Pembunuhan terhadap beberapa pekerja konstruksi di Papua, mencuatkan lagi luka di Bumi Cendrawasih itu. Dalam masalah HAM, Papua adalah paradoks. Mengapa demikian? Simak opini Aris Santoso berikut ini.
Iklan
Papua adalah masalah kompleks, selalu menjadi beban setiap rezim. Tidak ada rezim yang secara signifikan mampu merebut simpati rakyat Papua. Papua memang sudah bermasalah sejak awal, sejak proses peralihan dari pemerintah kolonial Belanda ke PBB, kemudian dari PBB ke pemerintah Indonesia. Tentu paling krusial adalah fase dari PBB ke RI, karena proses berlangsung dengan intimidasi dan manipulasi.
Rantai kekerasan yang terus berlangsung hingga hari ini tidak bisa dilepaskan dari proses dekolonisasi tersebut. Kita tidak bisa menafikan fakta, bahwa proses sejarah yang berlangsung di Papua berbeda dengan wilayah lain di Tanah Air. Sejak rezim-rezim sebelumnya, elite politik di Jakarta senantiasa gagal menangkap aspirasi rakyat Papua. Elite Jakarta biasa menggunakan kekerasan dalam meredam aspirasi rakyat Papua, seperti tindak kekerasan terhadap aksi mahasiswa Papua, di Surabaya dan Jakarta, baru-baru ini.
Aksi kekerasan dari kelompok sipil bersenjata di Nduga, bisa jadi merupakan respons atas tindakan elite Jakarta sebelumnya. Kekerasan dibalas dengan kekerasan, sementara aspirasi rakyat Papua sendiri tidak diproses. Sempat ada harapan bagi penyelesaian damai kasus HAM di Papua, ketika keluarga besar Theys Eluay mengeluarkan pernyataan deklarasi damai, pertengahan November lalu,terkait tragedi tewasnya Theys pada November 2001. Peristiwa ini bisa dianggap sebagai "jalan baru” dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.
Belum genap dua minggu, terjadi aksi kekerasan aparat, ketika menyerbu sekretariat KNPB (Komite Nasional Papua Barat), tak jauh dari pusat kota Jayapura. Yang sulit dimengerti dalam penyerbuan itu, selain melukai beberapa orang yang tengah berada dalam ruang sekretariat, aparat juga merusak bahan makanan dan masakan yang sudah siap disajikan.
Mengapa masakan juga harus dihancurkan? Bukankan aparat tersebut bekerja utamanya adalah untuk mencari makan, untuk menyambung hidup dirinya bersama keluarganya. Sementara kita tahu, harga bahan sembako di Papua secara umum lebih mahal ketimbang di wilayah lain di Tanah Air. Dan lagi masih banyak rakyat kita yang dengan susah payah mencari sesuap nasi. Terlihat sekali para aparat tidak memiliki empati pada nasib rakyat.
Saya sendiri kurang yakin, apakah perwira-perwira yang menjadi pimpinan satuan tersebut, memberi pengarahan untuk merusak bahan makanan. Perwira TNI (khususnya AD) sudah cukup belajar atas kasus Theys, yang menjadi noktah hitam dalam memori rakyat Papua. Sepertinya mustahil ada perbedaan kebijakan pimpinan TNI terhadap Papua, artinya kalau menghadapi kasus Papua, ditolerir bertindak lebih keras dibanding wilayah lain.
Martabat Papua
Masalah HAM di Papua sangat kompleks, karena tumpang tindih dengan isu "referendum”. Ekspresi masyarakat Papua selama ini selalu ini dihadapi dengan kekerasan oleh aparat, yang justru menambah rumit masalah. Karena tindak kekerasan aparat bisa masuk kategori pelanggaran HAM, dan itu berdampak pada dendam, yang akan menimbulkan konflik-konflik lanjutan.
Salah satu opsi untuk kasus HAM Papua adalah dialog intensif, antara elite di Jakarta dan rakyat Papua. Hanya masalahnya, komunitas atau elemen mana yang representantif dalam membawa aspirasi masyarakat Papua. Bagian ini yang membedakan antara perjuangan rakyat Papua dan rakyat Timor Leste (masa lalu). Di Timor Leste dulu, antara aktivis kemerdekaan yang tersebar di kota-kota di tanah air, rakyat biasa, beserta para gerilyawan di belantara, memiliki aspirasi yang sama. Dan satu yang paling utama, ada organisasi (tunggal) sebagai representasi, bila diadakan perundingan dengan Jakarta atau pihak luar.
