1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Isu Kenaikan Harga Rokok Picu Perdebatan

23 Agustus 2016

Apakah Anda setuju harga jual eceran rokok dinaikkan? Kontroversi wacana kenaikan harga rokok terus tergulir.

Zigarettenrauch
Foto: Imago/M. Weber

Kenaikan harga rokok menjadi 50.000 rupiah dari sekitar 15 ribu rupiah dinilai akan efektif untuk mengurangi jumlah perokok, demikian ujar peneliti demografi dari Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan. Dikutip dari The Jakarta Post, Abdillah mengatakan, kenaikan harga rokok harus lebih tinggi dari 10 persen agar efektif dalam mencegah pembelian rokok. "Pemerintah sebenarnya dapat meningkatkan harga empat kali lipat menjadi sebesar Rp 60.000. Tapi, seperti peningkatan harga akan menjadi hak prerogatif politik pemerintah," ujarnya pada The Jakarta Post.

Dari gedung DPR, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengatakan, pihaknya setuju jika cukai rokok dinaikkan, tapi dengan syarat dananya dikembalikan ke sektor kesehatan. "Misalnya bangun rumah sakit, fasilitas kesehatan," ujar Dede Yusuf seperti dilansir kompas.com. "BPJS saja kan defisit 6 triliun rupiah. Kalau bisa dibantu dari situ (cukai rokok), kemudian pengembangan untuk menyelesaikan masalah kanker paru-paru. Itu bagus," tandasnya.

Dede menambahkan, Komisi Kesehatan memandang wacana kenaikan harga rokok dari dua aspek yakni sisi kesehatan dan ketenagakerjaan. Dari aspek kesehatan, dia memaparkan rokok mengganggu kesehatan sehat, semantara dari segi ketenagakerjaan, ia memandang upah buruh linting tembakau masih amat rendah.

Harga rokok di bawah Rp 20.000 dinilai berbagai kalangan menjadi penyebab tingginya jumlah orang yang mengkonsumsi rokok di di Indonesia.

Di lain pihak, panitia kerja RUU pertembakauan menilai adanya kepentingan asing dibalik isu kenaikan harga rokok ini, yakni masuknya rokok elektrik yang sudah dikonsumsi berbagai kalangan.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, industri rokok berkontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan negara. Jumlah tenaga kerja di sektor tersebut mencapai enam juta lebih pekerja, yang terdiri atas petani tembakau, karyawan dan distribusi. Dikutip darin kompas.com, Dhakiri meyakini sejumlah industri rokok akan mengurangi produksi dan banyak tenaga kerja yang tidak terpakai.

Ia pun menyakini bahwa wacana kenaikan harga rokok itu tidak benar. Sebab menurutnya, baik Menteri Keuangan ataupun Dirjen Beacukai sudah membantah isu kenaikan rokok tersebut.

Sejauh ini Kementerian Keuangan belum membuat peraturan baru terkait harga jual eceran rokok. Menkeu Sri Mulyani mengatakan, yang tengah dikaji adalah kenaikan tarif cukai. Sementara kenaikan harga jual eceran rokok harus disesuaikan dengan undang-undang.

Dikutip dari kompas.com, pemerintah menargetkan pendapatan cukai dalam RAPBN pada tahun 2017 sebesar 157,16 triliun rupiah atau naik 6,12 persen dari target APBN Perubahan 2016 sebesar 148,09 triliun rupiah. Sementara untuk cukai hasil tembakau, ditargetkan sebesar 149,88 triliun rupiah atau naik 5,78 persen.

Polemik kenaikan harga rokok bergulir, setelah dalam Kongres Indonesian Health Wconomics Association di Jakarta bulan lalu, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, mengumumkan hasil risetnya bahwa perokok akan berhenti merokok, apabila harga ecerannya dinaikkan tiga kali lipat.

ap/yf(kompas/thejakartapost7cnnindonesia)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait