Apakah calon independen konsisten mengkritisi kegagalan parpol melakukan proses kaderisasi kepemimpinan? Terbebaskah ia dari belenggu para pemilik modal dan oligarkinya sendiri? Sukma Widyanti mencermati pilgub DKI.
Iklan
Pemilihan kepala daerah di era desentralisasi di Indonesia memungkinkan warga berpartisipasi aktif untuk mencalonkan serta memilih secara langsung kandidat yang maju melalui jalur di luar partai politik, yaitu jalur perseorangan atau yang sering disebut sebagai jalur independen.
Awal proses pencalonan kandidat Gubernur Jakarta 2017 ini diwarnai dengan adanya calon perseorangan seperti halnya yang terjadi di tahun 2012 ---yang sesungguhnya bukan hal yang baru. Namun, proses pilkada kali ini menjadi menarik akibat gencarnya perdebatan mengenai keberadaan calon perseorangan yang dianggap sebagai upaya deparpolisasi, sebuah usaha untuk mengecilkan fungsi partai politik dalam kehidupan demokrasi.
Tapi, pertanyaan berikutnya adalah, apakah benar keberadaan calon perseorangan kali ini dalam kontestasi demokrasi untuk memilih Gubernur di DKI Jakarta merupakan perwujudan semangat gerakan masyarakat sipil untuk mengoreksi keseluruhan sistem demokrasi di Indonesia?
Apakah sang calon konsisten mengkritisi kegagalan partai politik saat ini untuk melakukan upaya dan proses kaderisasi kepemimpinan untuk mencalonkan kadernya menjadi kepala daerah yang mumpuni, serta konsisten terbebas dari belenggu para pemilik modal dan oligarkinya sendiri? Ini yang menurut penulis, tema yang seharusnya menjadi subyek diskusi dan pertanyaan yang bisa dijawab bersama-sama.
Mengandalkan relawan
Beberapa paradoks bisa kita lihat dalam realitas politik yang telah terjadi. Persiapan pencalonan melalui jalur perseorangan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan dimotori oleh kumpulan relawan yang menamakan diri sebagai #TemanAhok, pada kenyataannya komunitas ini diinisiasi oleh konsultan politik Ahok, yaitu Cyrus Network yang dipimpin oleh Hasan Nasbi.
Kalijodo: Runtuhnya Sebuah Mitos
Kalijodo adalah sebuah mitos. Lama tidak tersentuh penertiban pemerintah kota, kawasan maksiat yang tumbuh pada dekade 70-an itu akhirnya tumbang di tangan Ahok. Orang kuat di lokalisasi juga ditahan di penjara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Buldoser Ratakan Kalijodo
Buldoser meratakan lokasi maksiat ilegal Kalijodo yang dulu dimitoskan tak bisa disentuh aparat penertiban kota. Aparat keamanan terdiri dari satuan polisi, TNI dan satuan polisi pamong praja menjaga dan mengamankan lokasi. Kalijodo kini rata dengan tanah dan lahan di bantaran sungai itu akan dibangun jadi jalur hijau.
Foto: Reuters/G. Lotulung
Kawasan Maksiat
Semua orang tahu Kalijodo adalah kawasan maksiat, tapi banyak yang memilih tutup mata. Prostitusi marak di sini. Dan tentu saja dampak ikutannya seperti perjudian, perdagangan miras, bisnis narkoba, premanisasi dan tindak kejahatan lainnya. Di masa keemasannya omset kawasan maksiat ini bisa mencapai milyaran Rupiah semalam.
Foto: Imago
Ada Orang Kuat?
Penertiban Kalijodo sering disebut-sebut terhambat orang kuat. Bahkan perwira polisi setempatpun dulu sempat ditodong pistol. Tapi gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak gentar dan melakukan gerak cepat penutupan Kalijodo. Daeng Aziz orang kuat itu kini ditahan dengan tuduhan pencurian listrik. Polisi dan TNI kini tak ragu mendobrak toko dan kios.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Ikut Mengais Rezeki
Dimana ada keramaian bisnis tumbuh. Pedagang kaki lima atau jasa parkir adalah beberapa sektor informal yang ikut menikmati gemerlap dan guyuran uang di Kalijodo. Kini mereka tergusur dan harus mencari lokasi lain untuk mencari nafkah.
