Tak pernah terbayangkan kecemasan menjadi pengungsi Rohingya. Juga tak pernah bermimpi ribuan orang bisa mengepung dan ingin menggeruduk “PKI” di Jakarta baru.baru ini. Inilah renungan Geger Riyanto.
Iklan
Saya tak akan pernah bisa membayangkan diri menjadi pengungsi Rohingya. Itu pandangan saya. Sebanyak apa pun saya menyimak bacaan yang menceritakan kemalangan mereka, tak ada pengalaman membaca yang bisa menggantikan rasanya diusir dengan berondongan peluru, terbunuh kerabatnya sambil tak sanggup melakukan apa-apa, tak punya tempat atau bahkan negara untuk pulang.
Dan itu bukan bagian terburuknya. Hal yang lebih tak terbayangkan lagi: tidak ada yang tahu kapan hari-hari yang panjang tersebut akan berakhir.
Tetapi, saya juga tak pernah bermimpi saya akan mengalami peristiwa ganjil sebagaimana yang terjadi beberapa hari silam. Ketika dua ribu massa dari berbagai ormas mengepung dan ingin menggeruduk "PKI” di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta padahal yang diselenggarakan adalah festival seni, saya tanpa sengaja berada di dalamnya. Dan malam itu, saya, bersama banyak kawan lainnya, diminta untuk menjaga massa yang tertahan pagar dan polisi agar tak menyerbu masuk seandainya mereka berhasil menerabas.
Selagi kami membentuk pagar manusia, massa di hadapan menyorotkan senter ke wajah kami satu-persatu. Mereka mengambil gambar dan video kami. Dengan nada berlumuran kebencian, mereka tak henti-henti mengecam kami adalah PKI, mengatakan hidup kami tidak akan pernah aman lagi, dan kami tidak boleh berada di Indonesia. Ada pula yang meneriakkan bahwa darah kami halal.
G30SPKI: Dusta di Ujung Nyawa Pahlawan Revolusi
Adegan penyiksaan di film G30SPKI terhadap pahlawan revolusi bertentangan dengan otopsi yang diperintahkan Soeharto sendiri. Tapi demi kampanye anti komunis, bagian tersebut dihilangkan. Inilah hasil otopsi tim forensik
Foto: Davidelit
Kabar Burung di Halaman Muka
Adalah dua harian milik ABRI, Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha yang pertamakali melayangkan tudingan "penyiksaan barabarik" terhadap para jendral korban kudeta Partai Komunis Indonesia, termasuk bahwa mata korban "ditjungkil" dan "kemaluannya dipotong." Suharto sendiri dikutip membenarkan adanya "indikasi penyiksaan" di tubuh korban. Padahal hasil otopsi berkata lain.
Otopsi Dr. Kertopati
Selama delapan jam tim forensik yang dipimpin Dr. Roebiono Kertopati dan Dr. Sutomo Tjokronegoro bekerja hingga dini hari buat mengungkap penyebab kematian ketujuh jendral pahlawan revolusi. Hasil otopsi yang dilakukan atas perintah Suharto sendiri itu kemudian ditemukan lagi oleh sejahrawan Cornell University, Amerika Serikat, Ben Anderson.
Foto: Getty Images/Three Lions
Jendral Ahmad Yani
Jendral Ahmad Yani dikabarkan tewas di kediaman pribadinya setelah diberondong peluru oleh pasukan Tjakrabirawa pimpinan Lettu Doel Arief. Hasil otopsi hanya membenarkan separuh klaim tersebut. Tim forensik cuma menemukan delapan luka tembakan dari arah depan dan dua tembakan dari arah belakang. Yani diyakini meninggal dunia seketika sebelum jenazahnya diangkut oleh Tjakrabirawa.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral D.I. Panjaitan
Hal serupa terjadi dengan Brigade Jendral Donald Isaac Panjaitan. Hasil pemeriksaan menyebut dia mendapat tiga tembakan di bagian kepala dan sebuah luka kecil di lengan. Tidak ada bukti penyiksaan pada tubuh seperti yang ditudingkan oleh mabes ABRI kala itu.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral M.T. Haryono
Adapun laporan kematian Letnan Jendral Mas Tirtodarmo Haryono masih menimbulkan teka-teki karena tercatat tidak memiliki luka tembakan. Dokter hanya menemukan luka tusukan di bagian perut yang diduga disebabkan oleh bayonet. Luka serupa yang ditengarai tidak fatal juga ditemukan pada punggung dan pergelangan tangan korban yang diduga muncul ketika jenazah dilemparkan ke Lubang Buaya.
Foto: Davidelit
Mayor Jendral Siswondo Parman
S. Parman menderita lima luka tembakan, termasuk dua di kepala yang menyebabkan kematiannya. Tim forensik juga menemukan luka atau retakan pada tengkorak, rahang dan bagian bawah kaki kiri yang disebabkan oleh trauma. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab trauma tersebut. Ben Anderson menulis pukulan popor senjata atau benturan pada lantai dan dinding sumur bisa menjadi penyebabnya.
Foto: Davidelit
Letnan Jendral Soeprapto
Letjen Soeprapto meninggal dunia akibat sebelas luka tembakan di berbagai bagian tubuh. Serupa S. Parman, dia juga menderita keretakan tulang di bagian tengkorak dan tiga luka sayatan yang diduga disebabkan oleh bayonet. Keretakan pada tulang korban diyakini sebagai akibat benturan dengan benda tumpul seperti popor senapan atau batu.
Foto: Davidelit
Brigade Jendral Sutoyo Siswomiharjo
Brigjend Sutoyo adalah sosok yang paling ramai dikaitkan sebagai korban penyiksaan PKI. Di dalam film G30SPKI anggota Gerwani ditampilkan menyungkil salah satu matanya. Namun hasil otopsi berkata lain. Sutoyo menderita tiga luka tembakan, termasuk satu luka fatal di kepala, dan trauma di bagian lengan kanan.
Foto: Davidelit
Kapten Czi. Pierre Tandean
Serupa yang lain, Pierre Tandean meninggal dunia akibat empat tembakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Dia juga menderita luka dalam di bagian kening dan lengan kiri, serta "tiga luka terbuka akibat trauma di kepala." Tidak seorangpun dari tim dokter forensik bisa memastikan indikasi penyiksaan seperti yang ditudingkan Suharto kala itu.
Foto: Davidelit
9 foto1 | 9
Bagaimana kalau kebencian membuntuti sepanjang hidup?
Drama ini berakhir selepas kami, yang terjebak sepanjang lima jam di dalam LBH Jakarta, dievakuasi polisi. Massa tak pernah berhasil menyentuh kami. Dan, karenanya pula, saya insaf, pengalaman tak lazim ini tidak bisa diperbandingkan dengan situasi yang dialami orang-orang Rohingya.
Akan tetapi, pengalaman ini memungkinkan saya mengandaikan pikiran-pikiran yang sangat kelam. Bagaimana kalau kebencian yang membakar massa tersebut membuntuti saya sepanjang hidup? Bagaimana bila ke mana pun saya melangkah, orang-orang merisak saya dan mengatakan saya tak layak hidup di negeri ini? Pemerintah tak memperbolehkan saya pergi ke mana pun atau melamar pekerjaan? Aparat menangkap saya untuk kejahatan yang tak pernah saya lakukan? Dan sewaktu-waktu kericuhan sosial pecah, kambing hitam paling pertama adalah saya?
Mirisnya, untuk beberapa kelompok insan, ini sama sekali bukan pengandaian. Ini terjadi kepada orang-orang Rohingya. Melongok ke masa silam negeri ini sendiri, ini terjadi kepada setiap orang yang gagal menepis tuduhan "PKI,” terlepas benar atau tidak ia terlibat di dalam partai tersebut.
Satu hal yang saya syukuri adalah dakwaan "PKI,” yang saya herankan dari mana datangnya, menghinggapi kami dalam malam yang sangat semrawut. Emosi membuat bukan hanya kerumunan gelap mata dan beringas. Saya juga tak yakin ada yang benar-benar bisa mengingat kami dalam segenap kekacauan tersebut. Di samping itu, tentu saja, saya juga merasa beruntung sudah berada di bawah rezim yang berbeda.
Pada tahun 1960-an, mereka yang menjadi korban dari tuduhan ini akan kontan kehilangan kehidupannya—dalam pengertian yang figuratif maupun harfiah. Jumlahnya pun sama sekali tidak bisa dikatakan sedikit. Dalam data Fact-Finding Commission KOTI, jumlah mereka yang dibui mencapai 106 ribu orang. KTP mereka dan anggota keluarganya dilabeli sehingga mereka tidak bisa melamar pekerjaan ke mana-mana. Mereka yang terbunuh dalam pembersihan besar-besaran? Berdasarkan data survei Kopkamtib pada tahun 1966, 250 ribu jiwa meninggal pada kurun ini.
Keterlibatan Asing dalam Pembantaian 1965
Sejarah mencatat pembantaian simpatisan PKI 1965 adalah buah kotor percaturan politik dunia di era Perang Dingin. Bahkan propaganda anti komunis yang disebarkan di Indonesia pun dirancang dan disusun di luar negeri
Foto: Yoichi Robert Okamoto
Dunia Terbelah Dua
Pada dekade 60an dunia didera konflik ideologi antara Amerika dan Uni Sovyet. Akibatnya perang proksi menjalar ke berbagai belahan Bumi. Jerman terbelah dua dan negara berkembang menjadi lahan lain perseteruan dua adidaya tesebut. Tahun 1963 Amerika Serikat gagal menjatuhkan benteng Komunisme di Kuba. Presiden baru AS, Lyndon B. Johnson, lalu beralih menginvasi Vietnam Utara.
Foto: Getty Images/P. Christain
Adu Jotos di Negeri Orang
Bagaimana kedua adidaya menjadikan negara berkembang sebagai catur politik terlihat dari banyaknya perang proksi. Dekade 1960an mencatat sedikitnya 50 konflik semacam itu, yang terbanyak selama Perang Dingin. Uni Sovyet dan Cina terutama getol memasok senjata buat pemberontak komunis. (Gambar: Pemimpin Cina Mao Tse Tung dan penguasa Sovyet Nikita Khrushchev di Beijing, 1959)
Foto: AP
Pemberontakan Komunis Malaysia
Lima tahun sebelum peristiwa G30S, Malaysia telah mendahului lewat perang antara Malayan National Liberation Army yang didukung Partai Komunis dan tentara persemakmuran pimpinan Inggris. Konflik serupa terjadi di Kongo, India, Bolivia dan Kolombia.
Foto: Public Domain
Primadona Perang Dingin
Indonesia adalah medan perang lain antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mulai dekade 50an, Presiden Soekarno menjadi primadona politik yang diperebutkan oleh Presiden AS John F. Kennedy dan penguasa Uni Sovyet, Nikita Khrushchev. Saat itu Indonesia sudah menjadi salah satu kekuatan terbesar di Asia Tenggara dan mulai diperhitungkan di dunia.
Foto: Central Press/Hulton Archive/Getty Images
Petualangan di Timur
Soekarno yang mulai menua justru merasa Indonesia cukup kuat untuk menanggalkan asas netralitas dan menghidupkan poros Moskow-Beijing-Jakarta. Memasuki dekade 1960an, Uni Sovyet tercatat sebagai pemberi bantuan terbesar ke Indonesia, melebihi negara lain. Petualangan politik itu kemudian ternyata berujung fatal buat Indonesia
Foto: picture-alliance/Everett Collection
Manuver Sukarno
Hubungan Indonesia dan barat remuk setelah Amerika Serikat membantu pemberontakan PRRI/Permesta tahun 1958. Sebagai balasan Sukarno memerintahkan agresi militer terhadap Malaysia buat menentang pembentukan negara persemakmuran oleh Inggris. Soekarno saat itu beralasan dirinya menentang neo kolonialisme. Realitanya ia menyokong pemberontakan kelompok Komunis Malaysia di Serawak.
Foto: gemeinfrei
Harapan di Tangan Tentara
AS pun mulai berupaya menggembosi Partai Komunis Indonesia. Mereka mengkhawatirkan Soekarno yang mulai tua akan mewariskan tahta kepada PKI. Kendati dimusuhi Jakarta, dinas rahasia barat tetap menjalin kontak dengan TNI yang dianggap satu-satunya harapan memberangus komunisme di Indonesia. Hingga peristiwa 65, AS telah melatih setidaknya 4000 perwira TNI.
Bantuan dari Jerman
Tahun 1971 mingguan Jerman Der Spiegel melaporkan pada 1965 dinas rahasia BND bekerjasama dengan CIA memerangi PKI di Indonesia. BND antara lain membantu TNI dengan memasok senjata api, alat komunikasi dan uang senilai 300.000 DM atau sekitar 700 ribu Euro.
Foto: Imago
Pujian Gehlen buat Suharto
Tahun 1965 BND memiliki seorang agen rahasia, eks perwira NAZI, Rudolf Oebsger-Röder yang menyamar sebagai wartawan di Jakarta. Reinhard Gehlen (gambar), Presiden BND, menulis dalam memoarnya bahwa keberhasilan Suharto "menumpas PKI patut dihargai setinggi tingginya." Gehlen mengaku kehilangan "dua teman dekat" yang ikut dibunuh pada peristiwa G30S, salah satunya Brigjen Donald Isaac Pandjaitan
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda Kiriman Barat
National Security Archive di AS mencatat dinas rahasia Inggris, MI6, yang beroperasi dari Singapura, menggandeng dinas rahasia Australia buat merancang propaganda hitam terhadap PKI, etnis Cina dan Sukarno. MI6 bahkan memanipulasi pemberitaan media asing seperti BBC. Propaganda yang banyak berkaca pada pemberontakan komunis Malaysia itu lalu diadopsi berbagai media Indonesia yang dikuasai TNI
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Daftar Maut Amerika
Tidak banyak kejelasan mengenai keterlibatan langsung dinas rahasia asing terhadap pembantaian simpatisan PKI. Yang jelas sejarah mencatat bagaimana Kedutaan Besar Amerika Serikat menyerahkan daftar berisikan 5000 nama jajaran pimpinan PKI kepada TNI. Dokumen tersebut, kata Robert J. Martens, atase politik di kedubes AS, "adalah bantuan besar buat TNI."
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Darah Disambut Pesta
Di hari-hari pembantaian itu dunia merayakan kehancuran PKI di Indonesia. PM Australia Harold Holt (ki.) berkomentar "dengan dibunuhnya 500 ribu sampai 1 juta simpatisan Komunis, aman untuk berasumsi bahwa reorientasi (di Indonesia) sedang berlangsung." Ironisnya Uni Sovyet cuma bereaksi dingin dengan menyebut pembantaian tersebut sebagai "insiden yang tragis."
Foto: Yoichi Robert Okamoto
12 foto1 | 12
Apakah mereka benar-benar anggota PKI?
Tidak. Pemain gamelan, yang alatnya kebetulan saja dipinjam untuk pentas partai tersebut, terbunuh. Sanak-saudara anggota PKI, yang tak berhubungan apa-apa, ditangkap. Orang-orang yang bermusuhan dengan kepala kampung yang kebetulan dipercaya menyusun daftar anggota PKI yang akan digiring entah ke mana? Mereka akan mendapati namanya dalam daftar tersebut.
