuk mencari tahu bagaimana membuat hidup orang lebih baik."

yas/as