Apakah persoalan pelik pekerja migran Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah pengirim maupun penerima semata? Sumanto Al Qurtuby melihat dari sudut pandang lain.
Iklan
Jamak diketahui kalau Arab Teluk, khususnya Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), dan Oman, yang tergabung dalam Gulf Cooperation Council (GCC), adalah kawasan migran internasional. Bahkan jumlah warga migran di sejumlah negara ini jauh melebihi penduduk asli seperti di UEA, Kuwait, Qatar, dan Bahrain. Sementara itu jumlah kaum migran di Oman sekitar 40% dan di Saudi mencapai lebih dari 30% jumlah penduduknya.
Sebagian besar kaum migran ini hijrah ke Arab Teluk 1970/80-an ketika negara-negara GCC melakukan proyek pembangunan dan industrialisasi besar-besaran,csehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Ini adalah dampak dari lonjakan atau booming harga minyak.
Gelombang migran berikutnya datang setelah Perang Teluk II (1991). Akibat perang berkepanjangan, jutaan warga migran kabur dari sana, sehingga setelah perang usai, negera-negara GCC kembali membutuhkan banyak tenaga kerja baru.
Di antara kaum migran internasional ini, negara-negara Asia Selatan yang paling banyak mendominasi sebagai negara asal, seperti India, Pakistan, Bangladesh, kemudian Sri Lanka. Migran yang lain berasal dari negara-negara di Afrika (Somalia, Etiopia, Sudan), Filipina, Cina, Thailand, dan Indonesia. Sedangkan kaum migran Arab sebagian besar dari Mesir, Yaman, dan Yordania.
Selain mendatangkan sejumlah keuntungan finansial baik bagi kaum migran maupun negara-negara tuan rumah, kehadiran mereka, khususnya migran “tenaga kasar”, jadi bukan “ekspat profesional”, telah menciptakan masalah sosial-budaya-ekonomi-politik yang cukup pelik dan tidak gampang diselesaikan, baik bagi negara-negara pengekspor tenaga kerja maupun, atau terlebih, bagi negara-negara pengimpor tenaga kerja tadi.
5 Hal Yang Tidak Boleh Dilakukan Perempuan Arab Saudi
Catatan HAM Arab Saudi tidak bagus. Terutama yang berkaitan dengan perlindungan bagi perempuan dan hak-haknya. Walaupun ada kemajuan, ruang gerak perempuan tetap sangat dibatasi.
Foto: Getty Images/AFP
Menyetir Mobil
Tidak ada UU resmi yang larang perempuan menyetir mobil. Tetapi kepercayaan keagamaan yang mendalam melarangnya. Menurut ulama Arab Saudi, perempuan yang menyetir "tidak mengindahkan nilai-nilai sosial". 2011 sekelompok perempuan mengorganisir kampanye "Women2Drive" dengan menempatkan foto-foto mereka ketika menyetir mobil untuk membangkitkan kesadaran perempuan. Kampanye tidak sukses.
Foto: Jürgen Fälchle/Fotolia
Keluar Rumah Tanpa Didampingi Pria
Perempuan Arab Saudi harus didampingi "pengawal" pria jika meninggalkan rumah. Yang jadi pengawal biasanya pria anggota keluarga. Mereka didampingi ke mana saja, termasuk berbelanja dan ke dokter. Praktek ini didasari tradisi konservatif dan pandangan religius, jika perempuan diberi kebebasan, maka akan mudah berbuat dosa.
Foto: imago/CTK/CandyBox
Mengenakan Baju atau Kosmetik Yang Tonjolkan Kecantikan
"Dress code" diatur berdasarkan hukum Islam dan diterapkan di seluruh negeri, tapi tidak sama ketat di semua tempat. Sebagian besar perempuan diharuskan pakai jubah hitam yang tutupi seluruh tubuh dan penutup kepala. Wajah tidak sepenuhnya harus ditutupi, tapi ada juga yang menuntut. Itu semua tidak hentikan polisi agama tegur perempuan karena katanya pakai baju salah atau gunakan banyak kosmetik.
Foto: Atta Kenare/AFP/Getty Images
Berinteraksi dengan Pria
Perempuan ditutut batasi waktu yang dilewatkan bersama pria yang tidak punya hubungan darah. Sebagiana besar bangunan umum punya jalan masuk berbeda untuk pria dan perempuan, lapor Daily Telegraph. Di kendaraan umum, taman, pantai juga ada pemisahan antara pria dan perempuan. Jika "bercampur" tanpa ijin bisa sebabkan kedua pihak dituntut, tetapi perempuan biasanya hadapi hukuman lebih berat.
Foto: Fotolia/Minerva Studio
Berkompetisi Bebas dalam Dunia Olah Raga
Awal 2015 Arab Saudi mengajukan diri menjadi tuan rumah Olimpiade khusus untuk kaum pria. Pangeran Fahad bin Jalawi al-Saud, yang jadi konsultan bagi komite Olimpiade Arab Saudi mengatakan, masyarakat sulit menerima bahwa perempuan bisa berkompetisi dalam olah raga. Ketika Arab Saudi mengirim atlet perempuan ke London untuk pertama kali, ulama garis keras menyebut mereka sebagai "pelacur".
Foto: Fotolia/Kzenon
5 foto1 | 5
Saling tuding
Beberapa masalah yang sering muncul misalnya kerusuhan komunal (seperti migran Somalia di Saudi), kesenjangan sosial-budaya, kecemburuan sosial-ekonomi, kekerasan domestik, infiltrasi kultural, peningkatan pengangguran, kriminalitas kota, underground economy, human traffickings, sampai isu-isu prostitusi terselubung dan pelecehan seksual. Semua masalah ini sudah menjadi “rahasia publik” dan membutuhkan penanganan strategis, sistematis, dan komprehensif.
Sayangnya banyak pihak lebih suka “menyalahkan pihak lain” ketimbang mencari solusi yang lebih konstruktif dan produktif. Masyarakat dan pemerintah negara-negara pengekspor buruh migran, misalnya, lebih suka menyalahkan negara-negara tuan rumah yang dituduh kasar dan kejam terhadap buruh (misalnya merajam dan menyiksa), tidak mampu menjamin keamanan kaum migran dan gagal melindungi hak-hak azasi mereka.
Sebaliknya, masyarakat negara-negara tuan rumah cenderung menyalahkan kaum migran yang dianggap tidak bisa menghormati hukum, budaya, agama, dan adat-istiadat “warga pribumi GCC”, sering membuat onar serta “menyerobot” jatah ekonomi warga setempat sehingga menimbulkan lonjakan angka pengangguran, khususnya din kalangan muda.
Fenomena ini, misalnya, sangat terasa di Arab Saudi sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan “Saudisasi”, yakni kewajiban bagi sebagian industri (pabrik, toko, bank, dlsb), institusi dan instansi untuk memperkerjakan warga Saudi. Jika melanggar, mereka akan dikenai sanksi dan denda.
Dari Pemberontakan sampai Soal Upah Minimum
Telah banyak yang dicapai gerakan buruh dalam 150 tahun terakhir ini. Semuanya berawal dari pemberontakan para pekerja terhadap pemilik-pemilik pabrik.
Foto: Getty Images
Kutukan dan Berkah Industrialisasi
Industrialisasi yang dimulai pada abad ke- 18 di Inggris bukan saja membawa kemajuan di bidang teknologi, tapi juga menimbulkan krisis sosial. Buruh pabrik, yang merupakan tulang punggung produksi industri, berusaha membela diri atas tindakan eksploitatif pemilik pabrik. Kerusuhan pertama pecah di Inggris, saat para buruh menghancurkan mesin pabrik, menewaskan banyak buruh.
Foto: imago/Horst Rudel
Manifesto Komunis
Juga para pekerja lainnya di bidang industri menghadapi kondisi yang tidak lebih baik dibandingkan para buruh: jam kerja yang panjang, upah dan hak yang rendah. Karl Marx (foto) dan Friedrich Engels menggagas satu program bagi para pekerja yang tertindas: Manifesto Komunis, yang menyerukan "perjuangan kelas“ dengan tujuan untuk satu kemenangan bagi kelas proletar atas borjuis.
Foto: picture-alliance /dpa
Gerakan Buruh menjadi Politis
Tahun 1864 berbagai gerakan buruh bergabung untuk bekerja sama secara internasional. Selain itu, bermunculan partai dan serikat buruh, seperti Asosiasi Pekerja Jerman ADAV dan Partai Pekerja Sosial Demokrat SDAP pimpinan Wilhelm Liebknecht (dalam foto tengah mengangkat tangan) serta August Bebel (di kanan Liebknecht). SDAP menjadi cikal bakal partai Partai Sosial Demokrat Jerman SPD.
Foto: AdsD der Friedrich-Ebert-Stiftung
Sosial Demokrat vs Komunis
Sosial Demokrat Jerman menjadi model bagi negara-negara Eropa lainnya. Perjuangan mereka bagi hak pekerja sangat dipengaruhi ideologis. Setelah akhir Perang Dunia I, gerakan buruh di banyak negara Eropa terpecah, memisahkan diri menjadi gerakan sosialis dan komunis, di mana Lenin (foto) merupakan salah seorang motor gerakan ini.