Foto: Imago
Selamatkan Barang
Para pemilik bar dan warung remang-remang setelah menerima SP berusaha menyelamatkan barang miliknya. Warga Kalijodo yang ber KTP DKI mendapat penampungan di rumah susun yang disiapkan pemerintah. Warga pendatang terpaksa pulang kampung. Pro-kontra penertiban lokasi maksiat ini tunjukan pluralisme di negeri dengan mayoritas penduduk Muslim.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Buka Lembaran Baru
Bekas penjaja seks komersial-PSK juga mendapat pelatihan profesi baru, antara lain jadi penata rambut atau penjahit pakaian. Buka lembaran baru memang sulit, jika terbiasa menerima uang panas yang berlimpah dengan mudah. Program resosialisasi tetap harus dijalankan untuk mencegah tudingan penertiban tak manusiawi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Program Eradikasi Prostitusi
Langkah Ahok patut diacungi jempol. Kini pemerintah diwakili menteri sosial mencanangkan program membasmi semua jenis dan lokasi prostitusi hingga 2019. Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim resmi melarang prostitusi, namun seperti di Jakarta di berbagai kota besar lain, pelacuran tetap marak.
Foto: Reuters/Antara Foto/W. Putro
7 foto1 | 7
Terbukti setelah kegagalannya sebagai “kader partai Golkar” untuk mendapatkan dukungan partai Golkar dan dilanjutkan dengan kegagalannya mengumpulkan dukungan warga di tahun 2012 lalu, kini sebagai petahana dengan seluruh sumberdaya yang melekat, dukungan sebagai calon perseorangan terlihat lebih cepat terkumpul.
Mencoreng reputasi partai
Langkah pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI melalui jalur perseorangan ini diperkuat oleh dukungan partai politik yaitu Nasdem dan Partai Hanura, di mana hal ini ---disadari atau tidak-- justru bisa dianggap mencoreng reputasi kedua partai politik tersebut karena telah gagal memajukan kader(partai)nya sendiri dan justru memperkuat upaya apa yang selama ini dianggap sebagai gerakan deparpolisasi.
Paradoks lainnya adalah terkait keterlibatan pemilik modal alias cukong yang diakui sendiri oleh #TemanAhok sebagai penyandang dana bagi pergerakan politik Ahok serta seluruh biaya pengumpulan dukungan KTP dan penyewaan booth di berbagai lokasi strategis. Pihaknya juga telah mengakui bahwa sekretariat #TemanAhok di Kompleks Graha Pejaten merupakan aset Pemprov DKI Jakarta di bawah pengelolaan PT. Sarana Jaya.
Belum lagi dukungan proyek pembangunan gedung parkir Polda Metro Jaya oleh Podomoro Group, yang diduga sebagai bagian timbal balik dari pemberian konsesi proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Dengan situasi di atas, dikhawatirkan bahwa semangat untuk bebas dari sandera kepentingan modal, serta semangat bebas dari tindak korupsi (gratifikasi) menjadi tergerus dan layak dipertanyakan.
10 Kota Termacet di Dunia
Hampir semua penduduk Jakarta pernah terjebak di tengah kemacetan. Fenomena tersebut terbukti menempatkan ibukota Indonesia di urutan teratas dalam daftar kota termacet di dunia versi Castrol. Berikut daftarnya:
Foto: Getty Images/K. Desouki
1. Jakarta, Indonesia
Ibukota Indonesia ini dinobatkan sebagai kota termacet di dunia. Rata-rata setiap tahunnya pengemudi kendaraan di Jakarta mengalami 33,240 start-stop alias kemacetan. Catatan ini tidak mengherankan mengingat pembangunan infrastruktur tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi kendaraan yang saat ini menurut Polda Metro mencapai 21 juta di Jakarta.
Foto: DW
2. Istanbul, Turki
Ibukota Turki kebanjiran 30.000 mobil baru setiap bulan. Menurut data statistik, satu dari lima orang di Istanbul memiliki kendaraan bermotor. Tidak heran kota metropolitan di antara dua benua ini menduduki peringkat kedua dalam daftar kota termacet di dunia. Selama setahun setiap pengemudi di Istanbul harus berhenti sebanyak 32,520 kali karena kemacetan.
