Janji Triliunan Rupiah untuk Afrika Mengatasi Krisis Iklim
Roshni Majumdar (Mizoram)
6 September 2022
Afrika menghasilkan kurang dari 3% emisi gas rumah kaca dunia, tetapi para ahli mengatakan wilayah itu sangat rentan terhadap perubahan iklim. Negara-negara kaya berjanji akan membantu Afrika mengatasi guncangan iklim.
Iklan
Negara-negara kaya mengatakan mereka akan mengucurkan sekitar $25 miliar (Rp371,9 triliun) pada tahun 2025 untuk membantu Afrika beradaptasi dengan perubahan iklim, demikian pernyataan yang disampaikan dalam pertemuan puncak iklim di Rotterdam, Belanda, Senin (05/09).
KTT tersebut adalah acara pertama yang mempertemukan para pemimpin dari berbagai pemerintah dan lembaga, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Moneter Internasional (IMF), untuk membahas teknik adaptasi iklim untuk Afrika. Anggaran yang dijanjikan itu disebut sebagai upaya adaptasi iklim terbesar yang pernah ada secara global.
Akinwumi A. Adesina, Presiden Bank Pembangunan Afrika, mengatakan kepada DW bahwa Afrika tidak hanya terpengaruh oleh perubahan iklim, tetapi juga "tertekan" olehnya.
KTT ini menjadi penting karena diadakan sebelum KTT tahunan ke-27 (COP27) di Mesir, yang akan diadakan pada November mendatang.
Pada COP26 di Glasgow, para pemimpin meninjau kembali Perjanjian Iklim Paris 2015. Mereka juga membuat komitmen baru menggalang lebih banyak dana internasional untuk langkah-langkah adaptasi iklim yang cepat.
KTT Adaptasi Iklim Afrika berlangsung hanya beberapa minggu setelah Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menemukan bahwa negara-negara kaya telah gagal memenuhi janji 2009 mereka untuk mendonasikan $100 miliar per tahun pada tahun 2020 untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan pemanasan global.
OECD mengatakan negara-negara kaya memberikan $83,3 miliar kepada negara-negara miskin pada tahun 2020, jumlah tertinggi yang pernah ada, tetapi masih kurang dari jumlah yang dijanjikan.
Negara-negara Afrika menghasilkan kurang dari 3% semua emisi gas rumah kaca dunia, tetapi mereka menghadapi "banjir masalah," kata Adesina kepada DW.
Adesina menambahkan bahwa Afrika kehilangan antara "$7 miliar dan $15 miliar per tahun sebagai akibat dari perubahan iklim."
Dampak Perubahan Iklim, Dunia Mengalami Krisis Air
Meningkatnya suhu dan gelombang panas yang ekstrem telah membuat negara-negara di seluruh dunia gersang. Bencana kekeringan melanda Cina, AS, Etiopia, hingga Inggris.
Foto: CFOTO/picture alliance
Krisis kelaparan di Tanduk Afrika
Etiopia, Kenya, dan Somalia saat ini mengalami kekeringan terburuk dalam lebih dari 40 tahun. Kondisi lahan kering menyebabkan masalah ketahanan pangan yang parah di wilayah tersebut, dengan 22 juta orang terancam kelaparan. Lebih dari 1 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena bencana kekeringan, yang diperkirakan akan berlanjut selama berbulan-bulan.
Foto: Eduardo Soteras/AFP/Getty Images
Sungai Yangtze mengering
Dasar sungai terpanjang ketiga di dunia, Sungai Yangtze, tersingkap karena krisis kekeringan melanda Cina. Permukaan air yang rendah berdampak pada distribusi dan pembangkit listrik tenaga air, dengan produksi listrik dari Bendungan Tiga Ngarai turun 40%. Sebagai upaya membatasi penggunaan listrik, beberapa pusat perbelanjaan mengurangi jam buka dan pabrik melakukan penjatahan listrik.
Foto: Chinatopix/AP/picture alliance
Hujan yang jarang terjadi di Irak
Irak yang sangat rentan terhadap perubahan iklim dan isu penggurunan terus berjuang mengatasi kekeringan yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut. Sebuah situs Warisan Dunia UNESCO di selatan negara itu pun telah mengering. Bencana kekeringan berkontribusi pada kontraksi ekonomi sekitar 17% dari sektor pertaniannya selama setahun terakhir.
Foto: Ahmad Al-Rubaye/AFP
Pembatasan penggunaan air di Amerika Serikat
Pasokan air Sungai Colorado menyusut setelah curah hujan jauh di bawah rata-rata selama lebih dari dua dekade. Krisis ini diyakini sebagai yang terburuk dalam lebih dari 1.000 tahun. Sungai yang mengalir melalui barat daya Amerika Serikat dan Meksiko, memasok air bagi jutaan orang dan lahan pertanian. Sejumlah negara bagian diminta untuk mengurangi penggunaan air dari Sungai Colorado.