Dan pengepungan, seperti yang terjadi di LBH, adalah hal yang sangat sering terjadi pada waktu itu. Satu desa akan dikepung sebelum rumah tersangka anggota PKI digeruduk untuk memastikan tidak ada yang bisa lari. Dan ketika para terduga ini terciduk, selanjutnya nasib mereka tergantung pada kebaikan hati massa dan algojo.
Persekusi orang-orang Rohingya berangkat dari logika gelap mata serupa. Setiap orang Rohingya dipukul rata sebagai ancaman bagi orang-orang Buddhis. Bahkan ketika para pejabat keamanan tak mempunyai bukti apa-apa untuk mengatakan ini, mereka menciptakannya. Para jurnalis yang datang untuk meliput para pengungsi Rohingya langsung disajikan dengan bukti-bukti rekaan bahwa selalu orang Rohingya yang pertama menimbulkan gara-gara. Namun, ketika perwakilan pemerintah menjelaskan bahwa pihak yang membakar kampung-kampung adalah orang Rohingya sendiri, seorang wartawan dari BBC menemukan bahwa foto tersebut direka.
Apa yang sudah acap kita dengar adalah orang-orang Rohingya ini tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Namun, yang lebih jarang kita dengar adalah mereka hanya boleh meninggalkan desanya dengan izin khusus, dan ini menyebabkan mereka tak bisa mendapatkan akses pendidikan serta kesehatan yang layak. Pada akhir 1990-an, mereka bahkan harus memperoleh izin untuk menikah. Pengeluaran izin membutuhkan bayaran serta pelicin yang tidak sedikit. Waktu yang dibutuhkan untuk keluarnya izin bahkan bisa bertahun-tahun.
Komunisme Sudah Mati Dimangsa Kapitalisme
Ideologi komunisme sudah bangkrut seiring runtuhnya Tembok Berlin, bubarnya Uni Sovyet dan Pakta Warsawa. Ironisnya negeri komunis kini lebih lihai bicara pertumbuhan ekonomi ketimbang ideologi.
Foto: Fotolia/Savenko Tatyana
Rusia
Biang komunisme Eropa ini menyadari runtuhnya ideologi yang digagas Karl Marx dan dikembangkan oleh Lenin dan Stalin seiring bubarnya Uni Sovyet. Pemimpin Rusia saat ini, Vladimir Putin tidak lagi banyak bicara soal ideologi, melainkan lebih menekankan ekpsor migas, penjualan senjata dan berebut hegemoni kekuatan global.
Foto: picture alliance/landov/A. Zhdanov
Cina
Embahnya komunisme di Asia ini menyadari bahwa ekonomi lebih penting dari ideologi. Petinggi Partai Komunis di Beijing lebih panik saat ekspor anjlok dan konjungktur turun, ketimbang saat Kongres Rakyat macet. Cina masih terapkan sistem satu partai, tapi terus membangun zona ekonomi istimewa dimana-mana untuk genjot ekspor. Negara ini juga memberi utang 1 Trilyun US Dollar kepada Amerika Serikat.
Foto: Reuters/D. Sagolj
Vietnam
Negara Asia lain yang masih mengusung ideologi komunisme ini, sudah sejak dua dasawarsa banting setir mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Komunis Vietnam digdaya pada tahun 70-an dengan menumbangkan kekuatan Amerika. Namun tahun 90-an menyadari, kemakmuran dan ekonomi lebih penting dibanding ideologi.
