1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Isu LGBT, “Kambing Hitam“ Peliharaan Walikota Depok

Indonesien, Nadya Karima Melati, Bloggerin
Nadya Karima Melati
25 Januari 2020

Menyusul kasus kekerasan seksual sesama jenis yang dilakukan Reynhard Sinaga di Manchester, Inggris. Walikota Depok, Jawa Barat, Mohammad Idris berencana untuk melakukan razia terhadap komunitas LGBT,

Foto: Imago Images/A. Irawan

"Bego dipiara, kambing dipiara biar bisa gemuk!" (Kasino Warkop dalam Pintar-pintar Bodoh,1980)

Barangkali Mohammad Idris, Walikota Depok 2011 - 2016 menelan petuah Kasino Warkop mentah-mentah. Ia ingin sekali mencitrakan diri sebagai pemimpin yang beradab dan masyhur, maka dari itu ia mencoba untuk mengamalkan nasihat tersebut dan memelihara kambing. Tapi kambing yang dipelihara bukan kambing sungguhan melainkan kambing hitam, sebuah retorika untuk pengalihan isu.

Depok sebagai kota penyangga Jakarta punya banyak sekali permasalahan. Sejak Depok dipimpin oleh dinasti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada tahun 2006, Depok mulai menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Pohon-pohon ditebang, kemacetan, sampah, banjir, jalan rusak hingga tingginya angka pelecehan seksual di ruang umum. Semua itu bermuara pada kegagalan pemerintahan di Depok dalam perencanaan tata kota.

Kegagalan ini juga sehubungan dengan tingkat korupsi dalam pergulatan politik elite politisi Depok. Untuk menutupi fenomena tersebut, politisi kota Depok memelihara kambing hitam. Kambing hitam digunakan sebagai tameng yang mengalihkan warga Depok tidak menyalurkan amuk frustrasi terhadap dinasti ini.

Penulis: Nadya Karima MelatiFoto: Nadya Karima Melati

Kehancuran Depok di Bawah Dinasti PKS

Dengan luas wilayah sebesar 200.3 km² Kota Depok berdiri sebagai penghubung dan penyangga Kota Jakarta. Sebagai kota penghubung, Depok menyambungkan kota Jakarta dan Bogor khususnya melalui lintasan kereta api barang.

Kereta api yang melintasi Depok pada awalnya digunakan untuk mengangkut hasil kebun dari Priangan ke Jakarta pada 1873 oleh perusahaan swasta Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Selanjutnya diambil alih oleh Pemerintah Belanda pada 1930 sebagai jalur kereta api listrik dan sarana angkut manusia ketika pertumbuhan populasi menjadi semakin padat.

Selain kota penghubung bagi penglaju, Kota Depok juga jadi kota transportasi dan penyerapan air. Pada awal perkembangannya, Depok ditargetkan menjadi wilayah resapan air bagi Kota Jakarta dengan dibangunnya banyak situ/waduk. Selain itu, perkebunan karet dan buah menjadi wilayah hijau bagi Depok untuk menyangga Jakarta dan sekitarnya.

Sejarawan sekaligus penduduk Depok, JJ Rizal mengatakan pembangunan di Depok sama sekali tidak berorientasi pada kekuatan dan potensi alamiah Depok. "Kecenderungan Depok (itu harusnya) mengarah ke kota biru dan kota hijau, kenapa sekarang Depok itu menjadi kota abu-abu, aspal dan beton melulu,” ujarnya dalam sebuah wawancara wisata situs Sejarah Kota Depok.

Depok sangat bergantung dengan para warga penglaju yang menghidupkan perekonomiannya. Oleh karena itu transportasi dan tata kelola infrastruktur jalan di Depok harus menjadi prioritas. Namun pada kenyataannya, sepanjang saya besar dan tinggal di Depok, pemerintahan tidak pernah punya masterplan kota yang jelas dan terkonsep.

Hingga sampai tulisan ini dibuat, pemerintah Kota Depok pada tahun 2019 menyatakan akan merevisi ulang master plan-nya dan memulai rencana tata kota yang berbasis Smart City. Sungguh tidak konsisten.

Entah apa yang pemkot Depok maksud dengan slogan Smart City ini sebab untuk menyelesaikan masalah transportasi kemacetan dan penurunan jumlah angkot saja pemerintah tidak becus. Tidak ada walikota seabsurd Mohammad Idris yang memutar lagu "Hati-hati di Jalan" guna menyelesaikan masalah tata kelola transportasi di Depok.

