Sebagian kelompok Islam di Indonesia sering mendengung-dengungkan tentang pentingnya membangun “solidaritas Islam”, baik dalam skala nasional maupun global. Simak opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Dalam praktiknya apa yang mereka kampanyekan sebagai "solidaritas Islam” itu nyaris tak terwujud. Solidaritas Islam yang mereka gemakan itu hanya terjadi di dunia ide, di ruang maya, di jagat mitos, dan di alam khayalan. Bukan di dunia nyata. Di alam nyata, yang terjadi bukan solidaritas Islam, melainkan justru "permusuhan Islam”. Konsep "ukhuwah Islamiyah” itu nyaris hanya jargon kosong belaka yang sama sekali tidak bunyi di tataran realitas.
Solidaritas Islam atau "ukhuwah Islamiyah” memang kadang-kadang terjadi di dunia nyata tetapi sifatnya ad hoc dan terbatas. Skalanya juga sangat lokal. Bukan sebuah solidaritas atau persaudaraan yang bersifat universal, permanen, dan inter-lokal, apalagi inter-nasional.
Selain itu, tragisnya, sejumlah kelompok umat Islam menggemakan atau mengkampanyekan "solidaritas Islam” hanya karena didorong oleh kepentingan yang sama untuk mendiskreditkan atau bahkan menjungkalkan pihak lawan sesama Muslim. Sungguh ironis.
Kenapa sulit?
Ada banyak faktor yang menyebabkan kenapa solidaritas Islam yang universal, permanen, inter-lokal, dan inter-nasional itu sulit terwujud dewasa ini. Di antara faktor itu karena umat Islam kontemporer telah terpecah-belah menjadi kepingan-kepingan kecil dalam bentuk negara, organisasi, lembaga, ideologi, mazhab, aliran, sekte, partai politik, dan seterusnya.
Semua itu telah membatasi gaya hidup, ruang gerak, ekspresi kebebasan, dan interaksi individual-sosial kaum Muslim.
Alih-alih ingin menegakkan dan memperjuangkan "solidaritas Islam”, umat Islam sendiri justru sibuk memperjuangkan dan membela negara, mazhab, ormas, lembaga, aliran, sekte, atau parpol mereka masing-masing.
Alih-alih ingin menegakkan solidaritas Islam, mereka sendiri malah sibuk berkelahi hanya karena berbeda pandangan keagamaan, pemikiran keislaman, tafsir atas teks-teks dan diskursus keislaman, organisasi kemasyarakatan, atau bahkan pilihan parpol dan paslon (pasangan calon) kepala daerah / kepala negara.
Alih-alih ingin memperjuangkan "ukhuwah Islamiyah”, mereka sendiri justru terperangkap ke dalam perjuangan memperebutkan kepentingan individu dan kelompoknya.
Alih-alih ingin menegakkan solidaritas Islam dan membangun ukhuwah Islamiyah, mereka sendiri malah sibuk saling mengafirkan, menyesatkan, menerakakan, dan memasygulkan.
Narasi Makar Hizb Tahrir
Keberadaan Hizb Tahrir sering dianggap duri dalam daging buat negara-negara demokrasi. Pasalnya organisasi bentukan Yusuf al-Nabhani itu giat merongrong ideologi sekuler demi memaksakan penerapan Syariah Islam.
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Buah Perang Arab-Israel
Adalah Yusuf al-Nabhani yang mendirikan Hizb Tahrir di Yerusalem tahun 1953 sebagai reaksi atas perang Arab-Israel 1948. Tiga tahun kemudian tokoh Islam Palestina itu mendeklarasikan Hizb Tahrir sebagai partai politik di Yordania. Namun pemerintah Amman kemudian melarang organisasi baru tersebut. Al Nabhani kemudian mengungsikan diri ke Beirut.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mimpi Tentang Khalifah
Dalam bukunya Al Nabhani mengritik kekuatan sekular gagal melindungi nasionalisme Palestina. Ia terutama mengecam penguasa Arab yang berjuang demi kepentingan sendiri dan sebab itu mengimpikan kekhalifahan yang menyatukan semua umat Muslim di dunia dan berdasarkan prinsip Islam, bukan materialisme.
Foto: picture-alliance/dpa/L.Looi
Anti Demokrasi
Tidak heran jika Hizb Tahrir sejak awal bermasalah dengan Demokrasi. Pasalnya prinsip kedaulatan di tangan rakyat dinilai mewujudkan pemerintahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum Allah. Menurut pasal 22 konstitusi Khilafah yang dipublikasikan Hizb Tahrir, kedaulatan bukan milik rakyat, melainkan milik Syriah (Hukum Allah).
Foto: picture alliance/dpa/A.Hashlamoun
Kudeta Demi Negara Islam
Hizb Tahrir Indonesia pernah mendesak TNI untuk melakukan kudeta. “Wahai tentara, wahai polisi, wahai jenderal-jenderal tentara Islam, ini sudah waktunya membela Islam, ambil kekuasaan itu, dan serahkan kepada Hizbut Tahrir untuk mendirikan khilafah!” tegas Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib di hadapan simpatisan HTI pada 2014 silam.
Foto: Reuters/Beawiharta
Kemanusiaan Semu di Jantung Khalifah
Buat HT, asas kebebasan sipil seperti yang terkandung dalam prinsip Hak Azasi Manusia merupakan produk "ideologi Kapitalisme" yang berangkat dari prinsip "setiap manusia mewarisi sifat baik, meski pada dasarnya manusia hanya menjadi baik jika ia menaati perintah Allah."
Foto: Reuters
Tunduk Pada Pemerintahan Dzhalim
Kekhalifahan menurut HT mengandung sejumlah prinsip demokrasi, antara lain asas praduga tak bersalah, larangan penyiksaan dan anti diskriminasi. Namun masyarakat diharamkan memberontak karena "Syariah Islam mewajibkan ketaatan pada pemegang otoritas atas umat Muslim, betapapun ketidakadilan atau pelanggaran terhadap hak sipil yang ia lakukan," menurut The Ummah’s Charter.
Foto: Reuters
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Pluralisme dalam kacamata Hizb Tahrir sangat berbahaya, lantaran "merusak Aqidah islam," kata bekas Jurubicara HTI Muhammad Ismail Yusanto, 2010 silam. Perempuan juga dilarang menduduki kekuasaan tertinggi seperti gubernur atau hakim, meski diizinkan berbisnis atau meniti karir. "Pemisahan jender adalah fundamental", tulis HT dalam pasal 109 konstitusi Khilafah. (Ed: rzn/ap)
Foto: picture alliance/dpa/M.Fathi
7 foto1 | 7
Bukan masalah baru
Fenomena perpecahan dan perseteruan antar-umat Islam ini sebetulnya bukan hal baru. Sejak detik pertama Islam lahir pun, permusuhan dan perpecahan sudah muncul, dan meruncing sejak wafatnya Nabi Muhammad tahun 632. Tetapi basis atau faktor penyebab perpecahan waktu itu masih sangat sederhana dan terbatas.
Zaman dahulu kala, perseteruan antar-umat Islam biasanya karena klaim atas superioritas dan otoritas suku dan klan (seperti "Dinasti Hasyim” versus "Dinasti Umayyah”). Ada juga perseteruan karena membela tokoh tertentu seperti faksi Ali versus faksi Mua'awiyyah. Faktor perpecahan lain karena mazhab teologi (seperti Mu'tazilah versus Sunni).
Faktor-faktor ini masih ada sampai sekarang bahkan semakin rumit. Perpecahan berbasis suku, klan, dan mazhab masih berlangsung hingga kini. Bahkan skalanya makin lebar. Tetapi basis atau faktor penyebab perpecahan yang membuat umat Islam semakin sulit memperjuangkan "solidaritas Islam” itu dewasa ini semakin banyak dan runcing. Bukan hanya masalah suku, klan dan mazhab saja tetapi juga negara-bangsa, partai politik, ormas keagamaan, sekte keislaman, perkumpulan berdasar kepentingan, klub, jaringan profesi, dan masih banyak lagi.
