1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikTimur Tengah

Jalan Panjang Menuju Damai Antara UAE dan Israel 

19 Agustus 2020

Normalisasi hubungan Israel dan Uni Emirat Arab adalah hasil pembicaraan rahasia dan pertautan gelap yang dijalin selama lebih dari satu dekade terakhir. Pada akhirnya permusuhan terhadap Iran menyatukan kedua negara. 

Bildkombi Fahne von Israel und Fahne der Vereinigten Arabischen Emirate

Presiden AS Donald Trump menyebutnya sebagai “perjanjian Ibrahim,” begitu pula kesepakatan damai Israel dan Uni Emirat Arab dinamakan. UAE kini menjadi negara Arab ketiga yang telah berjabat tangan dengan negeri Yahudi itu, selain Mesir dan Yordania. 

Atas restu Arab Saudi dan Amerika Serikat, pembahasan damai antara kedua negara dipercepat sekitar 17 bulan lalu, di sebuah konferensi Timur Tengah yang digelar Amerika Serikat di Warsawa, Polandia. 

Pertemuan di bulan Februari itu sejak awal dikritik sebagai perkumpulan anti-Iran. Kebanyakan negara hanya mengirimkan diplomat di bawah level menteri, sementara Rusia, Cina dan Palestina batal hadir. Hanya negara Arab sekutu AS yang mengirimkan pejabat setingkat menteri. Sebaliknya Israel diwakili Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. 

Pertemuan didominasi agenda Arab Saudi, Bahrain dan UAE yang menempatkan Iran sebagai ancaman keamanan. Satuan-satuan proksi bentukan Garda Revolusi yang aktif beroperasi di Suriah, Irak, Lebanon dan Yaman disepakati sebagai prioritas utama, di atas konflik Israel dan Palestina. 

Netanyahu dikabarkan ikut tampil berbicara menggemakan kekhawatiran ketiga negara Teluk.  

Video pertemuan itu bocor ke media belum lama ini. Seorang pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri AS yang ikut menghadiri KTT di Warsawa membenarkan keasliannya, lapor Associated Press. 

Antara Washington, Tel Aviv dan Abu Dhabi 

“Iran berada di puncak agenda pertemuan di Warsawa, karena kebijakan luar negeri Iran adalah motor utama ketidakstabilian situasi di Timur Tengah saat ini,” kata Brian Hook, Utusan Khusus AS untuk Iran. 

Empat bulan setelah KTT Warsawa, UEA dan Israel mulai bertemu secara rahasia. Pertemuan pertama digelar pada 17 Juni 2019 di Washington, AS.  

Di fase awal perundingan, ketiga negara lebih banyak menitikberatkan pada kerjasama keamanan siber dan kelautan, serta menyepakati koordinasi di jajaran diplomat untuk membidik aliran dana terorisme, menurut seorang pejabat AS yang tidak bewenang berbicara kepada media. 

Peta jalan damai yang diusulkan Presiden AS Donald Trump menyerahkan sebagian wilayah Tepi Barat Yordan kepada Israel.

Pertemuan-pertemuan rahasia berulang di Israel, Abu Dhabi dan AS, selama beberapa bulan hingga akhirnya kedua negara sepakat membuka kantor diplomasi, dan Israel berjanji menghentikan rencana aneksasi Tepi Barat Yordan dari Palestina

Kebijakan pemerintah UAE banyak mendapat kritik dari negara-negara mayoritas muslim. Namun di dalam negeri, suara-suara kritis tidak terdengar, antara lain berkat sikap antipati pemerintah terhadap kebebasan berpendapat. 

Israel Sebagai Penjamin Keamanan  

Langkah UAE diyakini membuka jalan bagi negara-negara Arab lain untuk menyusul, seperti Sudan, Oman, Bahrain atau Maroko. 

Oleh sejumlah pihak, keputusan Syeikh Khalifa bin Zayed merupakan pengkhianatan terhadap konsensus negara-negara Arab, bahwa perdamaian dengan Israel hanya bisa dicapai jika perundingan menghasilkan pendirian negara Palestina. 

“Saya kira UAE adalah negara yang paling sedikit terbebani oleh formula solidaritas kuno ini,” kata Kristin Smith Diwan, seorang peneliti di Arab Gulf States Institute di Washington, AS. Menurutnya posisi tersebut “memberikan mereka keluwesan strategis.” 

“Bahwa langkah ini tidak populer di kalangan masyarakat Teluk dan Arab, itu sudah tidak dipertanyakan lagi,” kata dia sembari menambahkan, perjanjian damai itu membuat UAE ikut menanggung beban politik dari kebijakan Israel di masa depan. 

Bagi UAE, perjanjian dengan Israel membuka peluang melobi kekuatan politik di AS, terutama menjelang Pemilihan Umum Kepresidenan, November mendatang. UAE dan Arab Saudi sempat dikenakan embargo senjata oleh Kongres yang dikuasai Partai Demokrat, lantaran bencana kemanusiaan akibat Perang Yaman. Trump lalu menggunakan hak vetonya buat membatalkan keputusan tersebut. 

Pakar meyakini, ketidakpastian dalam kebijalan luar negeri pemerintahan Trump membuat gelisah sekutu di Timur Tengah. 

“Kepentingan utama mereka adalah melibatkan Amerika Serikat di Timur Tengah sebagai sekutu utama. Jika mereka tidak bisa, seperti yang terbukti di bawah Trump, maka mereka akan mencari pilihan terbaik kedua, yakni Israel,” kata Kenneth Pollack, bekas analis CIA yang kini bekerja untuk lembaga pemikir, American Enterprise Institute. 

Laporan ini dibuat secara ekslusif oleh Aya Batrawy (@ayaelb) untuk kantor berita Associated Press dan disadur sesuai konteks. 

rzn/vlz (ap)  
 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait