Adilkah bila sepotong kertas yang menyatakan status resmi menjadi satu-satunya penentu seseorang bisa tinggal di AS atau didepak? Inilah opini Uly Siregar.
Foto: picture-alliance/AP Images/M. Ugarte
Iklan
Negeri itu bernama Amerika Serikat. Ia sering disebut sebagai melting pot, tempat bertemunya beragam manusia dari berbagai penjuru bumi. Selama lebih 400 tahun, imigran datang ke AS dengan beragam alasan.
Sebagian melarikan diri dari perang, yang lain karena mencari suaka akibat tak mendapat kebebasan menjalankan kepercayaan yang mereka anut, atau karena inbgin lepas dari lilitan kemiskinan di negara asal mereka. Para pendatang ini melebur dengan masyarakat lokal AS bersama-sama mencoba meraih ‘American Dream', sebuah sukses yang diyakini dapat diraih dengan kerja keras si pemburu mimpi karena dukungan negara yang demokratis, menghargai hak asasi manusia, memberikan kesempatan yang sama pada setiap warga, dan menjunjung kesetaraan.
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar
Ratusan ribu imigran datang ke AS setiap tahun, menempati sudut-sudut negeri ini. Menurut data yang dirilis Department of Homeland Security tahun 2012 terhitung 484.072 imigran baru datang ke AS lewat jalur legal. Jadi data ini tidak menghitung mereka yang datang lewat jalur tak resmi, seperti yang menyusup dari perbatasan Meksiko, atau yang masuk dengan visa turis namun tak pernah meninggalkan lagi AS. Banyak jalan ditempuh imigran untuk hidup di negeri impian ini. Semua mendambakan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan di negeri asal.
Imigran adalah denyut nadi AS.
Sejatinya negeri ini memang dibangun oleh tangan-tangan dan kerja keras para imigran. Di antara jutaan imigran yang hidup di AS, imigran asal Indonesia juga memburu mimpi yang sama. Tak ada data pasti berapa jumlah warga negara Indonesia yang telah resmi melepas kewarganegaraannya dengan mengucap sumpah setia pada bendera "Star Spangled Banner". Diperkirakan lebih dari 120 ribu warga Indonesia kini tinggal di AS.
Menjadi imigran di AS bukan soal gampang. Adaptasi yang terus-menerus diperlukan untuk betah tinggal di negeri orang. Belum lagi bagi warga Indonesia, menjadi bagian dari kaum minoritas kulit berwarna membawa persoalan tersendiri. Mereka gampang dikenali dan tak jarang jadi korban perlakuan rasisme. Apalagi sikap Presiden Donald Trump yang tak ramah pada kaum imigran dipercaya menjadi semacam amunisi bagi kaum rasis untuk menjahati kaum kulit berwarna.
Inilah Wajah Islamofobia Barat
Mereka menunggangi dan bahkan ikut menggulirkan gelombang Islamofobia demi keuntungan politik. Celakanya, isu yang sama bisa menghantarkan mereka ke pucuk kekuasaan.
Foto: picture-alliance/Ralph Goldmann
Donald Trump
Boleh jadi tidak membenci Islam, tapi ia menunggangi gelombang Islamofobia pasca serangan teror di Paris dan penembakan massal di San Bernardino untuk mendongkrak dukungan politik jelang pemilu kepresidenan. Donald Trump juga pernah mengumbar bakal melarang umat Muslim memasuki Amerika Serikat, atas alasan keamanan.
Foto: Reuters/L. Nicholson
Marine Le Pen
Eropa sedang dihantui Le Pen dan kemenangan partainya Front National. Anggota parlemen Eropa ini gemar mengumbar isu anti Eropa dan imigran buat menjaring dukungan. 2010 silam Le Pen mencibir kaum Muslim yang melaksanakan ibadah sholat di jalan lantaran mesjid penuh. Menurutnya hal tersebut adalah sebuah pendudukan, serupa dengan pendudukan NAZI Jerman di era Perang Dunia II.
Foto: Reuters/P. Rossignol
Lutz Bachmann
Pendiri gerakan anti Islam Jerman, Pegida, ini tidak menyembunyikan kekagumannya pada sosok Adolf Hitler. Ia pernah memuat fotonya berseragam NAZI dengan model rambut dan kumis ala sang diktatur. Bachmann gemar menyulut sikap antipati pada Islam lewat media sosial. Terakhir ia menyerang sebuah peternakan karena menyediakan daging halal. "Kita di sini tidak ingin berurusan dengan Islam," tulisnya.
