1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sulit Menjadi Bos Perempuan

Nina Werkhäuser8 Juni 2013

Perempuan di tampuk kepemimpinan masih tergolong jarang di Jerman. Mengapa? Sekelompok bos perempuan baru-baru ini berkesempatan menemui Kanselir Angela Merkel dan mengajukan usul.

Foto: Reuters

Kanselir Jerman Angela Merkel secara gamblang mendorong para perempuan yang hadir untuk berbagi pengalaman. Terutama mengenai kesulitan yang dihadapi untuk maju dalam karier. Seratus perempuan yang menonjol dalam bidang mereka duduk bersama dengan sang kanselir. Selama Merkel memimpin pemerintahan, tidak ada perempuan yang mengepalai satu pun dari 30 perusahaan besar Jerman.

Sebagian pengalaman yang dialami begitu konyol hingga tawa kerap terdengar. Innes Kolmsee, misalnya, CEO perusahaan manufaktur SKW Stahl Metal tidak lagi diberi kartu pajak oleh kantor pajak Bayern saat ia menikah – alasannya – sebagai seorang istri dia tidak perlu lagi bekerja. Dan sebagai seorang ibu yang memiliki anak kecil, ia wajib memperoleh sertifikat dari bos perusahaan untuk izin bekerja. "Saya bosnya," ujarnya mengejutkan para pegawai kantor pajak.

Peran gender yang melekat

Nikutta: Perempuan masih didefinisikan sesuai persepsi dalam masyarakatFoto: picture-alliance/dpa

Peran tradisional perempuan dalam masyarakat begitu mengakar di pikiran banyak orang, jelas Sigrid Nikutta, CEO perusahaan transportasi publik Berlin. "Kolega saya sengaja menjadwalkan rapat pukul 8 malam untuk melihat bagaimana saya mengatur segalanya dengan 4 anak." Jam segitu tidak ada pusat penitipan anak yang buka, sekolah bubar saat makan siang, jadi saya harus mengandalkan pasangan atau pengasuh.

"Pukul 5 sore, kantor-kantor di Swedia sudah kosong," kata Kolmsee. Di sana, banyak ayah yang menjemput anak dari taman kanak-kanak atau sekolah. Tapi di Jerman, seorang pegawai akan dianggap pekerja keras dan berkomitmen kalau lembur di kantor.

Bagi para ibu yang juga petinggi perusahaan, ini jelas sulit. Kolmsee yakin "rapat pada jam 8 malam hanya bisa terjadi kalau lelaki dan perempuan berbagi tugas rumah tangga." Namun lelaki kerap diolok-olok kalau meninggalkan kerja untuk mengurus anak.

Negara dapat berbuat lebih

"Mengubah cara pikir orang butuh waktu, namun para pembuat kebijakan dapat beraksi lebih cepat", tuntut para perempuan yang kini berada di puncak karir itu. Di negara-negara Eropa lainnya, seperti Perancis, negara membiayai pusat penitipan anak.

Bertahun-tahun pemerintah Jerman berjanji akan membantu, tapi perkembangannya lambat. Namun pemerintah merencanakan sesuatu yang berbeda: ibu yang mendidik anak di rumah akan mendapat "tunjangan perawatan", yang jumlahnya tidak seberapa. Sebuah rencana yang ditolak kelompok perempuan yang hadir.

Lelaki kerap diolok-olok kalau meninggalkan kerja untuk mengurus anakFoto: picture-alliance/dpa/dpaweb

"Lingkungan kerja yang tidak kondusif turut menjadi alasan bagi perempuan muda memilih tidak berkarier", tandas Marion Kiechle, direktur sebuah rumah sakit di München. Kiechle menambahkan, perempuan di Jerman kerap digaji lebih rendah dari lelaki untuk kerjaan yang benar-benar sama. Termasuk dokter senior. Dan terakhir, kerja paruh waktu nyaris tidak dikenal di posisi eksekutif .

Di jejeran anggota dewan 200 perusahaan terbesar Jerman, hanya 4 persen diantaranya yang perempuan. Kanselir Merkel menuntut kuota minimum dijadikan undang-undang  – tapi, itupun akan digolkan setelah usainya pemilu September mendatang.

Hingga tahun 2020, direncanakan, 30 persen posisi anggota dewan komisaris perusahaan harus diisi perempuan. "Perempuan jumlahnya lebih dari 50 persen populasi Jerman, jadi kuota 30 persen masuk akal," tambah Merkel.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait