1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Jalan Baru Relawan Jokowi

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
4 Desember 2021

Pada akhirnya periode (kekuasaan) Jokowi akan berakhir juga, lalu ke mana ribuan relawan itu akan berlabuh pasca-Pilpres 2024? Memang ada wacana "Jokowi tiga periode”, namun itu belum pasti, prosesnya masih panjang.

Presiden Joko Widodo menaiki tangga pesawat saat hadiri G20 di Italia bulan Oktober 2021Foto: Kris/Biro Pers Sekretariat President

Terpilihnya Jokowi sebagai presiden, khususnya pada periode pertama, melahirkan fenomena baru dalam politik kontestasi di negeri kita, yaitu munculnya komunitas relawan. Gerakan relawan terjadi, karena aspirasi arus bawah yang mendukung Jokowi terbilang besar, sementara partai yang menjadi tempat Jokowi bernaung, yakni PDIP, terkesan lambat dalam merespons.

Gerakan relawan (mendukung Jokowi) sebenarnya sudah muncul saat Jokowi maju dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta, tahun 2012. Ketika itu meroketnya popularitas Jokowi tak lagi terbendung, rasanya tidak berlebihan bila dikatakan, naiknya Jokowi menjadi orang nomor satu Indonesia, hanyalah soal waktu. Mungkin sebagian dari kita masih ada yang ingat, komunitas relawan saat Jokowi maju sebagai cagub (calon Gubernur DKI), salah satunya dicirikan dengan baju kotak-kotak dengan aksentuasi warna merah.

Masifnya gerakan relawan sesuatu yang fenomenal, dan kini telah tumbuh menjadi genre tersendiri. Persoalannya, pada akhirnya periode (kekuasaan) Jokowi akan berakhir juga, lalu kemana ribuan relawan itu akan berlabuh pasca-Pilpres 2024? Memang ada wacana "Jokowi tiga periode”, namun itu belum pasti, prosesnya masih panjang, termasuk kemungkinan resistensi dari kalangan penggiat HAM, aktivis mahasiswa, dan akademis di kampus. Untuk sementara kita berpegang saja pada regulasi yang sudah ada, yakni presiden hanya bisa memerintah dua periode.

Siapkan sekoci

Menjelang transisi menuju periode kedua Jokowi sebagai presiden, yakni tahun 2019, peran relawan Jokowi sebenarnya tidak sebesar ketika Jokowi maju pada periode pertama. Namun persoalannya di sini bukan lagi soal kualitas peran relawan dalam memenangkan Jokowi untuk periode kedua, namun lebih pada soal kuantitas, mengingat jumlah relawan sudah terlanjur membesar. Memang belum ada angka pasti, karena secara "ideologis” juga cair, dan tersebar pada sejumlah komunitas.

Bila kita perhatikan, jumlah relawan dalam sebuah komunitas, bisa diukur dari jabatan atau posisi yang bisa diraih tokoh utama dari komunitas relawan tersebut. Kalau bisa meraih posisi (setidaknya) wakil menteri, duta besar atau komisaris BUMN kelas premium, bisa jadi anggotanya memang besar. Sementara bila figur komunitas hanya bisa mengisi komisaris BUMN kelas menengah, berarti jumlah anggotanya lebih kecil lagi. Yang mau saya katakan adalah, belum ada angka yang pasti soal berapa jumlah relawan.

Bila figur relawan bisa menduduki jabatan seperti itu, tentu mereka termasuk orang yang terpilih, dalam bahasa (slank) Jakarta biasa dikenal dengan "nyawa saringan”. Itu bisa terjadi, karena setelah Jokowi berkuasa, pimpinan relawan dari berbagai komunitas saling berebut akses untuk menggapai jabatan, dan tentu saja tidak semuanya bisa tertampung. Gambarannya kira-kira mirip seperti di dunia militer, bahwa tidak semua bintara atau tamtama akan tertampung dalam strata perwira, mengingat jabatan bagi perwira lebih terbatas, serta diperlukan persyaratan lain, seperti aspek pendidikan dan kapasitas pribadi.

Jangan dibayangkan semua relawan memiliki kapasitas seperti Teten Masduki (Menteri Koperasi dan UKM), Rizal Mallarangeng (Komisaris PT Telkom), Fadjroel Rachman (Dubes Kazakhstan), Budiman Sujatmiko (pengusaha rintisan teknologi digital), Helmy Fauzi (mantan Dubes Mesir), dan seterusnya. Orang seperti mereka adalah minoritas di komunitas relawan, mereka memiliki jaringan yang sangat luas, serta sangat terlatih dalam wacana sosial-politik. Sementara mayoritas relawan lainnya, ibarat buih ombak lautan, kelihatannya saja banyak, namun kapasitasnya biasa-biasa saja. Sebagai mantan relawan, saya ikut prihatin, sebagian besar relawan kapasitasnya kategori penggembira Wacana Jokowi Tiga Periode, Ini Jawaban Jubir Presidensaja.

Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Adakah yang masih memikirkan nasib ribuan relawan yang tak tertampung dalam kapal besar kekuasaan Jokowi? Sebaiknya mereka segera menyiapkan sekoci untuk mencari dermaga baru, agar tetap survive. Dalam periode kedua kekuasaan Jokowi, karakter asli para relawan sebagai "massa mengambang” (floating mass) mulai terlihat.

Kalau para tokoh relawan, kiranya sudah cukup tabungan, sehingga bisa melakukan moratorium dalam politik, sembari menunggu momen yang tepat untuk tampil kembali. Sementara para "penggembira” tidak ada kata jeda, karena itu berkorelasi dengan hidup sehari-hari. Benar, mereka sekadar "numpang hidup” sebagai relawan. Bila ada impresario yang memiliki dana besar, dan mengajak para relawan bergabung, tentu akan diterima dengan senang hati, tanpa mereka pernah bertanya, kira-kira apa afiliasi politik juragan baru tersebut.

Tokoh panutan

Dalam setiap ikhtiar, selalu ada tokoh yang dijadikan panutan atau referensi, demikian juga dengan ikhtiar para relawan mencari dermaga baru menjelang berakhirnya kekuasaan Jokowi. Ternyata saya cukup sulit untuk mencari tokoh panutan dimaksud, mengingat relawan termasuk fenomena baru. Jauh lebih mudah mencari figur panutan dalam gerakan antikorupsi atau pembela HAM, misalnya.

Untuk sementara saya mengajukan dua nama, yang mungkin tidak terlalu ideal, namun setidaknya bisa kita jadikan pegangan. Dua tokoh dimaksud adalah Ali Mochtar Ngabalin dan Ruhut Sitompul. Gerakan relawan bersifat pragmatis dan jangka pendek, oleh karenanya saya carikan tokoh yang karakternya seperti itu.

Saya sendiri cukup lama mengamati perjalanan dua tokoh itu, bahkan Ruhut lebih lama lagi, karena sudah menjadi figur publik di masa Orde Baru, khususnya di lingkaran KNPI dan ormas Pemuda Pancasila (PP). Karier politik keduanya sangat dinamis (zigzag), dan selalu mulus dalam setiap transfer lembaga atau organisasi. Ada istilah asing yang kiranya pas untuk menggambarkan karier politik mereka berdua, a man for all seasons.

Salah satu yang saya ingat dari Ruhut Sitompul, adalah ujarannya di awal dekade 1990-an dulu pada sebuah majalah hiburan , ketika dirinya mengatakan "saya siap mati demi Yapto”. Yapto dimaksud adalah Yapto Suryosumarno, Ketua Umum Pemuda Pancasila, ormas pemuda yang sangat disegani di masa Orde Baru, dan Ruhut masuk dalam lingkaran elite ormas pemuda tersebut.

Bisa dibayangkan militansi Ruhut pada patronnya, bila pada Yapto saja berbicara seperti itu, tentu sikap yang sama berlaku pula pada Akbar Tanjung (patronnya saat masih di Golkar), SBY (Partai Demokrat), dan kini Megawati. Fenomena Ruhut mengingatkan kita pada nilai kehidupan (jawa) "wolak walike jaman”(pasang surut kehidupan). Ketika para patronnya mulai surut (Yapto, Akbar Tanjung, SBY), Ruhut masih eksis sampai hari ini, dan entah sampai kapan. Bila dihubungkan dengan capaian Ruhut dalam aspek kesejahteraan, militansi Ruhut tidaklah sia-sia.

Tentang Ali Mochtar tentu tidak perlu penjelasan lagi, hampir setiap hari wajahnya muncul di televisi dan media daring, semoga saja masyarakat awam tidak bosan melihat wajahnya. Satu hal yang saya tidak habis mengerti adalah, jauh hari sebelum Prabowo bergabung dalam gerbong kekuasaan Jokowi (periode kedua), Ali Mochtar selaku tim sukses Prabowo sudah "lompat” lebih dahulu ke istana, seolah menjadi tim advance bila diandaikan sebuah ekspedisi besar

Wajah Ali Mochtar seperti berlapis-lapis, sebagaimana tokoh Ethan Hunt (diperankan Tom Cruise) dalam film Mission:Impossible. Dari sebelumnya die-hard pendukung pasangan Prabowo – Hatta Rajasa, kini die-hard pendukung rezim Jokowi. Rasanya baru kemarin saja kita melihat Ali Mochtar berdesakan dengan Prabowo dalam mobil bak terbuka, ketika Prabowo berkampanye Pilpres 2014. Tanpa perlu menunggu waktu lama, kisaran seumuran jagung, tiba-tiba Ali Mochtar sudah menjadi bintang di Istana.

Yang juga perlu dipersoalkan adalah lembaga atau organisasi yang bersedia memberi tempat bagi mereka berdua. Bisa jadi titik lemah ada pada lembaga atau organisasi yang begitu mudahnya memberi "karpet merah” bagi Ali dan Ruhut. Dalam kasus Ali Mochtar di KSP (Kantor Staf Presiden) misalnya, mengapa bukan mengedepankan figur seperti Andi Widjajanto (Penasihat Senior KSP), yang dari segi retorika dan kompetensi jelas lebih bagus, dan lagi Andi adalah pendukung Jokowi sejak mula.

Saya menduga ada pertimbangan taktis di balik tidak dimunculkannya Andi. Ini mengingatkan saya pada kasus Ishadi SK (Direktur Televisi Departemen Penerangan era Orde Baru), ketika secara mendadak dimutasi ke jabatan lain yang kurang prospektif. Pada awal dekade 1990-an itu, nama Ishadi demikian moncer, berkat suksesnya mengembangan TVRI Stasiun Yogyakarta. Begitu populernya nama Ishadi (selaku Direktur Televisi), sehingga ia seolah menenggelamkan nama pejabat dua tingkat di atasnya, yakni Direktur Jenderal RTF (Radio, Televisi dan Film) serta Menteri Penerangan (Harmoko). Pengalaman Ishadi SK bisa kita jadikan analogi, mengapa Ali yang lebih dimunculkan, bukan Andi.

Kemudian soal Ruhut, bagaimana mungkin langsung bisa masuk ke lingkaran elite PDIP, lalu dikemanakan sebegitu banyak kader PDIP yang sudah rela antre bertahun-tahun, bahkan ada yang sejak era Orde Baru, saat Ruhut masih mesra dengan PP dan Golkar?

Terkait posisi Ruhut, saya tidak yakin ada problem di internal PDIP. Tampaknya ini lebih pada kepiawaian Ruhut saja dalam mengatur posisi, seperti teknik blocking di seni drama.

Kemungkinan besar Ruhut sedikit abai dengan soal protokoler, dan itu sudah sering terjadi, bahkan sejak era Orde Baru. Ruhut selalu mencitrakan dirinya sebagai elite partai, padahal sejatinya bukan. Di organisasi manapun, dalam kegiatan apapun, Ruhut selalu berusaha "nempel” figur top organisasi, sebut saja SBY bila di Partai Demokrat atau Akbar Tanjung (Golkar). Taktik Ruhut senantiasa merapat tokoh penting terbilang nekat, tidak masalah baginya, bila harus menerabas protokoler. Ruhut memiliki target pribadi, wajahnya segera terpampang di media cetak atau media elektronik pada kesempatan pertama.

Setidaknya ada dua pelajaran penting yang bisa diambil dari kiprah Ali Mochtar dan Ruhut Sitompul, yaitu kecepatan beradaptasi dan militansi. Kiranya relawan agar segera beradaptasi di organisasi yang baru kelak, yang menjadi dermaga atau persinggahan berikutnya. Dan pada gilirannya secara militan menyanjung dan membela tokoh utama di organisasi yang baru tersebut.

Gelombang pengungsi Afganistan hari-hari ini, bisa kita jadikan cermin soal nasib relawan di hari-hari mendatang. Warga Afghanistan terpaksa pergi dari tanah airnya, mencari suaka di negeri lain, karena tidak setuju dengan rezim penguasa yang baru. Bagi pengungsi Afganistan, konsep tanah air menjadi kabur, terdegradasi menjadi sekadar kampung halaman. Buat apa tinggal di negeri sendiri, bila masa depan suram dan selalu hidup dalam kecemasan.

Konsep tanah air versi pengungsi Afganistan tersebut, senafas dengan konsep organisasi bagi relawan, siapa figur atau ideologi organisasi penampung tidaklah penting. Lebih penting diperhatikan adalah, bagaimana organisasi yang baru mampu menjanjikan kesejahteraan dan sebersit kebahagiaan. Sebagaimana pandangan pengungsi Afganistan, tanah air bukalah tempat di mana kita dilahirkan, namun adalah tempat di mana kita punya masa depan dan hidup secara damai.

 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait