Jadwal Terlalu Padat, Presiden Filipina Ambil Jeda Tiga Hari
12 November 2019
Presiden Filipina ini dijadwalkan akan ambil jeda tiga hari dari jadwalnya yang digambarkan sebagai "menghukum" minggu ini, ujar juru bicaranya, Senin (11/11). Rumor tentang kesehatannya jadi keprihatinan.
Iklan
Presiden Rodrigo Duterte tidak akan memiliki jadwal resmi mulai pada hari Selasa (12/11) dan sebagian besar tinggal di rumahnya di kota Davao, Filipina, ujar Juru Bicara Kepresidenan Salvador Panelo kepada wartawan.
Presiden berusia 74 tahun itu memutuskan untuk beristirahat "atas saran teman-teman, kolega, dan dokter ... untuk mengambil jeda dari jadwalnya yang menghukum," katanya. Meski demikian Panelo menegaskan bahwa Duterte tidak mengambil cuti resmi dan tidak harus mengalihkan kekuasaan ke Wakil Presiden Leni Robredo, yang baru saja ditunjuk untuk memimpin perang melawan narkoba.
"Hanya istirahat. Ini seperti rehat dari pekerjaannya," katanya. Kesehatan presiden menjadi keprihatinan utama di antara orang-orang Filipina.
Prihatin kesehatan Duterte
Dari waktu ke waktu terus terdengar desas-desus bahwa ia sakit parah. Bulan lalu, Duterte mesti mempersingkat perjalanannya ke Jepang akibat "rasa sakit yang tidak tertahankan di tulang belakangnya" karena kecelakaan sepeda motor.
Presiden Filipina ini jatuh dari kendaraannya hanya 10 hari setelah dia secara terbuka mengungkapkan bahwa dia menderita myasthenia gravis, suatu kondisi pelemahan otot yang berpotensi memiliki komplikasi serius.
Rumor tentang kesehatannya telah merundung Duterte sejak ia menjadi presiden pada 2016. Sejumlah pengamat telah menyerukan pemerintahannya untuk mengeluarkan buletin medis reguler terkait hal ini, tetapi dia bersikeras bahwa tindakan itu tidak perlu.
Tahun lalu, ia dikhawatirkan menderita kanker setelah dokter menemukan pertumbuhan di saluran pencernaannya, tetapi tes kanker menunjukkan hasil negatif.
ae/na (dpa, AFP)
Perang Narkoba di Filipina, Warga Desak Investigasi Pelanggaran HAM
Perang melawan narkoba ala Presiden Duterte di Filipina telah menewaskan sedikitnya enam ribu orang. Kelompok HAM yakin jumlahnya lebih tinggi. Warga berunjuk rasa menuntut Komisi HAM PBB melakukan investigasi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Unjuk rasa tuntut investigasi
Keluarga korban yang anggota keluarganya terbunuh dalam "perang melawan narkoba" Presiden Rodrigo Duterte menunjukkan plakat dan potret kerabat mereka yang terbunuh. Mereka mendesak Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran HAM yang terjadi. Aksi unjuk rasa ini berlangsung di pinggiran kota Quezon, timur laut Manila, Filipina.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Resolusi PBB
Pensiunan Uskup Katolik Roma Nicanor Yniguez (paling kiri) bergabung dengan keluarga korban dalam unjuk rasa ini. 47 negara anggota Komisi HAM PBB (UNHRC) akan memungut suara pada tanggal 12 Juli terkait resolusi pembentukan investigasi independen insiden pembunuhan sejak Duterte menjadi presiden tiga tahun lalu. Resolusi ini ditawarkan oleh Islandia dan beberapa negara anggota lain.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
"They Just Kill"
Dalam laporan Amnesty International yang berjudul "They Just Kill," organisasi HAM yang berbasis di London itu mendesak UNHRC untuk menyetujui resolusi yang menyerukan penyelidikan di Filipina. Menurut Amnesty, di sana sekarang ada "normalisasi berbahaya" dari praktik eksekusi ilegal dan pelanggaran oleh polisi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Belasan ribu korban
Ketua Komisi HAM Filipina, Chito Gascon (tengah), memimpin keluarga korban yang terbunuh di "perang melawan narkoba" dalam long march di ibukota Filipina, Manila. Jumlah korban tewas secara tepat tidak bisa diverifikasi. Namun, setidaknya enam ribu orang telah tewas sejak Duterte menjadi Presiden Filipina pada pertengahan 2016. Human Rights Watch (HRW) klaim 12 ribu orang telah terbunuh.
Foto: picture-alliance/AP Photo/B. Marquez
Perang belum akan selesai
Peneliti HRW Filipina Carlos Conde mengatakan, HRW yakin situasi ini akan menjadi lebih buruk karena pembunuhan telah menjadi alat politik yang digunakan untuk menjaga popularitas Duterte. "Dia sendiri mengatakan masalah narkoba telah memburuk, semacam memprediksikan pernyataannya bahwa sebenarnya situasi juga akan memburuk," ujar Conde. (na/vlz, AP)