Foto: Getty Images
Nazi Bubarkan Serikat Buruh
Perpecahan di tahun 1920-an tidak menghentikan masa kejayaan gerakan buruh: serikat-serikat buruh berhasil merangkul rekor jumlah anggota. Berkuasanya Nazi menjadi akhir gerakan buruh di Jerman: serikat-serikat buruh dibubarkan, aktivis buruh dikerja dan bahkan beberapa di antara mereka dihukum mati. Foto: Paramiliter Partai Nazi mengambil alih satu kantor serikat buruh.
Foto: picture-alliance/dpa
Pemberontakan di Jerman Timur
Setelah Perang Dunia II berakhir di bawah pengawasan Sekutu, serikat-serikat buruh kembali diakui. Di Jerman Timur serikat-serikat buruh bernaung dalam Federasi Serikat Buruh Bebas FDGB. Pada 17 Juni 1953 terjadi pemberontakan: ratusan ribu buruh memprotes kebijakan politik Jerman Timur. Pemberontakan dibasmi oleh pasukan Soviet. FDGB berpihak pada rezim Jerman Timur.
Foto: picture-alliance / akg-images
Gerakan Buruh tanpa Buruh
Setelah tahun 1945, gerakan buruh meredup di negara-negara demokratis. Semakin sedikit pekerja industri yang terlibat dalam gerakan buruh. Selain itu, antara tahun 1960 dan 70-an muncul berbagai gerakan lain seperti gerakan perempuan atau gerakan lingkungan.
Foto: picture-alliance/dpa
Dari Pemimpin Serikat menjadi Presiden
Satu serikat buruh yang terkenal secara internasional: Solidarność di Polandia. Dalam waktu hanya beberapa bulan, gerakan yang didirikan tahun 1980 ini berubah menjadi gerakan massa, yang turut berperan dalam peralihan haluan politik di Polandia. Ketua Solidarność yang pertama, Lech Walesa (foto), berhasil menjadi presiden Polandia di tahun 1990.
Foto: picture-alliance/dpa
Gerakan Buruh Hari Ini
Saat ini di Jerman, serikat-serikat buruh dan partai-partai kiri terus berjuang menuntut perbaikan hak para pekerja, seperti menentang upah dumping, diskriminasi di tempat kerja atau memperjuangkan pensiun yang memadai.
Foto: Getty Images
9 foto1 | 9
Masuk secara gelap
Perbedaan cara pandang dan “standar ganda” dalam melihat persoalan kaum migran terkadang membuat masalahnya menggelinding menjadi “bola api” yang panas dan bak “lingkaran setan” yang susah dipecahkan. Padahal persoalan kaum migran ini sangat kompleks dan rumit, sehingga tidak adil kalau hanya menyalahkan satu pihak saja tanpa melihat akar-persoalan yang mendasarinya.
Misalnya saja soal kaum migran Indonesia di Saudi. Terlepas dari persoalan perlakuan sejumlah majikan yang buruk terhadap buruh migran (TKI/TKW) seperti sering diberitakan media, kadang-kadang perlakuan beberapa warga migran sendiri turut memperburuk citra Indonesia di Arab Saudi. Misalnya saja sebagian dari mereka adalah “migran gelap”, khususnya di kawasan Hijaz (Mekah, Madinah, dan Jeddah). Hal ini kemudian menimbulkan sejumlah masalah sosial yang cukup pelik.
Ada juga yang berangkat ke Arab Saudi dengan menggunakan paspor haji atau umrah, kemudian setelah selesai menjalankan ibadah, mereka tidak mau pulang dan memilih tinggal di Saudi, baik atas alasan ekonomi (pekerjaan) maupun alasan agama (ibadah).
Bagi banyak kaum Muslim Indonesia, Saudi—Mekah khususnya—adalah “Tanah Air” kedua yang bisa mendatangkan rizki sekaligus pahala nomplok karena merasa menjalankan ibadah di tempat-tempat suci. Khususnya Masjid Haram (Mekah) dan Masjid Nabawi (Madinah) diyakini mendatangkan guyuran pahala yang melimpah-ruah untuk bekal di akhirat kelak.
