Pemerintah pusat di Jakarta membantah laporan bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah mendirikan kantor perwakilan di Wamena, Papua.
Iklan
"Saya telah berusaha mengkonfirmasikannya dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, soal rumor tentang OPM mendirikan kantor perwakilan, dan itu tidak benar," kata juru bicara Presiden Johan Budi seperti dikutip Antara.
Johan mengatakan bahwa rumor itu tidak akan menciptakan masalah keamanan di Papua.
Sebelumnya ada laporan beredar menyatakan bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah membuka kantor di Wamena dan langkah itu didukung banyak negara di kawasan Melanesia.
President Joko Widodo mencanangkan pendekatan lunak (soft policy) untuk menangani konflik Papua. Jokowi ingin memprioritaskan pendekatan dengan negosiasi dan dialog menghadapi gerakan separatis. Sampai sekarang, beberapa tahanan politik sudah mendapatkan grasi dan pembebasan tanpa syarat.
Pada bulan Mei tahun lalu, selama kunjungan keduanya ke Papua, Jokowi menyatakan jurnalis asing bebas meliput ke Papua. Tapi hal itu ditentang oleh militer dan aparat keamanan, sehingga Presiden terpaksa membatalkan niatnya.
OPM melansir laporan bahwa mereka sudah membuka kantor di Wamena, dalam upaya untuk mencari dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua.
Pembukaan kantor hari Senin (15/02) yang memakai nama United Liberation Movement West Papua (ULMWP) itu didukung oleh Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sovagare, kata juru bicara OPM, Sebby Sambom.
ULMWP sebelumnya telah mendirikan kantor di Port Vila, ibukota Vanuatu, dan di Honiara, Kepulauan Solomon Island Honiara.
Perdana Menteri Solomon Manasye Sovagare saat ini menjabat sebagai pimpinan Masyarakat Melanesia Selatan, Melanesian Spearhead Group (MSG).
"Ini adalah bukti dukungan MSG untuk perjuangan kita," kata Sebby Sambom.
Kelompok hak asasi Imparsial menyatakan, pemerintah bisa merangkul perwakilan ULMWP sebagai perwakilan masyarakat Papua yang tinggal di luar negeri.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
"Saya pikir lebih baik bagi pemerintah untuk merangkul mereka dan menciptakan perdamaian di tanah Papua," kata Direktur Imparsial Poengky Indartikepada harian Jakarta Globe.