Foto: AFP/Getty Images
Korea Utara
Satu-satunya negara Asia yang diyakini masih setia pada ideologi komunisme adalah Korea Utara. Tapi Kim Jong Un kini lebih tertarik pada permainan kekuasaan global, dengan ancaman senjata nuklirnya ketimbang penguatan ideologi. Politik dinasti Kim kini kelihatan jauh lebih penting dari komunisme, yang lebih banyak digunakan menenangkan rakyat yang lapar dan miskin.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Kuba
Komunisme di Kuba pelan-pelan sekarat bersama lengsernya Fidel Castro. Penerusnya yang juga adiknya Raul, lebih membuka diri untuk pertumbuhan ekonomi. Pelan tapi pasti Kuba membuka pasarnya dan berfokus pada kepentingan ekonomi ketimbang ideologi. Rakyat sudah muak dengan kemiskinan dan pembodohan selama 5 dasawarsa diktatur komunis.
Foto: picture-alliance/dpa/O. G. Mederos
Laos
Sejak lebih dari satu dekade Laos yang berpartai tunggal sibuk menggulirkan liberalisasi pasar untuk membenahi perkonomian. Hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 8% hampir setiap tahun. Tapi serupa Cina, jiran Indonesia itu masih setia pada konsep Marxis/ Leninis dan tidak segan menangkap atau menghilangkan paksa aktivis kemanusiaan jika diperlukan.
Foto: Getty Images/AFP/H. Dinh Nam
6 foto1 | 6
Untuk apa sekelompok insan diperlakukan sedemikian tak berperasaan?
Pertanyaan yang selanjutnya mengemuka setelah menyimak kondisi ini mungkin, untuk apa sekelompok insan diperlakukan sedemikian tak berperasaan? Rohingya adalah hantu—suatu keberadaan spektral. Ketika semua bukti yang ada menunjuk mereka adalah etnis yang ringkih dan dipersekusi, perasaan terancam yang mengada-ngada melucuti akal sehat para pejabat maupun sebagian warga Myanmar dan menjadikan mereka monster yang tak nyata. Mereka adalah teror Islam bagi umat Buddha yang kian rawan. Tidak ada asas kemanusiaan yang perlu berlaku untuk apa yang tidak dianggap manusia yang sama rasa, sama rata.
Demikian juga dengan komunisme. Ketika ia sudah diblejeti habis-habisan dan yang tersisa hanyalah masa silam yang menyakitkan bagi para penyintas 1965, orang-orang masih membayangkannya sebagai momok yang siap menerkam dari kegelapan. Rasa iba atau penyesalan tidak perlu diecer kepada mereka yang pernah berkhianat dan masih siap bangkit kembali pada waktunya nanti.
Tetapi, karena monster yang nyata tak pernah ditemukan, akhirnya yang menjadi sasaran adalah mereka yang jauh dari bayang-bayang monster. Apa yang akhirnya terjadi adalah ia memantik persekusi kepada kelompok minoritas selagi menjadi menjadi amunisi untuk membunuh lawan politik atau merepresi kritik. Bukan tanpa alasan, dakwaan-dakwaan PKI berseliweran kencang setiap kali pemilu menjelang. Dan bukan tanpa alasan pula, ia dilekatkan kepada para aktivis yang harus dibungkam agar perusahaan tambang, semen, ataupun sawit setempat tak merugi.
Perlukah kita menerka mengapa Aung San Suu Kyi, terlepas dari reputasinya sebagai simbol Hak Asasi Manusia, tak mau bersuara membela Rohingya? Mengapa ia bahkan menyatakan bahwa krisis Rohingya sejatinya merupakan problem terorisme yang dilakoni kelompok Rohingya sendiri? Suu Kyi adalah politisi, dan ia tahu mengadvokasi Rohingya hanya akan menjadikan dirinya sasaran tembak musuh politiknya yang sangat banyak.
Pada suatu hari, ini semua perlu berhenti. Hantu-hantu perlu diistirahatkan agar yang hidup tak terganggu. Sayangnya, suatu hari ini adalah suatu hari yang belum bisa kita terka kapan.