Sayangnya, untuk mengais rezeki itu, beberapa dari mereka kadang melakukan perbuatan yang “kurang terpuji”, misalnya dengan menjadi “makelar ka'bah dan hajar aswad” (para jamaah haji dan umrah Indonesia membayar sejumlah uang tertentu kepada para makelar tadi agar dikawal dan bisa mendekati, mencium, dan berdoa di tempat keramat itu) atau menjadi “sindikat prostitusi” terselubung para pelarian TKW. “Pelanggan utama” mereka adalah para sopir taksi atau buruh migran dari India, Bangladesh dan Sri Lanka.
Meskipun Pemerintah Saudi telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah “migran ilegal” (misalnya dengan deportasi) tetapi angka “penumpang gelap” ini masih tinggi. Sepanjang ka'bah masih ada, kaum “migran gelap” ini tidak pernah tiada. Semua problem sosial ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengambinghitamkan sana-sini.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala General Studies Scientific Research, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Berupah Minim: Nasib Buruh Anak di Asia
Mereka bekerja di bidang pertanian, pertambangan, pabrik atau bidang pelayanan. Menurut perkiraan Organisasi Buruh Internasional (ILO), di seluruh dunia sekitar 168 juta anak terjerumus jadi pekerja berupah minim.
Foto: AFP/Getty Images
Peringatan Tiap Tahun
Tiap tanggal 12 Juni, PBB memperingatkan nasib pekerja anak-anak di seluruh dunia yang diperkirakan 168 juta. Tahun 1999 negara anggota Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyepakati konvensi menentang bentuk terburuk pekerjaan anak-anak. Kesepakatan itu ditujukan bagi anak-anak di bawah 18 tahun dan antara lain melarang perbudakan serta prostitusi.
Foto: imago/Michael Westermann
Handuk "Made in India"
Pekerja anak-anak di Tamil Nadu, India Selatan. Di pabrik ini misalnya diproduksi handuk. Anak ini hanya satu dari jutaan lainnya. ILO memperkirakan, di Asia jumlahnya hampir 78 juta. Dengan kata lain, hampir 10% anak-anak antara lima dan 17 tahun dipaksa bekerja.
Foto: imago/imagebroker
Bekerja, bukan Bersekolah
Mereka tidak bisa membaca serta menulis, dan mereka harus membuat batu bata. Akibat kemiskinan, banyak anak India harus ikut mencari nafkah bagi keluarga. Anak-anak bekerja sepuluh jam per hari, dan upah harian hanya sekitar 10.000 Rupiah.
Foto: imago/Eastnews
Tenaga Kerja Murah
Menurut data sensus terakhir di India, sekitar 12,6 juta anak menjadi pekerja. Mereka menjajakan dagangan di jalanan, menjahit, memasak juga membersihkan restoran, memetik kapas di ladang atau membuat batu bata. Semua itu hanya untuk upah sedikit. Upah pekerja anak-anak hanya sepertiga dari yang diperoleh pekerja dewasa untuk pekerjaan sama.
Foto: imago/imagebroker
Kondisi Sesuai Harkat Sebagai Manusia
Setengah dari seluruh pekerja anak-anak melakukan pekerjaan yang dianggap berbahaya. Demikian laporan ILO tahun 2013. Mereka mencari nafkah di tambang batu atau perkebunan komersial. Mereka juga bekerja di malam hari, bekerja terlalu lama dan sebagian diperlakukan seperti budak. Di samping itu semua, tidak ada kontrak kerja dan jaminan sosial.
Foto: AFP/Getty Images
"Made in Bangladesh"
Di Bangladesh pekerja anak-anak juga ada di mana-mana. Menurut keterangan Badan PBB urusan Anak-Anak (UNICEF), di negara itu sekitar lima juta anak harus ikut mencari nafkah dan bekerja dalam kondisi seperti budak. Misalnya di industri tekstil, sektor ekspor terbesar negara itu. Hasil kerja mereka dibeli konsumen di negara industri kaya.
Foto: imago/Michael Westermann
Sendirian di Kota Metropolitan
Di Kamboja, hanya sekitar 60% anak-anak bersekolah. Lainnya sudah ikut mencari nafkah bersama orang tuanya. Ribuan lainnya mencari uang sendirian di jalan-jalan, misalnya di ibukota Phnom Penh.
Foto: picture-alliance/dpa
Daftar Panjang
Memang jumlah pekerja anak-anak di seluruh dunia berkurang sejak tahun 2000. Pekerja anak perempuan berkurang 40%, dan anak laki-laki 25%. Tetapi pekerja anak-anak masih bisa dijumpai di banyak negara Asia. Di samping India, Bangladesh dan Kamboja, juga di Afghanistan (foto), Nepal dan Myanmar.