Foto: AFP/Getty Images/O. Kose
3. Mexico City, Meksiko
Sebanyak empat juta kendaraan bermotor lalu lalang di kota Mexico City setiap harinya. Tidak heran jika kota ini juga dianggap sebagai salah satu kota dengan polusi udara terburuk di dunia. Dalam Castrol Index, pengemudi di Mexico City mengalami 30,840 stop dan start setiap tahun.
Foto: Christoph Kober
4. Surabaya, Indonesia
Surabaya mencatat 4,5 juta kendaraan dengan penambahan sekitar 17.000 kendaraan baru setiap bulannya. Penyebab kemacetan terbesar di ibukota provinsi Jawa Timur ini adalah motor yang jumlahnya mencapai 3,6 juta unit. Jika melihat pertumbuhan jumlah populasi kendaraan yang mencapai 209.000 unit per tahun, dalam lima tahun ke depan situasi lalulintas Surabaya akan memasuki wilayah kritis.
Foto: CC BY-NC 2.0/Ikhlasul Amal
5. St. Petersburg, Rusia
St. Petersburg sejatinya memiliki sistem transportasi publik yang sangat memadai. Sekitar 2,5 juta penumpang tercatat menggunakan layanan kereta bawah tanah, Metro, setiap harinya. Dengan jumlah penduduk yang berkisar lima juta, angka tersebut sebenarnya sudah sangat baik. Tapi tingginya angka lalulintas pegawai yang tinggal di luar kota membuat padat jalan-jalan di St. Petersburg
Foto: picture alliance/Michael Schwan
6. Moskow, Rusia
Kecepatan rata-rata kendaraan di Moskow tercatat maksimal 3 kilometer/jam. Serupa dengan Jakarta, ibukota Rusia ini kewalahan menghadapi ledakan pembelian kendaraan yang melonjak dalam satu dekade terakhir. Kendati memiliki sistem transportasi yang memadai, Moskow tertinggal dalam urusan pembangunan infrastruktur. Menurut pemerintah kota, ruas jalan yang ada cuma mampu menampung 30% kendaraan.
Foto: picture-alliance/dpa
7. Roma, Italia
Sejak bertahun-tahun kota Roma di Italia mencoba mengatasi masalah lalulintas berupa minimnya jumlah transportasi publik dan rasio kendaraan bermotor per kapita yang tertinggi kedua di Italia. Negeri di selatan Eropa itu sendiri tercatat sebagai negara dengan tingkat kepadatan kendaraan tertinggi di dunia. Terdapat nyaris 600 kendaraan bermotor untuk setiap 1000 penduduk Italia.
Foto: Getty Images
8. Bangkok, Thailand
Kebijakan bekas PM Takhsin Shinawatra yang memangkas pajak buat pembeli kendaraan baru turut menambah runyamnya kondisi lalulintas di Bangkok. Sejauh ini kota berpenduduk sekitar 14 juta jiwa itu memiliki hampir delapan juta kendaraan. Castrol Index mengklaim setiap pengemudi di Bangkok menghabiskan 36 persen dari waktu perjalanan terjebak di tengah kemacetan.
Foto: AFP/Getty Images/S. Khan
9. Guadalajara, Meksiko
Menurut Castrol Index, pengemudi di Guadalajara mengalami 24,840 start-stops per tahun. Artinya lebih dari 30% waktu perjalanan dihabiskan di tengah kemacetan. Guadalajara mencatat rasio kepemilikan kendaraan terbesar di Meksiko. Tercatat satu dari empat orang di kota ini memiliki mobil atau motor.
Foto: imago/Xinhua
10. Buenos Aires, Argentina
Dari tiga juta penduduk Buenos Aires, tercatat dua juta kendaraan yang berlalu lalang di jantung kota setiap harinya. Castrol Index mengklaim setiap pengemudi di ibukota Argentina ini mengalami 23,760 start-stops setiap tahunnya.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Modal awal yang diberikan oleh Hasan Nasbi sebesar 500 juta rupiah, menarik untuk dijadikan pendukung argumen bahwa komunitas #TemanAhok bukanlah sebuah komunitas organik yang berisikan orang-orang biasa, namun memang sebuah skenario gerakan politik yang disusun oleh konsultan Ahok.
Jika kita bandingkan dengan tahun 2012, kehadiran calon perseorangan telah membuktikan kekuatannya dalam mempengaruhi stuktur di dalam arena kontestasi politik elektoral, mempengaruhi pakem regulasi dan penguasaan sumberdaya. Sebagai calon masyarakat sipil, Faisal Basri - Biem Benjamin mampu memperoleh suara melebihi kandidat dari partai politik (Alex-Nono) sehingga mampu mengoreksi teori oligarki.
Pada tatanan tertentu kekuatan integritas agen melalui praktik-praktik sosialnya, menggantungkan pembiayaan politik dari uang pribadi kandidat dan dukungan publik secara luas dalam bentuk crowd funding, telah mampu sedikit banyaknya menjadi lawan dan antitesis dari kekuatan politik uang.
Apa program yang ditawarkan?
Hal lain yang juga perlu dikritisi adalah terkait program bagi warga. Di antara bakal calon Gubernur Jakarta 2017, baik dari partai politik maupun perseorangan, belum ada yang secara serius menawarkan program kerja jika terpilih sebagai Gubernur. Mereka masih saja berkutat pada isu dan tema non substantif seperti SARA dan tidak memperhatikan masalah sosial kekinian dan mendesak yang sedang terjadi dan dialami oleh warga DKI Jakarta. Padahal setidaknya ada beberapa masalah utama warga yang tak kunjung terselesaikan, yang ironisnya justru menjadi janji politik pada saat pasangan Jokowi-Ahok melakukan kampanye pada Pilgub DKI 2012. Seperti terkait dengan sistem dan pengelolaan transportasi publik yang pada prinsipnya berimbas pada proses mengurai kemacetan.
Lalu persoalan banjir, kepastian ketersediaan lapangan pekerjaan, peluang usaha kecil dan menengah, permukiman dan generasi muda. Belum ada satu bakal calonpun yang serius membicarakan tentang tawaran-tawaran program, ide-ide orisinal dan usulan solusi untuk menangani persoalan mendesak yang dihadapi oleh DKI Jakarta dan warganya.
Memilih yang terbaik
Secara ideal, pada setiap kontestasi politik elektoral, warga sebagai pemilih hendaknya diarahkan untuk mendukung para calon gubernur atas berdasarkan pilihan rasional, yang dapat memberikan manfaat lebih besar bagi kehidupan mereka. Karena dengan hanya mengandalkan opini tentang pejuang anti korupsi, bukan menjadi jaminan kepemimpinan yang baik dan bijak, apalagi jika di sisi lain, orang yang sama juga kerap melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kepada mereka yang dianggap sebagai warga miskin, melakukan kebijakan yang berorientasi keuntungan semata dengan tidak sama sekali mempertimbangkan kekuatan, daya tahan dan daya dukung lingkungan, justru merusaknya hingga bisa berpengaruh pada kehidupan generasi mendatang.
Warga juga harus bisa diberikan pandangan dan pendidikan politik, bahwa memilih seorang pemimpin bukan semata karena faktor like and dislike --- apalagi mengangkat isu SARA sebagai kelebihan sekaligus kekurangan kandidat---, tapi lebih pada tawaran-tawaran rasional yang memang bisa mempengaruhi kualitas hidup mereka dan anak cucunya menjadi lebih baik.
Maka, saat ini yang terpenting bukanlah pada opini yang diiklankan di mana-mana, khususnya di media sosial oleh para pendukung calon gubernur yang cukup militan, apakah calon itu berangkat dari jalur perseorangan atau melalui rekomendasi partai politik, melainkan tawaran program, rekam jejak dan ide-ide orisinal untuk menyelesaikan persoalan yang menggurita di DKI Jakarta. Hingga nanti saat pencalonan resmi para bakal calon ke KPUD Jakarta, nampaknya akan masih ada perubahan yang mungkin terjadi.
