Italia dan UE Rilis Rencana Aksi untuk Migran di Lampedusa
Priyanka Shankar
19 September 2023
Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen telah mengumumkan 10 poin rencana untuk mengatasi lonjakan drastis kedatangan migran ke Eropa lewat Italia.
Iklan
Jalan sempit dan berbatu menuju Contrada Imbriacola, pusat penerimaan migran utama di Pulau Lampedusa, Italia, dipenuhi oleh kru Palang Merah Italia yang sibuk membuka jalan bagi kedatangan Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni dan Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen.
Hanya dalam waktu dua hari pada pekan lalu, setidaknya lebih dari 7.000 migran tiba di Lampedusa dengan perahu kecil dari Tunisia. Lampedusa, Salah satu pulau di kepulauan Pelagie Italia yang terletak di Laut Mediterania antara Tunisia dan Malta, memiliki populasi lokal sekitar 6.000 jiwa. Pusat penerimaan migran di pulau itu, hanya mampu menampung 400 migran sehingga pemerintah setempat mengumumkan keadaan darurat.
Pada Minggu (17/09) pagi waktu setempat, Meloni bersama von der Leyen dan Komisaris Dalam Negeri Uni Eropa (UE)Ylva Johansson tiba di pusat penerimaan migran untuk meninjau situasi. Ketika ditanya oleh para jurnalis apakah kedatangan ribuan migran merupakan masalah bagi Lampedusa dan seperti apa solusinya, Meloni menjawab dengan tegas: "Saya sedang mengatasinya," katanya sambil berjalan ke pusat pengungsian.
Meloni dan para pejabat UE menyaksikan keadaan yang relatif tertib, sangat berbeda dengan situasi sehari sebelumnya ketika ribuan migran berkumpul di dalam dan sekitar pusat pengungsian dalam keadaan putus asa.
"Situasi di pusat peampungan tersebut tidak terlalu baik karena terlalu ramai bahkan untuk mendapatkan makanan,” kata seorang perempuan muda yang datang dari Sierra Leone kepada DW. "Jika Anda tidak berkelahi, Anda tidak akan punya makanan. Bahkan mandi pun menjadi masalah. Semula ada hampir 9.000 orang di sini, tapi sekarang mereka sudah mulai memindahkan sebagian orang ke tempat lain."
Kami Berasal dari Sini: Kehidupan Keturunan Turki-Jerman dalam Gambar
Untuk merayakan ulang tahun ke-60 kesepakatan penerimaan pekerja migran asal Turki di Jerman, museum Ruhr memamerkan foto-foto karya fotografer asal Istanbul, Ergun Cagatay.
Fotografer Ergun Cagatay dari Istanbul, pada 1990 mengambil ribuan foto warga keturunan Turki yang berdomisili di Hamburg, Köln, Werl, Berlin dan Duisburg. Ini akan dipajang dalam pameran khusus “Kami berasal dari sini: Kehidupan keturunan Turki-Jerman tahun 1990” di museum Ruhr. Pada potret dirinya dia memakai pakaian pekerja tambang di Tambang Walsum, Duisburg.
Dua pekerja tambang bepose usai bertugas di tambang Walsum, Duisburg. Dipicu kemajuan ekonomi di tahun 50-an, Jerman menghadapi kekurangan pekerja terlatih, terutama di bidang pertanian dan pertambangan. Menindak lanjuti kesepakatan penerimaan pekerja migran antara Bonn dan Ankara pada 1961, lebih dari 1 juta “pekerja tamu” dari Turki datang ke Jerman hingga penerimaan dihentikan pada 1973.
Ini foto pekerja perempuan di bagian produksi pelapis interior di pabrik mobil Ford di Köln-Niehl. “Pekerja telah dipanggil, dan mereka berdatangan,” komentar penulis Swiss, Max Frisch, kala itu. Sekarang, komunitas Turki, dimana kini sejumlah keluarga imigran memasuki generasi ke-4, membentuk etnis minoritas terbesar di Jerman dengan total populasi sekitar 2.5 juta orang.
Foto menunjukan keragaman dalam keseharian orang Turki-Jerman. Terlihat di sini adalah kedelapan anggota keluarga Hasan Hüseyin Gül di Hamburg. Pameran foto di museum Ruhr ini merupakan liputan paling komprehensif mengenai imigran Turki dari generasi pertama dan kedua “pekerja tamu.”
Saat ini, bahan makanan seperti zaitun dan keju domba dapat ditemukan dengan mudah di Jerman. Sebelumnya, “pekerja tamu” memenuhi mobil mereka dengan bahan pangan itu saat mereka balik mudik. Perlahan-lahan, mereka membangun pondasi kuliner Turki di Jerman, untuk kenikmatan pecinta kuliner. Di sini berpose Mevsim, pemilik toko buah dan sayur di Weidengasse, Köln-Eigelstein.