Foto: Reuters/F. Bensch
Geert Wilders
"Tidak ada yang namanya Islam moderat," tutur Geert Wilders. Sosoknya tidak asing lagi buat kaum Muslim. Pendiri Partai Kebebasan ini pernah mendesak agar Belanda melarang Al-Quran, serupa seperti buku Mein Kampf karangan Adolf Hitler. "Akar masalahnya adalah sifat Islam yang fasis, ideologi sakit tentang Allah dan Muhammad seperti yang terulis dalam Mein Kampf Islam: Al-Quran," tulis Wilders.
Foto: Reuters
Dansk Folkeparti
Tahun ini Partai Rakyat Denmark menjelma menjadi kekuatan politik terbesar kedua. Salah satu bintangnya adalah Morten Messerschmidt (gambar), yang gemar menyebut minoritas Muslim Eropa sebagai beban. Dari sederet program yang dijajakan Dansk Folkeparti, sebagian besarnya membidik Islam, antara lain menghentikan migrasi Muslim dan menyamakan Islam dan terorisme berkedok agama
Foto: picture-alliance/dpa
UKIP
Serupa seperti Dansk Folkeparti di Denmark dan Perussuomalaiset di Finnlandia, UK Independence Party alias UKIP mengakomodasi suara ekstrim kanan yang kerap membidik Islam. Salah seorang fungsionaris UKIP, John Kearney, misalnya pernah menyerukan kepada kaum Katholik agar "bersedia mati," demi menangkal dominasi Islam di dunia.
Foto: Reuters/S. Plunkett
6 foto1 | 6
Bangkitnya kaum rasis
Teman saya, Dian, yang tinggal di negara bagian Michigan bercerita selama hampir 12 tahun tinggal di AS, akhirnya ia merasakan sendiri perlakuan menyakitkan kaum rasis. Sehari setelah kemenangan Presiden Trump, saat sedang bertugas sebagai kasir di perusahaan retail tempat ia bekerja, seorang pelanggan mengacungkan jari pada dia dan berkata, "Orang seperti dia ini seharusnya kembali ke negeri asalnya. Mereka cuma mencari uang di sini lantas membawa pulang uang ke negeri asalnya!”
Sebuah tuduhan kejam, apalagi ia imigran yang datang lewat jalur resmi, melalui pernikahan dengan warga AS. Pengalaman Dian tentu tak sebrutal apa yang dialami Srinivas Kuchibhotla. Pria keturunan India berusia 32 tahun ini tewas di tangan Adam Purinton, warga AS yang dengan sengit berteriak "keluar dari negara ini” sebelum mengarahkan senjata api ke arah Srinivas dan rekannya, Alok Masadani.
Ketika Presiden Trump mengeluarkan keputusan presiden yang melarang warga asal Irak, Suriah, Iran, Libia, Somalia, Sudan, dan Yaman memasuki AS, dibalik suka-cita pendukung Trump yang menganggap sikap keras itu perlu, protes keras pun datang bertubi-tubi. Kebijakan yang sesungguhnya menyasar teroris agar sulit masuk ke AS itu dianggap diskriminatif dan bernuansa rasisme. Pasalnya, tak hanya teroris asal tujuh negara itu yang tak bisa masuk, tapi juga pengungsi yang membutuhkan tempat baru untuk keluar dari wilayah konflik. Belum lagi ketujuh negara itu merupakan negara berbasis agama Islam, karenanya kebijakan itu pun dianggap tidak konstitusional karena diambilkan berdasarkan sentimen agama.
Meski begitu tetap banyak yang berhasrat bermigrasi ke AS. Dan tentu tak semuanya bisa dipenuhi dan diterima di AS. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Syarat dan ketentuan yang tidak dipenuhi menciptakan kategori imigran gelap. Bagi warga AS, imigran gelap dianggap beban dan kerap menjadi sumber kebencian. Tuduhan-tuduhan kejam pun dilontarkan. Mereka dianggap sebagai parasit yang mengisap hasil kerja keras warga AS dan berpotensi menjadi pelaku kriminal.
Donald Trump saat berkampanye tahun lalu menyebut bahwa imigran asal Meksiko yang datang ke AS kebanyakan pedagang narkoba dan pemerkosa, dan membunuh perekonomian AS. Pasalnya mereka mencuri pekerjaan kasar dari warga AS, plus tak membayar pajak penghasilan.
Dari Obama ke Trump
Donald J. Trump adalah Presiden ke-45 Amerika Serikat. Berikut foto-foto saat peralihan kekuasaan dari Barack Obama kepada Donald Trump.
Foto: Reuters/C. Barria
Orang Nomor Satu di AS
Donald Trump, akhirnya resmi menjadi Presiden ke-45 Amerika Serikat menggantikan Barack Obama.
Foto: Reuters/B. Snyder
Obama Lengser
Barack Obama yang telah memimpin Amerika Serikat selama delapan tahun menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada Trump. Sebelum pelantikan, Obama dan istri, Michelle bertemu pasangan Trump dalam jamuan teh.
Foto: Getty Images/AFP/J. Watson
Pasangan Clinton Hadiri Pelantikan
Mantan pesaing Trump dalam pemilu, Hillary Clinton bersama suaminya, mantan Presiden Bill Clinton tiba di gedung Capitol untuk pelantikan Trump. Clinton disambut dengan sorak-sorai saat melewati tangga Capitol.
Foto: Getty Images/AFP/J. Angelillo
Warga Berhimpun di Washington
Di National Mall, Washington, masyarakat berhimpun mengamati jalannya pelantikan presiden ke-45 AS.
Foto: picture-alliance/abaca/D. Olivier
Sumpah Jabatan
Sementara aksi protes meletus di berbagai tempat, Donald Trump mengangkat tangan kanannya dan meletakkan tangan kirinya di atas Alkitab yang pernah digunakan oleh Abraham Lincoln dan mengulangi sumpah jabatan.
Foto: Getty Images/C. Somodevilla
Pidato Pertama Sebagai Presiden
Seusai pelantikan, Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald Trump bersumpah untuk mengambil kekuasaan dari birokrat dan politisi di Washington untuk dikembalikan kepada rakyat AS.
Foto: Reuters/K. Lamarque
Unjuk Rasa Dimana-mana
Unjuk rasa bukan hanya terjadi di Washington. Di kota-kota lain di dunia, juga berlangsung aksi unjuk rasa berkenaan dengan pelantikan Trump. berbagai isu diusung, mulai dari hak perempuan, imigran hingga lingkungan.
Foto: Reuters/T. Melville
7 foto1 | 7
Nasib imigran asal Indonesia
Lantas, bagaimana dengan nasib imigran asal Indonesia? Sejauh ini tak pernah ada perhatian khusus dari pemerintah AS yang menyoroti perilaku imigran asal Indonesia, baik yang resmi maupun gelap. Mungkin karena jumlahnya tak sedahsyat imigran gelap asal Meksiko yang diperkirakan menembus angka 11,7 juta. Tapi menjadi imigran di AS, apalagi imigran gelap, tetap membuat hidup seperti terombang-ambing.
Begitu kuatnya kebencian pada imigran gelap, seorang warga AS asal Indonesia bahkan sampai menulis di dinding Facebooknya bahwa ia tak segan melaporkan imigran gelap asal negara asalnya, Indonesia ke ICE (US Immigration and Customs Enforcement) agar bisa dideportasi.
Persoalan imigrasi di AS memang sangat kompleks, tak bisa disederhanakan begitu saja menjadi soal legal dan ilegal. Ia menyangkut juga soal kemanusiaan dan rasa keadilan. Banyak imigran gelap telah menetap di AS berdekade tanpa status resmi, bukan karena tak mau tapi karena tak ada jalan yang terbuka untuk mereka mengganti status gelap menjadi resmi. Tak semua imigran bisa atau mau berjodoh dengan warga AS, misalnya, untuk mengubah status imigrasi mereka.
Belum lagi persoalan mereka yang dibawa sejak usia balita ke AS. Mereka bukan warga negara AS tapi tak mengenal negeri asalnya, bahkan tak fasih berbahasa ibu. Bagi mereka, Amerika Serikat adalah negeri yang mereka cintai. Bila itu yang terjadi, adilkah bila sepotong kertas yang menyatakan status resmi menjadi satu-satunya penentu seseorang bisa tinggal di AS atau didepak?
