Jaminan Mantan Polisi Derek Chauvin Ditetapkan US$ 1,25 Juta
9 Juni 2020
Mantan polisi Minneapolis Derek Chauvin muncul di pengadilan Minnesota, sejak didakwa dengan pembunuhan tingkat dua terhadap George Floyd. Sementara, ratusan orang berkumpul melihat jenazah Floyd sebelum pemakamannya.
Iklan
Mantan polisi Minneapolis, Derek Chauvin, muncul di pengadilan untuk pertama kalinya pada Senin (08/06), untuk menjalani sidang dakwaan pembunuhan tingkat dua terhadap seorang pria kulit hitam tak bersenjata, George Floyd.
Chauvin, yang telah dipecat dari kepolisian, muncul melalui video dari penjara negara bagian Minnesota. Dia juga didakwa dengan satu dakwaan pembunuhan tingkat tiga dan satu dakwaan pembunuhan tingkat dua.
Sidang di Pengadilan Distrik Hennepin, yang dipimpin oleh Hakim Jeannice Reding menetapkan uang jaminan mantan polisi kulit putih tersebut sebesar US$ 1 juta (Rp 13,8 miliar) dengan syarat, dan US$ 1,25 juta (Rp 17,2 miliar) tanpa syarat.
Chauvin diharuskan menyerahkan senjata api, tidak lagi bekerja di bidang keamanan atau kapasitas penegakan hukum apa pun, setuju untuk tidak meninggalkan negara dan tidak berkontak dengan keluarga Floyd.
Jaksa penuntut Matthew Frank meminta jaminan tinggi, menyebut Chauvin berisiko kabur karena beratnya tuduhan dan reaksi publik yang keras terhadap kasus ini.
Rekaman video menunjukkan Chauvin berlutut di leher Floyd selama hampir sembilan menit, sementara Floyd memohon, "Aku tidak bisa bernapas." Pembunuhan Floyd memicu protes di seluruh dunia terhadap rasisme dan kebrutalan polisi.
Sementara tiga petugas polisi lainnya yang bersama Chauvin ketika Floyd ditangkap telah didakwa membantu dan bersekongkol dalam pembunuhan tingkat dua. Keempatnya dipecat sehari setelah pembunuhan Floyd.
Hakim Reding menetapkan sidang selanjutnya dijadwalkan pada 29 Juni.
Ratusan orang melihat jenazah Floyd
Sementara ratusan orang berkumpul untuk melihat jenazah Floyd, yang ditempatkan di peti mati terbuka di Houston, Texas, pada Senin (08/06). Rencananya jenazah Floyd akan dimakamkan pada Selasa (09/06).
Beberapa pelayat mengatakan mereka menyetir berjam-jam dari tempat yang jauh untuk melihat jenazah Floyd. Calon presiden AS dari Partai Demokrat Joe Biden pun mengatakan ia telah mengunjungi keluarga Floyd.
Sebelum jenazah tiba, para pekerja di luar gereja menyiapkan karangan bunga besar dengan tulisan "BLM" atau Black Lives Matter.
Protes menentang rasisme, kebrutalan polisi dan keadilan untuk George Floyd membuat anggota parlemen AS mengusulkan undang-undang reformasi kepolisian. Meskipun banyak keraguan tentang peluang agar usulan UU tersebut bisa lolos di Senat dan presiden.
pkp/rap (AFP, AP, Reuters)
Demonstran Muda Black Lives Matter Katakan: "Cukup Sudah"
Protes terhadap kekerasan polisi terus berlanjut setelah kematian George Floyd di Washington, DC. Banyak anak muda ikut berunjuk rasa dan menuntut keadilan pemerintah.
Foto: DW/C. Bleiker
Nathan (16), Sammy (17), Matthew (15), Noel (18)
Untuk pertama kalinya, para siswa menjadi "bagian dari gerakan besar" seperti yang dijelaskan oleh Noel. "Sebelumnya kami masih terlalu muda. Namun, sekarang kami sudah mengerti apa yang terjadi, kami di sini melakukan apa yang kami bisa untuk komunitas kami." Sammy berkata, "Kami ingin menjadikan Amerika tempat yang lebih baik bagi orang kulit hitam."
Foto: DW/C. Bleiker
Celeste, 21
"Nyawa Orang Kulit Hitam Penting" - Black Lives Matter, panggil siswa itu. "Namun, di sini tidak berlaku". Celeste ingin petugas kepolisian dikendalikan lebih ketat: "Polisi polisi", seperti yang tertulis di posternya. "Para demonstran diperlakukan dengan sangat buruk, itu adalah salah satu kekerasan yang dilakukan polisi", ungkap Celeste.
Foto: DW/C. Bleiker
Deborah, 18
"Saya ingin keadilan bagi George Floyd, Breonna Taylor dan untuk semua orang yang dibunuh oleh polisi setiap hari. Tidak ada konsekuensi, tidak ada yang terjadi", kata Deborah. Bisakah ia dan pengunjuk rasa lainnya membawa perubahan? "Harus! Kita tidak punya pilihan."
Foto: DW/C. Bleiker.
Addie (23), Mary (24)
"Kami berkomitmen agar hak asasi manusia dapat diterapkan di seluruh dunia, tetapi kami tidak dapat melakukan itu jika banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di negara kami sendiri", kata Addie, yang bekerja untuk Think Tank. "Bersikap netral tidaklah cukup", tambah Mary, seorang anak magang di lembaga hukum. "Diam adalah pengkhianatan".
Foto: DW/C. Bleiker
Westen, 12
"Saya di sini untuk mewakili George Floyd, negara saya dan budaya saya" kata siswa yang berdemonstrasi dengan ayahnya. Apa yang terjadi pada Floyd "sangat menyedihkan".
Foto: DW/C. Bleiker
Mya, 21
"Bentuk penindasan ini, pembunuhan orang kulit hitam, telah ada di masyarakat kita selama lebih dari 400 tahun", ungkap Mya. "Sudah cukup. Kami lelah. Tapi kami juga sudah lelah saat Trayvon Martin dan Eric Garner mati. Sekarang saya akhirnya berada pada usia di mana saya bisa terlibat. Saya harus memastikan bahwa pilihan saya ini penting", tambah Mya.
Foto: DW/C. Bleiker
Kayla, 21
"Sejarah berulang dengan sendirinya dan ini saatnya untuk adanya perubahan", kata Kayla. "Kami punya hak untuk akhirnya didengar, kami sudah menunggu cukup lama. Militer seharusnya tidak berada di sini - pemerintah seharusnya membuat kita merasa lebih aman. Namun sebaliknya, kami harus melakukannya sendiri", jelas Kayla.
Foto: DW/C. Bleiker
Bryan, 25
"Saya sudah cukup melihat orang-orang di komunitas saya mati. Itu membuat saya mual", ungkap Bryan, yang juga bekerja di DPR, sambil menangis. "Hal pertama yang harus dilakukan adalah tidak memilih Trump lagi. Tidak ada alasan bagi seorang presiden untuk mendorong kekerasan dan pembunuhan warganya sendiri", tambah Bryan. (fs/ml)