Program kepemilikan rumah dengan DP nol rupiah yang diusung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno tadinya untuk mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 7 juta. Kini untuk yang berpenghasilan Rp 7-10 Juta?
Iklan
Saat kampanye pasangan Anies-Sandi menjelaskan, program kepemilikan hunian hanya dengan uang muka atau DP (down payment) nol rupiah ini ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang penghasilannya per bulan maksimal Rp 7 juta.
Jika berpatokan pada upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta sebesar Rp 3,3 juta, maka program DP 0 rupiah ini hanya bisa diikuti oleh mereka yang berpenghasilan paling banyak sekitar dua kali UMR DKI Jakarta. Demikian dikutip dari Kompas.com.
Namun baru-baru ini Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta terpilih Sandiaga Uno memaparkan skema lain yang dibahas oleh tim Anies-Sandi untuk program DP nol rupiah, yakni peserta program adalah warga Jakarta dengan penghasilan mulai dari 7 sampai 10 juta rupiah.
Dikutip dari Republika, Sandiaga mengatakan: "Ini lagi dihitung ya, ancar-ancarnya antara 7 sampai 10 juta rupiah. Di antara Rp 7 juta ya kira-kira, dilihat dari skemanya. Menurut saya memungkinkan, tergantung dari skemanya nanti."
Sandiaga: Agar bisa mencicil
Alasannya, peserta program tersebut harus memiliki kemampuan dalam mencicil rumah tersebut per bulannya. Dilansir dari Kompas, Sandiaga mengatakan: "Kalau dia pendapatannya 7 juta rupiah tapi pengeluarannya 6,9 juta rupiah tak akan bisa partisipasi. Jadi, harus yang bisa menabung dan digunakan untuk menyicil rumah." Atas perubahan skema tersebut warga DKI yang ingin berpartisipasi dalam program itu kini menuntut penjelasan.
Sementara itu, tim sinkronisasi Anies-Sandi menyebut program rumah dengan DP atau uang muka 0 rupiah untuk penghasilan Rp 7-10 juta masih terus dikaji. Belum ada keputusan akhir terkait skema pembiayaan salah satu program unggulan dalam kampanye Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta itu.
Manusia Di Balik Tembok Laut
Bagaimana rasanya terus hidup dalam ancaman? Inilah nasib yang dialami sebagian warga di Jakarta Utara yang hidup di balik tembok laut dan tergerus ombak. Kecemasan itu terekam dalam gambar.
Foto: C. Boll
Mengabadikan keseharian
Inilah kisah sejumlah warga Jakarta Utara yang hidup dalam kegelisahan karena menghadapi ancaman permanen. Seperti misalnya yang dialami nelayan ini. Fotografer Cynthia Boll mengikuti kehidupan penduduk di Jakarta Utara dan merekam keseharian mereka mereka, untuk menunjukkan kepada pengguna Facebook yang aktif dan berusia produktif tentang kehidupan para nelayan ini.
Foto: C. Boll
Perjuangan anak manusia
Banjir tak menyurutkan langkah si kecil untuk menuntut ilmu. Dalam proyek fotonya bertajuk: ‘The People Behind The Seawall’, Boll menunjukkan bagaimana warga di utara Jakarta berjuang menghadapi banjir, naiknya permukaan laut, rumah yang tenggelam, harus ke sekolah saat banjir dan kekurangan air bersih. Inilah keseharian yang mereka hadapi.
Foto: C. Boll
Ancaman tenggelam
Jakarta dihuni sekitar 20 juta jiwa. Salah satu dari 5 kota terpadat di dunia ini berada di delta 13 sungai dan 40% daratannya di bawah permukaan laut, hingga rentan kebanjiran. Diperkirakan 1/3 kota bisa tenggelam dalam kurun waktu 30 tahun mendatang. Saat ini, Jakarta bergantung pada tembok laut berusia 40 tahun yang seharusnya dapat menjaga ibukota dari luapan air Laut Jawa.
Foto: C. Boll
Kampanye publik
Proyek Utarakan Jakarta "The People Behind The Seawall’ diluncurkan Boll dkk. di Facebook 1 Oktober 2015. Setelah proyek foto dipamerkan, selanjutnya seluruh instalasi pameran Utarakan Jakarta dihibahkan pada Konsorsium Kota Tua yang meneruskan kampanye ini pada publik Jakarta khususnya warga di kawasan itu. Kota Tua adalah bagian dari sejarah Jakarta yang harus dijaga agar tidak tenggelam.
Foto: C. Boll
Menanti partisipasi masyarakat
Masyarakat diajak untuk membagikan pengalaman mereka, memberikan komentar, berpartisipasi lewat angket dan bertindak aktif. Untuk informasi lebih lanjut hubungi C.Boll, inisiator proyek di Cynthia@cynthiaboll.nl. Editor: ap/as (foto:Cynthia Boll)
Foto: C. Boll
5 foto1 | 5
Beda pernyataan dengan tim sinkronisasi
Dilansir dari Republika, menurut anggota tim sinkronisasi Edriana Noerdin, masyarakat yang bisa mengakses program rumah dengan DP 0 rupiah tidak terpatok kepada yang berpenghasilan 7 sampai 10 juta rupiah. "Sebetulnya kita tetap sesuai dengan janji kampanye, bukan hanya orang yang berpenghasilan Rp 7-10 juta saja yang bisa membeli rumah." Pernyataan itu berbeda dengan yang disampaikan Sandiaga: "DP 0 rupiah kategorinya untuk pendapatan sekitar 7-10 juta rupiah per bulan. Kalau di bawah itu tidak cocok untuk pola rumah dengan DP 0 rupiah," ungkapnya, seperti dilansir dari Republika dan MSN.