Sementara di Papua, belum ada organisasi yang solid seperti di Timor Leste dulu. Di Papua, rakyat biasa menyalurkan aspirasinya melalui kepala suku, yang bisa jadi kepala suku memiliki kepentingan subyektifnya sendiri, karena kedekatan khusus dengan elite politik setempat, dan tentu kompensasi ikut bicara.
Sebagaimana pengalaman Opsus (operasi khusus) dulu, sebuah lembaga semi intelijen di bawah kendali Ali Moertopo, yang mengirim berkerat-kerat bir, untuk disuplai pada kepala suku. Minuman keras memang fenomena yang tipikal di Papua, sehingga bisa merambah ke ranah politik. Bisa jadi Opsus berhasil mencapai misinya, melalui "perjamuan bir”, namun sejatinya cara ini tidak etis, karena ada unsur manipulatif dalam prosesnya.
Papua adalah sebuah narasi besar. Kontradiksi di Papua sudah terjadi sejak awal 1960-an, dan terus berakumulasi hingga rezim Jokowi sekarang. Isu kedaulatan, ketimpangan sosial, pelanggaran HAM, minimnya akses di bidang kesehatan dan pendidikan, akan terus menjadi beban bagi siapa pun yang berkuasa di negeri ini.
Tampaknya jalan menuju dialog masih panjang, namun tetap perlu dilakukan. Sambil menunggu delegasi yang representatif, para aparat dan korporasi di Papua hendaknya melakukan moratorium, dengan cara memperlakukan masyarakat Papua dengan lebih manusiawi, mengingat para aparat dan korporasi itu "numpang hidup” di tanah Papua.
Jokowi Blusukan di Papua
Presiden Joko Widodo membawa Ibu Negara Iriana dan sejumlah menteri dalam kunjungan kerja ke Papua. Ini adalah kedelapan kalinya Jokowi melawat ke provinsi di ufuk timur tersebut.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Delapan Kali di Papua
Selama lima jam Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo menumpang pesawat kepresidenan ke Papua. Ini adalah kali ke-delapan presiden mengunjungi provinsi di ufuk timur Indonesia itu sejak dilantik Oktober 2014 silam.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Tanda Kemakmuran
Dalam kunjungannya kali ini presiden mendapat agenda ketat. Setibanya di Jayapura, Jokowi dijadwalkan menyerahkan 3.331 sertifikat hak atas tanah kepada penduduk setempat. Ia berpesan agar penduduk menyimpan dokumen penting tersebut dengan aman. "Dimasukkan ke plastik, difotokopi, jadi kalau hilang ngurus-nya lebih gampang," ujar Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Kepemilikan Permudah Pinjaman
Penyerahan sertifikat tanah dinilai penting sebagai pondasi kemakmuran. Kini penduduk bisa menggunakan sertifikat tersebut untuk menambah pinjaman usaha. "Tapi hati-hati untuk agunan ke bank tolong dihitung, dikalkulasi bisa mencicil, bisa mengembalikan ndak setiap bulan? Kalau ndak, jangan," ucap Presiden.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Sertifikat Kurangi Konflik Tanah
Tahun 2017 silam pemerintah membagi-bagikan 70.000 sertifikat kepada penduduk Papua. Tahun ini Badan Pertanahan Nasional menargetkan penyerahan 20.000 sertifikat tanah tambahan.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Rombongan Menteri di Jayapura
Selain presiden dan ibu negara, rombongan kenegaraan ini juga dihadiri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri Seketaris Negara Pratikno, Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Menteri Kesehatan Nila Moeloek.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Blusukan Infrastruktur
Selain bertemu penduduk, rombongan presiden juga dijadwalkan mengunjungi sejumlah proyek infrastruktur vital, antara lain Pasar Mama Mama yang khusus dibangun buat kaum perempuan dan jembatan Holtekamp di atas Teluk Youtefa.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
Jembatan Memangkas Jarak
Jembatan sepanjang 732 meter ini menghubungkan Jayapura dengan Muara Tami. Keberadaan jembatan di atas Teluk Youtefa memangkas waktu perjalanan dari yang semula 2.5 jam menjadi hanya satu jam saja.
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres
7 foto1 | 7
Beban setiap rezim
Pada 22 Juni 2015, Jokowi menandatangani Perpres No 75 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2015 – 2019. Sayang regulasi ini hanya bagus di judul, karena bila kita telusuri, tidak ada penjelasan bagaimana peta jalan pemerintah tentang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Komitmen penyelesaian masalah HAM di Papua, tidak pernah terucap dari Jokowi, meski Jokowi berkali-kali berkunjung ke tanah Papua. Kasus HAM selalu didelegasikan pada orang kepercayaanya, seperti Luhut Binsar Panjaitan, saat masih menjabat Menkopolhukam. Saat menjabat Menkopolhukam, Luhut pernah berjanji akan menyelesaikan 11 kasus pelanggaran HAM di Papua pada akhir Desember 2016, sementara sekarang sudah di penghujung tahun 2018, dan periode pemerintahan Jokowi juga sudah hampir habis.
Setelah posisi Menkopolhukam diberikan pada Wiranto, prospeknya lebih suram lagi. Mengingat Wiranto sendiri sering dikejar-kejar para pembela HAM, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab pada kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Alih-alih mencari terobosan baru, Wiranto justru melakukan blunder dengan usulan pembentukan DKN (Dewan Kerukunan Nasional), yang memperoleh resistensi dari korban dan pembela HAM.
Masalah HAM selalu menjadi dilema bagi siapa pun yang berkuasa di negeri itu, saya kira itu salah satu sebab mengapa Jokowi terkesan pasif. Bagi para penguasa, isu HAM ibarat palang pintu kereta, yang hanya menghambat saat mobil melaju kencang. Seperti yang dialami Jokowi sekarang, di saat sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur, buat apa pula mengurus masalah HAM, hanya menambah beban yang tidak perlu.
Posisi TNI
Sejak lama TNI, khususnya Angkatan Darat, berkepentingan untuk mengadakan operasi militer di Papua. Selain untuk kepentingan politis, yakni untuk menjaga integrasi nasional, sesuai motto "NKRI Harga Mati”. Operasi diadakan untuk keperluan memelihara kemampuan tempur prajurit TNI. Untuk mengatasi gerakan bersenjata di Papua, TNI lebih mengedepankan operasi territorial dan intelijen.
Pelanggaran HAM di Papua pada umumnya melibatkan aparat, itu sebabnya diperlukan etika khusus bagi anggota TNI yang ditugaskan di Papua. Salah satunya adalah jangan mudah terprovokasi. Demikian juga dengan elemen masyarakat sipil, supaya lebih taktis dalam bertindak. Mengingat akses media masih minim di pedalaman Papua, sehingga tidak ada yang memonitor seandainya terjadi tindak kekerasan.
Bagi aparat sebaiknya jangan menambah derita mayoritas rakyat Papua, yang umumnya masih polos dan masih rendah kualitas kesejahteraannya. Sebaliknya, anggota TNI dan Polri harus berterima kasih pada wilayah Papua, jangan ada lagi fenomena "air susu dibalas dengan air tuba”.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
10 foto1 | 10
Jalan baru
Rintisan rekonsialiasi damai dari keluarga besar Theys kiranya bisa dijadikan model atau jalan baru menuju kedamaian hakiki di tanah Papua. Melalui jalan perdamaian, diharapkan akan disusul dengan kesejahteraan, tanpa harus tergantung pada dana otsus (otonomi khusus), yang hanya menjadi "bancaan” elite politik Papua.
Satu catatan penting dari inisiatif keluarga Theys adalah, bahwa dalam soal kemanusiaan dan peradaban, justru Jakarta yang harus banyak belajar pada masyarakat Papua. Berdasarkan asumsi selama ini, Jakarta dianggap lebih maju (baca: beradab) dari kota-kota di Papua.
Bagi yang sempat ke Papua, segala kebisingan politik di Jakarta, sama sekali tidak terasa di pelosok Papua. Sungguh sulit dipahami, bagaimana Jakarta yang dianggap sebagai kota yang paling beradab di Tanah Air, telah berkembang menjadi kota yang dikuasai oleh sentimen primordial dan pihak yang haus kekuasaan. Jakarta telah menjadi persemaian sekumpulan predator yang haus kekuasaan, menjadikan kota ini kurang kondusif untuk ditinggali.Kini semakin banyak saja kota-kota yang kurang mengutamakan prinsip toleransi dan keberagaman, dan itu jelas bukan di Papua.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.
Polemik Emas Ilegal dari Limbah Freeport
Ribuan penduduk mengais emas dari limbah tambang Freeport di Timika. Pemerintah ingin menutup kegiatan ilegal itu karena memicu kerusakan lingkungan. Tapi banyak oknum yang terlanjur menikmati bisnis gelap tersebut
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Tambang Ilegal di Aikwa
Penambang emas mendulang emas di sungai Aikwa di Timika, Papua. Meski banyak penduduk suku Kamoro yang masih berusaha mencari uang sebagai nelayan, kegiatan penambangan emas merusak dasar sungai yang kemudian memangkas populasi ikan di sungai Aikwa.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Emas Punya Siapa?
Sejumlah penduduk bahkan datang dari jauh untuk menambang emas di sungai Aikwa. Indonesia memproduksi emas yang mendatangkan keuntungan senilai 70 miliar Dollar AS setahun, atau sekitar 900 triliun Rupiah. Tapi hanya sebagian kecil yang bisa dinikmati penduduk lokal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Buruh Papua Mencari Kerja
Kebanyakan penduduk asli setempat telah terusir oleh kegiatan perluasan tambang. Saat ini Freeport mengaku memiliki hampir 30.000 pegawai, sekitar 30% berasal dari Papua, sementara 68% dari wilayah lain di Indonesia dan kurang dari 2% adalah warga asing. Berkat tekanan dari Jakarta, Freeport berniat menambah komposisi pekerja Papua menjadi 50%.
Foto: Getty Images/AFP/O. Rondonuwu
Sumber Kemakmuran
Tambang Grasberg adalah sumber emas terbesar di dunia dan cadangan tembaganya tercatat yang terbesar ketiga di dunia. Dari sekitar 238.000 ton mineral yang diolah setiap hari, Freeport memproduksi 1,3% emas, 3,4% perak dan 0,98 persen tembaga. Artinya tambang Grasberg menghasilkan sekitar 300 kilogram emas per hari.
Foto: Getty Images/AFP
Berjuta Limbah
Grasberg berada di dekat Puncak Jaya, gunung tertinggi di Indonesia. Setiap hari, tambang tersebut membuang sekitar 200.000 ton limbah ke sungai Aikwa. Pembuangan limbah tambah oleh Freeport ujung-ujungnya membuat alur sungai Aikwa menyempit dan dangkal.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Nilai Tak Seberapa
Setiap tahun sebagian kecil dari jutaan gram emas yang ditambang di Grasberg terbuang ke sungai Aikwa dan akhirnya didulang oleh penduduk. Semakin ke hulu, maka semakin besar kemungkinan mendapatkan emas. Rata-rata penambang kecil di Aikwa bisa mendulang satu gram emas per hari, dengan nilai hingga Rp. 500.000.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Simalakama Penambangan Ilegal
Pertambangan rakyat di sungai Aikwa selama ini dihalangi oleh pemerintah. Tahun 2015 silam TNI dan Polri berniat memulangkan 12.000 penambang ilegal. Pemerintah Provinsi Papua bahkan berniat mengosongkan kawasan sungai dengan dalih bahaya longsor. Namun kebijakan tersebut dikritik karena menyebabkan pengangguran dan memicu ketegangan sosial.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Kerusakan Lingkungan
Asosiasi Pertambangan Rakyat Papua sempat mendesak pemerintah untuk melegalisasi dan menyediakan lahan bagi penambangan rakyat di sungai Aikwa. Freeport juga diminta melakukan hal serupa. Ketidakjelasan status hukum berulangkali memicu konflik antara kelompok penambang. Mereka juga ditengarai menggunakan air raksa dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung penduduk setempat
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Persaingan Timpang
Konflik antara penambang antara lain disebabkan persaingan yang timpang. Ketika penduduk lokal masih mengais emas dengan kuali atau wajan, banyak pendatang yang bekerja dengan mesin dan alat berat. Berbeda dengan penambang kecil, penambang berkocek tebal bisa meraup keuntungan hingga 10 juta Rupiah per hari.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Bisnis Gelap di Timika
Pertambangan rakyat di sungai Ajkwa turut menciptakan struktur ekonomi sendiri. Karena banyak pihak yang diuntungkan, termasuk bandar yang menampung hasil dulangan emas penduduk di Timika dan oknum pemerintah lokal yang menyewakan lahan penambangan secara ilegal. Situasi tersebut mempersulit upaya penertiban pertambangan rakyat di Papua. Penulis: Rizki Nugraha/ap (dari berbagai sumber)