Tembok-tembok Pemisah di Penjuru Dunia
Donald Trump ingin membangun "tembok besar dan indah" di perbatasan ke Meksiko. Sama seperti di AS, di berbagai belahan dunia tembok beton dan baja diharapkan bisa menjadi solusi masalah. Adakah hasilnya?
Foto: Getty Images/J. Moore
Tembok di AS Terus Bertambah
Bill Clinton memasang pagar di perbatasan ke Meksiko. Setelah serangan 11 September 2001, George W. Bush memerintahkan ekspansi pembangunan tembok. Sejak itu ada 1100 kilometer jalur perbatasan yang dilengkapi dengan tembok beton, rangka baja atau rintangan lainnya.
Foto: Getty Images/D. McNew
"Separation Wall"
Sejak 2002, Israel membangun tembok pembatas sepanjang Tepi Barat Yordan. Proyek ini dianggap kontroversial dan sering disebut sebagai "Separation Wall" atau tembok pemisah. Lebih dari 10 tahun yang lalu, Mahkamah Internasional telah memutuskan, bahwa tembok melanggar hak warga. Tapi Israel mengabaikannya. Panjangnya 759 kilometer.
Foto: A. Al-Bazz
"Line of Control"
Sejak 1971, wilayah Kashmir terbelah oleh jalur pengawasan milter sepanjang 700 kilometer yang memisahkan India dan Pakistan. "Line of Control" diamankan dengan kawat berduri dan ranjau di berbagai lokasi. Kawat berduri setinggi tiga meter juga dialiri tegangan listrik.
Foto: Getty Images/AFP
Perbatasan Kelas Sosial
Tembok juga bisa jadi pembatas antara kaya dan miskin. Di Lima, tembok beton setinggi 3 meter memisahkan warga kawasan miskin dari kawasan kelas menengah. Ada banyak daerah seperti ini di kota-kota Amerika Latin. Warga Lima menyebut tembok tersebut sebagai "Wall of Shame".
Di ibukota Irak, Bagdad, terdapat tembok beton sepanjang lima kilometer dan setinggi empat meter. Militer AS membangunnya tahun 2007 di bagian kota Sadr yang didominasi warga Syiah. Kini tembok memisahkan dua juta warga, Di bagian lain Bagdad juga ada tembok beton untuk memisahkan kaum Sunni dan Syiah.
Foto: Getty Images/W. Kuzaie
Tembok bagi Perdamaian?
Di Irlandia Utara, pemerintah Inggris membangun "tembok perdamaian" tahun 1969 untuk memisahkan umat Katolik dan Protestan. Gerbang pada tembok memungkinkan akses ke sisi yang lain. Saat terjadi kerusuhan, gerbang ditutup.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Smiejek
Antara Utara dan Selatan
Sejak akhir perang Korea, ada zona demiliterisasi yang memisahkan wilayah utara yang komunis dengan selatan yang kapitalis. Jalur selebar 4 kilometer dan sepanjang 250 kilometer ini termasuk zona demiliterisasi dengan pengamanan paling ketat di dunia. Di beberapa bagian juga ada tembok sepanjang perbatasan de facto antara Korea Utara dan Selatan.
Foto: Getty Images/AFP/E. Jones
Benteng Eropa
Eropa juga menutup diri. Sejak akhir 2015, Hongaria secara sistematis menutup rapat perbatasannya untuk mencegah masuknya pengungsi. Kini Hongaria juga mendirikan pagar kedua di jalur perbatasan ke Serbia.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Ujvari
Ceuta dan Mellila
Di kedua enklave Spanyol di Marokko terdapat pagar yang sangat tinggi dan berlapis-lapis. Ditambah dengan sensor pendeteksi gerakan, kamera infra merah, dan kawat duri silet. Tapi tetap saja datang gelombang massa yang kemudian menderita luka-luka karenanya.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Sempere
Tembok di Turki
Di perbatasan ke Suriah, Turki ingin mendirikan tembok perbatasan sepanjang 511 kilometer. Akhir Februari 2017, setengahnya telah selesai. Tembok setinggi tiga meter ini dilengkapi dengan kawat berduri dan menara pengawas. Jerman dan Uni Eropa kerap mengkritik Turki karena pengawasan perbatasan yang kurang ketat.
Foto: picture alliance/AA/R. Maltas
10 foto1 | 10
Penulis:
Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.