Foto: John Locher/AP Photo/picture alliance
47% wilayah Eropa terancam kekeringan
Eropa mengalami gelombang panas ekstrem, sedikit hujan, dan kebakaran hutan. Hampir setengah wilayah benua itu saat ini terancam kekeringan, yang menurut para ahli bisa menjadi yang terburuk dalam 500 tahun. Sungai-sungai besar termasuk Rhein, Po, dan Loire telah menyusut. Permukaan air yang rendah berdampak pada transportasi barang dan produksi energi.
Foto: Ronan Houssin/NurPhoto/picture alliance
Dilarang pakai selang di Inggris
Beberapa wilayah di Inggris berada dalam status kekeringan pada pertengahan Agustus. Krisis kekeringan parah sejak 1935 melanda negara itu di bulan Juli. Pihak berwenang mencatat suhu terpanas Inggris pada 19 Juli mencapai 40,2 derajat Celsius. Penggunaan selang air untuk menyiram kebun atau mencuci mobil tidak diperbolehkan lagi selama Agustus di seluruh negeri.
Foto: Vuk Valcic/ZUMA Wire/IMAGO
Masa lalu prasejarah Spanyol terbongkar
Spanyol sangat terdampak oleh krisis kekeringan dan gelombang panas. Kondisi tersebut telah memicu kebakaran hutan hebat yang menghanguskan lebih dari 280.000 hektar lahan dan memaksa ribuan orang mengungsi. Permukaan air yang surut di sebuah bendungan mengungkap lingkaran batu prasejarah yang dijuluki "Stonehenge Spanyol".
Foto: Manu Fernandez/AP Photo/picture alliance
Beradaptasi dengan dunia yang lebih kering
Dari Tokyo hingga Cape Town, banyak negara dan kota di dunia beradaptasi mengatasi kondisi yang semakin kering dan panas. Solusinya tak harus berteknologi tinggi. Di Senegal, para petani membuat kebun melingkar yang memungkinkan akar tumbuh ke dalam, yang bisa menampung air berharga di daerah yang jarang hujan. Di Cile dan Maroko, orang menggunakan jaring yang mampu mengubah kabut jadi air minum.
Foto: ZOHRA BENSEMRA/REUTERS
Berjuang untuk tetap terhidrasi
Setelah Cape Town, Afrika Selatan, nyaris kehabisan air pada tahun 2018, kota ini memperkenalkan sejumlah langkah untuk memerangi kekeringan. Salah satu solusinya adalah menghilangkan spesies invasif seperti pinus dan kayu putih, yang menyerap lebih banyak air dibanding tanaman asli seperti semak fynbos. Pendekatan berbasis alam telah membantu menghemat miliaran liter air. (ha/yf)
Foto: Nic Bothma/epa/dpa/picture alliance
9 foto1 | 9
Bagaimana Afrika dapat mengatasi perubahan iklim?
Adesina mengatakan kepada KTT bahwa Afrika tidak memiliki sumber daya keuangan untuk mengatasi perubahan iklim karena hanya berkontribusi "3% dari total pembiayaan iklim."
Afrika akan membutuhkan antara $1,3 dan $1,6 triliun dekade ini untuk mengimplementasikan komitmennya pada perjanjian iklim Paris, biaya tahunan antara $140 dan $300 miliar, kata Adesina.
Dia mengaku tidak terlalu khawatir apakah Afrika dapat menyeimbangkan kebutuhan ekonominya serta berkomitmen pada teknik adaptasi iklim. Adesina menilai negara-negara Afrika memiliki cadangan gas yang besar dan bahkan mungkin dapat membantu negara-negara Eropa untuk mengamankan pasokan gas di masa depan.
Namun, terlepas dari kehadiran para pemimpin dan empat presiden Afrika di KTT itu, Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amina Jane Mohammed, mengatakan penting untuk memperhatikan mereka yang tidak hadir.
Dia mengatakan kepada DW bahwa perjuangannya adalah untuk "terus melihat [perubahan iklim] ini sebagai ancaman eksistensial bagi semua orang dan bukan hanya untuk satu sisi dunia."
Mohammed mengatakan masalah utama adalah banyaknya uang yang tersedia untuk pendanaan iklim, tetapi sangat sedikit yang disalurkan ke Afrika. "Kenyataannya adalah bahwa sumber daya yang kita butuhkan, perlu dimanfaatkan. Mereka perlu untuk tidak mengambil risiko," ujarnya.
Mohammed menambahkan bahwa teknik adaptasi iklim sangat penting untuk diterapkan. "Ini adalah implementasi COP. Ini terjadi di Afrika. Jika kita tidak dapat menunjukkan komitmen ke Afrika saat ini, maka janji-janji itu benar-benar dilanggar," katanya kepada DW.