Bisa jadi pada akhirnya Ahok justru akan kembali dicalonkan oleh partai politik, karena mepetnya waktu yang dimiliki untuk melakukan pengumpulan dukungan ulang. Dan jika hal itu terjadi, maka dapat dipastikan bahwa partai politik akan mengambil peranan yang lebih besar dalam proses gerakan politik pemenangan Ahok dan akan mengambil sebagian besar sumberdaya (baik struktur, infrastruktur dan anggaran) yang dimiliki dan didapatkan oleh Ahok. Semoga warga pendukungnya tidak justru ditinggalkan dan kehilangan sumberdaya gerakan politik, sebagai relawan militan.
Penulis:
Sukma Widyanti, pengajar jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik, Universitas Indonesia. Sukma juga merupakan aktivis Pergerakan Indonesia.
@sukma_oema
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Senja di Bantar Gebang
Pemulung biasanya tidak mengenal kata pensiun. Jikapun ada, mereka tidak berhenti melainkan mewariskan pekerjaannya kepada anak-anaknya. Sebagian lain terpaksa mengais melewatii usia senja lantaran kondisi keuangan
Foto: DW
Minim Pengakuan
Muhaemin, 67, sudah mengais sampah di Bantar Gebang sejak 35 tahun. Ketika penglihatannya memburuk, ia memutuskan berhenti bekerja. Muhaemin dan isterinya tidak menerima uang kompensasi dari pemerintah kota. Keduanya dipersulit ketika hendak mengurus KTP lokal. Sebab itu ia masih membawa KTP dari Indramayu, kampung yang sudah ditinggalkannya sejak tiga dekade lalu.
Foto: DW/R. Nugraha
Pemberhentian Terakhir
Lebih dari 6000 ton sampah yang diangkut oleh 600 truk mendarat di Bantar Gebang setiap hari. Menjadikan tempat pembuangan akhir di Bekasi itu terbesar se Indonesia. 5000 pemulung mengais nafkah dan hidup dari sampah buangan penduduk. Kendati tidak diakui pemerintah lokal, keberadaan mereka tidak diusik.
Foto: DW
Turun Temurun
Muhaemin hidup di sebuah gubug berdinding rotan yang ditopang kayu bambu. Putra-puterinya hidup di gubug serupa berdampingan. Pria tua itu tergolong beruntung karena tidak lagi harus mengais sampah. Muhaemin mewariskan pekerjaannya itu kepada sang anak.
Foto: DW
Sepanjang Hari
Dayini, 57, menyortir sampah plastik buat dijual kepada penadah. Ia dan sang suami menempati sepetak tanah di atas tumpukan sampah untuk melakukan pekerjaan harian. Setiap hari keduanya mampu menjual lima keranjang sampah plastik yang bernilai kira-kira Rp. 30.000
Foto: DW
Ala Kadarnya
Pemulung biasanya mengenakan sepatu karet agar tidak terpapar zat-zat beracun selama bekerja di timbunan sampah. Tapi sebagian lain memilih cara yang lebih sederhana. Dayini misalnya memakai sepatu yang ia temukan di sampah. Penyakit bukan kekhawatiran terbesarnya. Ia sendiri bangga belum pernah sakit parah selama mengais di Bantar Gebang
Foto: DW
Ketergantungan
Rasja, 68, suami Dayini. Ia mendapatkan uang tambahan dengan menjahit karung buat dipakai para pemulung. Ia pernah bersumpah tidak akan meminjam uang dari penadah. Tapi kelahiran cucu pertama memaksanya berubah pikiran. Fenomena semacam ini menjamur di Bantar Gebang. Para penadah menjerat pemulung ke dalam ketergantungan melalui pinjaman berbunga tinggi.
Foto: DW
Kemiskinan
Rasja dan Dayini hidup beberapa ratus meter dari timbunan sampah, tanpa air bersih dan sanitasi yang memadai. Perlengkapan dapur yang mereka gunakan kebanyakan berasal dari sampah. Gambaran serupa sering ditemui di rumah-rumah pemulung di Bantar Gebang
Foto: DW
Kehidupan yang Lebih Baik
Rasja dan Dayini berharap nasib yang lebih baik jika sudah tidak lagi memulung. Keduanya berniat pulang ke kampung halamannya di Indramayu untuk menikmati sisa usia.