Kota Depok memang gemar mengoleksi slogan omong kosong sebagai ciri khas pemerintahan dinasti PKS yang memerintah sejak masa Nurmahmudi Ismail 2006 hingga Mohammad Idris 2016. Lihat saja bagaimana dengan slogan Kota Depok Ramah Anak pada 2017 tetapi kenyataannya Depok menjadi kota keempat dengan kekerasan anak tertinggi menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia tahun 2018. Atau Nurmahmudi sendiri yang menganjurkan kebijakan moralis seperti makan dengan tangan kanan tetapi terlibat kasus korupsi.

Selain itu pemimpin kota Depok tidak peduli dengan manusia yang menyangga perekonomian kota. Selama saya tinggal dan berkuliah di Universitas Indonesia, Depok, sudah jadi pemahaman bersama bahwa jarang sekali mahasiswa/i Universitas Indonesia yang menyukai Depok.

Tidak seperti mahasiswa Kota Bandung atau Yogyakarta yang bisa nostalgia indah dengan kota tempat belajarnya. Mahasiswa/i tidak menyukai Kota Depok. Trotoar untuk pedestriannya buruk, toko dilarang buka 24 jam, dilarang menjual alkohol dan jembatan penyebrangan orang (JPO) pembangunannya dikorupsi sehingga para mahasiswa memberikan JPO-JPO busuk itu dengan sebutan "jembatan hernia" dan "jembatan aborsi" sebab konstruksinya sangat buruk sampai manusia yang menyeberang tidak selamat dan berpotensi kecelakaan.

Memelihara isu LGBT sebagai tameng

Jika ada kontes walikota paling absurd se-Indonesia, Mohammad Idris bisa jadi berpotensi untuk menang. Semua ketidakmampuanyang ia lakukan selama menjabat menjadi walikota dia tutupi dengan kebijakan homofobia.

Lihat saja bagaimana ia merespons kasus perkosaan Reynhard Sinaga di Inggris dengan mengeluarkan surat instruksi kepada Perangkat Daerah (PD) untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penyebaran perilaku LGBT dengan razia ke apartemen dan kos-kosan, dan ini bukan pertama kalinya dia bertingkah aneh.

Kebencian terhadap minoritas seksual memang sengaja dilakukan oleh pemerintahan dinasti PKS ini untuk menutupi ketidakmampuan mereka dalam memimpin dan mengelola Kota Depok.

Ruang terbuka hijau yang semakin sempit bersamaan dengan masifnya pembangunan apartemen membuat Depok sama seperti Jakarta, berpotensi kehabisan air tanah dalam 2080. Di sisi lain, kesenjangan sosial yang tinggi tidak digubris. Semua pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah berorientasi pada kelas atas seperti mall, apartemen dan jalan tol sementara fasilitas publik seperti trotoar dan kualitas udara bersih diabaikan.

Ironi paling nyata ketika spanduk anti-LGBT besar-besaran dipajang oleh kantor kecamatan Pancoran Mas pada 2018 lalu. Padahal di saat yang sama wilayah tersebut sedang dilanda masalah kemacetan parah akibat kesalahan pembangunan jalan yang tidak memikirkan aliran dan serapan air. Untuk mengalihkan rasa frustrasi warga terhadap susahnya akses transportasi, pemerintah kota menggunakan isu LGBT sebagai kambing hitam untuk meluapkan kemarahan warga atas tata kelola yang tidak becus.

Carut-marutnya pembangunan di Depok dibuktikan dengan keluhan terus menerus para warga dan pada akhir 2019 terungkap kasus korupsi Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Depok yang dicurigai ada sangkut pautnya dengan pemimpin Kota Depok termasuk Walikotanya. Sebab, mantan Walikota sebelumnya pun sudah terseret dalam kasus ini. Ketika banyak warga mengeluh tentang buruknya fasilitas umum dan hak dasar warga, pemerintah Kota Depok mengeluarkan jurus andalan: mengeluarkan isu moralis seperti perencanaan perda anti-LGBT yang diusung oleh tujuh fraksi di DPRD Kota Depok pada Juli 2019 lalu. Raperda ini pernah ditolak namun diusulkan kembali pada tahun 2020.

Pro-kontra Raperda anti-LGBT tentu menjadi pengalihan isu yang bagus untuk menutupi skandal korupsi besar yang merugikan seluruh warga Depok. Homofobia di Depok adalah isu yang dipelihara dan digunakan elite pemerintah kota untuk menipu warga dan mengalihkan rasa frustrasi warga yang tidak mendapatkan hak dasarnya atas hidup yang layak. Selama Pemerintah Depok terus-terusan mengeluarkan pernyataan anti-LGBT. Di situ kita harus terus mencurigai skandal besar yang sedang bermain di belakang.

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.