Skema pembiayaan rumah DP 0 rupiah menurutnya juga akan jadi landasan dalam mengubah menjadikan status kepemilikan rumah susun sewa menjadi hak milik atau rusunami.
Sandi mengatakan baru akan merinci program DP nol rupiah itu saat ia dan dan Anies Baswedan dilantik sebagai pimpinan DKI Jakarta, Oktober mendatang.
Inilah Kota Termahal di Indonesia
Survey biaya hidup yang dibuat Badan Pusat Statistik merunut daftar kota termahal di tanah air. Bahkan upah minimum kota tertinggi di Indonesia sekalipun tidak cukup untuk hidup layak di kota-kota ini
Foto: Reuters
1. Jakarta - Rp. 7,5 Juta/Bulan
Badan Pusat Statistik merilis Survey Biaya Hidup setiap lima tahun sekali yang merunut daftar kota dengan Indek Harga Konsumen (IHK) tertinggi. IHK menghitung rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa per rumah tangga di sebuah kota. Menurut survey tersebut, untuk hidup layak di Jakarta penduduk membutuhkan biaya sebesar 7,5 juta Rupiah per bulan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
2. Jayapura - Rp. 6,9 Juta/Bulan
Lantaran kelangkaan infrastruktur dan mahalnya biaya transportasi, kota-kota di timur Indonesia banyak mengisi daftar 10 besar kota termahal di tanah air. Jayapura adalah salah satunya. Dibutuhkan pendapatan bulanan sebesar 6,9 juta Rupiah buat setiap penduduk untuk bisa hidup layak di ibukota provinsi Papua ini.
Foto: picture alliance/robertharding/J. Sweeney
3. Ternate - Rp. 6,4 Juta/Bulan
BPS menaksir sekitar 35% biaya hidup bulanan digunakan untuk membeli makanan. Sementara sisanya terbagi antara biaya transportasi, rumah, pendidikan dan pengeluaran lain. Ternate mendarat di posisi ketiga kota termahal Indonesia. Kota di kaki gunung Gamalama itu baru saja menaikkan upah minimum menjadi 1,9 juta Rupiah. Padahal menurut BPS, biaya hidup bulanan di Ternate sebesar 6,4 juta Rupiah
Foto: Getty Images/AFP/STR
4. Depok - Rp. 6,3 Juta/Bulan
Serupa dengan kota satelit lain di sekitar Jakarta, pertumbuhan ekonomi Depok banyak dipengaruhi keberadaan kelas menengah yang bekerja di ibukota. Menurut temuan BPS, biaya hidup rata-rata penduduk kota berkisar 6,3 juta Rupiah. Bandingkan dengan Upah Minimum Kota yang dipatok sebesar 3 juta Rupiah per bulan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
5. Batam - Rp. 6,3 Juta/Bulan
Pulau yang menikmati perjanjian perdagangan bebas dengan Singapura itu mencatat pertumbuhan ekonomi pesat yang digerakkan sektor industri dan pariwisata. Tidak heran jika biaya hidup di Batam termasuk yang tertinggi di Indonesia, yakni sekitar 6,3 juta Rupiah. Sementara upah terendah yang digariskan pemerintah kota tahun ini mencapai 2,9 juta Rupiah per bulan.
Perekonomian ibukota provinsi Papua Barat ini banyak diuntungkan oleh sektor pariwisata. Saat ini sekitar 210 ribu penduduk hidup di Manokwari. Upah minimum yang ditetapkan pemkot berkisar 2,2 juta Rupiah. Sementara biaya bulanan untuk memenuhi standar hidup layak menurut BPS adalah sebesar 6,2 juta Rupiah
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
7. Banda Aceh - Rp. 6,1 Juta/Bulan
Setelah tsunami 2004, Banda Aceh diguyur dana bantuan dan dana otonomi khusus. Namun pertumbuhan ekonomi di kota serambi Mekah itu masih jauh panggang dari api. Biaya hidup yang dinilai layak ditaksir sebesar 6,1 juta/bulan. Namun celakanya pendapatan rumah tangga di Banda Aceh tercatat yang terendah di Sumatera. Baru-baru ini pemerintah kota meningkatkan upah minimum menjadi 2,1 juta Rupiah
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
8. Surabaya - Rp. 6 Juta/Bulan
Perekonomian Surabaya tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. 2014 silam pendapatan per kapita masyarakat mencapai 84 juta/kapita setiap tahun. Wajar jika kondisi tersebut tercermin pada Survey Biaya Hidup yang dirilis BPS. Menurut survey tersebut, biaya hidup layak di Surabaya mencapai 6 juta Rupiah per bulan. Adapun upah minimum kota dipatok sebesar 3 juta Rupiah