Anak-anak bermain balon di Sudermanplatz, kawasan Agnes, Köln. Di tembok yang menjadi latar belakang terlihat gambar pohon yang disandingkan dengan puisi dari Nazim Hikmet, penyair Turki: “Hidup! Seperti pohon yang sendiri dan bebas. Seperti hutan persaudaraan. Kerinduan ini adalah milik kita.” Hikmet sendiri hidup dalam pengasingan di Rusia, hingga dia meninggal pada 1963.
Di sekolah baca Al-Quran masjid Fath di Werl, anak-anak belajar huruf-huruf Arab agar dapat membaca Al-Quran. Itu adalah masjid dengan menara pertama yang dibuka di Jerman pada tahun 90-an. Sejak itu warga Turki di Jerman tidak perlu lagi pergi ke halaman belakang untuk shalat atau beribadah.
Cagatay, sang fotografer berbaur dengan para tamu di sebuah pesta pernikahan di Oranienplatz, Berlin-Kreuzberg. Di gedung perhelatan Burcu, para tamu menyematkan uang kepada pengantin baru, biasanya disertai dengan harapan “semoga menua dengan satu bantal.” Pengantin baru menurut tradisi Turki akan berbagi satu bantal panjang di atas ranjang pengantin.
Tradisi juga tetap dijaga di tanah air baru ini. Di pesta khitanan di Berlin Kreuzberg ini, “Masyaallah” tertulis di selempang anak sunat. Itu artinya “terpujilah” atau “yang dikehendaki tuhan.” Pameran antara lain disponsori Kementerian Luar Negeri Jerman. Selain di Essen, Hamburg dan Berlin, pameran juga akan digelar di Izmir, Istanbul, dan Ankara bekerjasama dengan Goethe Institute. (mn/as)
Meloni, dari partai sayap kanan Brothers of Italy, menekankan; "tantangan arus besar imigran harus ditangani di tingkat Eropa. "Jika seseorang di Eropa berpikir bahwa krisis yang sedang kita atasi dan hadapi ini dapat diselesaikan di dalam wilayah Italia, maka itu akan menjadi kesalahan yang sangat besar,” kata PM Italia itu pada konferensi pers di bandara Lampedusa.
Dalam kunjungannya, Presiden Komisi Eropa mengumumkan 10 poin rencana aksi untuk Lampedusa. "Migrasi adalah tantangan Eropa dan akan mendapat solusi Eropa,” kata von der Leyen.
Sebagai bagian dari rencana tersebut, Badan Suaka Uni Eropa, EUAA, dan Penjaga Perbatasan dan Pantai Eropa, Frontex, akan dikerahkan ke Italia untuk menangani pendatang baru. Wakil Presiden Komisi Eropa Margaritis Schinas juga akan dikirim ke beberapa negara asal migran untuk merundingkan cara mengelola migrasi dan pemulangannya kembali ke lokasi asal.
Menurut Roberto Forin, Wakil Direktur Mixed Migration Centre, sebuah lembaga pemikir penelitian migrasi, pendekatan Eropa saat ini terhadap migrasi tidak berhasil. "Situasi di Lampedusa adalah bukti tragis dari kegagalan ini. Saat ini saya tidak melihat adanya kemauan politik untuk mengubah pendekatan ini,” katanya kepada DW.
Iklan
Warga merasa ditinggal sendirian memikul beban berat
Sementara itu, bagi penduduk setempat, seperti Antonello di Malta dan ibunya, membantu orang lain harus menjadi inti dari setiap kesepakatan. "Ketika saya melihat (para migran), saya berpikir bagaimana perasaan saya jika mereka adalah anak saya yang menangis dan meminta makanan,” kata ibu Antonello kepada DW. "Jadi saya mulai memasak untuk mereka. Kami orang Italia juga merupakan migran. Kami dulu juga melakukan perjalanan dari utara ke selatan. Jadi kami tidak boleh takut pada orang dan kami perlu membantu."
Namun, beberapa warga setempat juga marah atas cara pemerintah menangani situasi ini. Menjelang kedatangan Meloni, sejumlah warga juga menggelar aksi unjuk rasa menentang rencana Palang Merah Italia yang membangun tambahan pusat penerimaan migran.
"Kami berkomitmen untuk mencoba memberikan kondisi yang lebih baik bagi pulau ini. Kami telah melakukannya melalui (anggaran) €45 juta, yang akan membantu mengatasi kesulitan lokal yang mereka hadapi,” kata Meloni kepada wartawan. Dia juga mengatakan akan membahas situasi tersebut pada pertemuan Dewan Eropa bulan Oktober.