Penulis:
Geger Riyanto (ap/vlz)
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Suara Bisu Perempuan Korban Tragedi 65
Jutaan penduduk menua dengan trauma 65 di pundaknya. Sebagian pernah disiksa dan kehilangan anggota keluarga. Hingga kini mereka menderita dalam diam. Tanpa suara. Tanpa keadilan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Uang saya hanya cukup untuk menyambung nyawa"
Sumilah berusia 14 tahun ketika ia ditangkap tahun 1965. Tuduhannya: Dia adalah anggota dari gerakan perempuan "Gerwani". Aparat menghajarnya sampai pingsan. Mereka kemudian menyekap Sumilah di kamp Plantungan. Di sana baru diketahui bahwa ia korban salah tangkap. Di masa tua, Sumilah hidup di Yogyakarta dengan uang pas-pasan.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mereka memukuli ayahku hingga hampir mati"
Ayah Kina diduga merupakan simpatisan Komunis. Ia ditangkap dan tak boleh bekerja. "Itu sebabnya saya mengambil peran sebagai pengganti ayah," kata dia. Kina berpakaian seperti anak laki-laki, bekerja di ladang an mengumpulkan kayu bakar. Masyarakat mengecapnya sebagai "anak komunis". Oleh karena itu, ia dan saudara-saudaranya kehilangan hak atas tanah ayah mereka .
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Masih tersimpan luka di hati saya"
Suami Lasinem ditangkap tahun 1969, disiksa & dikirim ke Pulau Buru. "Suamiku diangkut oleh kawannya sendiri, yang merupakan tentara. Dia dipukuli, punggungnya diinjak-injak sampai luka di sekujur tubuh," papar Lasinem. Perempuan ini ditinggalkan sendirian dengan anak-anaknya. Tahun 1972, mereka menyusul sang kepala keluarga ke Buru. Trauma ketakutan melekat di diri Lasinem hingga saat ini.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Meski dipukuli bertubi-tubipun saya tidak menangis"
Sri adalah seniman dan penyanyi yang tergabung dalam organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1965 ia ditangkap, disiksa, dan dipenjara. "Depan kamar tidur kami penuh tahi," kenangnya. "Kotoran itu baunya tak tertahankan." Ketika dia dibebaskan pada tahun 1970, rumahnya sudah dirampas keluarga lain. Sri menjadi tunawisma. Di masa tua, ia tinggal bersama keponakannya.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Aku harus meninggalkan bayi perempuanku"
Berkali-kali Yohana ditangkap, ditahan, diinterogasi. Ketika ditangkap ke-2 kalinya, ia baru saja melahirkan. Ia dipisahkan dari bayinya masih menyusu. Dua tahun kemudian baru ia bertemu anak perempuannya lagi. "Pengalaman kekerasan itu menghantuiku terus," paparnya. Namun, sepanjang hayatnya, ia tak pernah menceritakan apa yang menimpanya saat itu, bahkan pada keluarganya sekalipun.
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Mungkin takkan pernah lupa"
Ketika Juriah beumur 7 tahun, ayah diasingkan ke Pulau Buru tahun 1966. Saat menginjak usia 18 tahun, Juriah dipaksa ikut pernikahan massal. Dia harus berjanji tidak pernah meninggalkan Buru. Meskipun penuh penderitaan, ia tetap di sana: "Jika kita datang ke tempat-tempat tertentu, kita akan berbicara tentang masa lalu dan terasa seolah-olah kita tertusuk pisau."
Foto: Anne-Cecile Esteve
"Orang-orang belum tahu kebenarannya"
"Begitu banyak hilang pada tahun 1965, tanpa pengadilan atau bukti-bukti keterlibatan dengan kasus 65," kata Migelina. Seluruh keluarganya dipenjara pada tahun 1965 - ia kehilangan orang tuanya dan kakaknya. Meski tragedi sudah berlalu berakhir, tetapi ia tetap mendoakan. Migelina percaya bahwa Tuhan memberinya kehidupan lebih panjang, untuk bisa mengetahui apa yang terjadi dengan keluarganya.