Sibuk dengan rumah tangga masing-masing
Simak misalnya tentang pendirian negara-bangsa (nation-state) paska kolonialisme. Hampir semua kawasan yang mayoritas berpenghuni Muslim di dunia ini dari Afrika dan Timur Tengah hingga Asia, dulu menjadi daerah jajahan kolonial Eropa: Inggris, Perancis, Belanda, atau Italia. Hanya segelintir area saja (seperti Arab Saudi dan Iran) yang tidak mengalami penjajahan atau kolonialisme Bangsa Eropa.
Setelah pendirian negara-bangsa, kaum Muslim kemudian sibuk mengurusi kedaulatan dan rumah tangga negara-bangsa mereka masing-masing. Akibatnya, mereka kemudian terkotak-kotak hidup dalam sebuah teritori tertentu. Padahal dulu, mereka bebas-merdeka melintas-batas berbagai kawasan tanpa harus repot-repot mengurus paspor dan visa.
Perpecahan umat Islam di zaman pra-negara-bangsa lebih banyak dilakukan oleh elit politik di kerajaan. Tetapi di era negara-bangsa, bukan hanya elit saja yang berseteru tetapi juga umat atau rakyat biasa. Dulu hanya tentara yang dimobilisir untuk melawan musuh. Sekarang massa atau "wong cilik” ikut-ikutan dimobilisir untuk mengganyang lawan-lawan mereka yang ironisnya juga sesama umat Islam.
Sejak pendirian negara-bangsa, kemudian muncul konsep sekaligus jargon baru: patriotisme dan nasionalisme (terhadap negara masing-masing). Negara kemudian menjelma menjadi "entitas suci” yang statusnya kurang lebih sejajar dengan agama. Konstitusi negara kemudian menjadi "kitab suci”. Sedangkan ideologi negara menjadi sepadan dengan ideologi agama. Akibatnya, kritik terhadap rezim pemerintah dianggap sebagai tindakan makar. Kritik terhadap konstitusi dipandang sebagai pelanggaran berat. Kritik terhadap ideologi negara dituduh sebagai tindakan inkonstitusional.
Dengan demikian, pendirian negara telah mengubah atau menambah daftar loyalitas umat Islam yang bukan hanya dituntut taat pada ajaran agama mereka saja tetapi juga pada negara (dan elemen-elemen utamanya). Bahkan dalam banyak hal, loyalitas pada negara harus diutamakan terlebih dahulu ketimbang ketaatan pada agama.
Buah Haram Wahabisme
Sejak lama dunia mengkhawatirkan paham Wahabisme sebagai wadah terorisme global. Ajaran puritan itu diyakini tidak cuma menjadi rumah ideologi, tapi penganutnya juga ikut membiayai tindak terorisme di Timur Tengah.
Foto: Reuters/C. Barria
Wahabisme Telurkan Radikalisme?
Sejak 2013 silam parlemen Eropa mewanti-wanti terhadap paham Wahabisme. Bahkan Dewan Fatwa Malaysia menilai faham tersebut kerap melahirkan pandangan radikal dan bisa berujung pada tindak terorisme. Pasalnya Wahabisme menganut prinsip pemurnian Islam. Bentuknya yang cenderung eksklusif dan intoleran terhadap ajaran lain membuat penganut Wahabisme rentan terhadap radikalisasi.
Foto: Reuters
Sumber Ideologi
Kebanyakan kelompok teror dari Nigeria, Suriah, Irak hingga ke Pakistan mengklaim Wahabisme atau Salafisme sebagai ideologi dasar. Al-Qaida, Islamic State, Taliban, Lashkar-e-Toiba, Front al Nusra dan Boko Haram adalah kelompok terbesar yang jantung ideologinya merujuk pada paham Islam puritan itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda dari Riyadh
Hingga kini pemerintah Arab Saudi sudah mengucurkan dana hingga 100 miliar dolar AS untuk mempromosikan paham Wahabisme ke seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Uni Soviet cuma menghabiskan dana propaganda Komunisme sebesar 7 miliar dolar AS selama 70 tahun sejak dekade 1920-an. Pakar keamanan mencurigai, sebagian dana dakwah itu disalahgunakan untuk membiayai terorisme.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Brakemeier
Dana Gelap di Musim Haji
Pada nota rahasia senat AS dari tahun 2009 yang bocor ke publik, calon presiden AS Hillary Clinton menyebut hartawan Arab Saudi sebagai "donor terbesar" kelompok terorisme di seluruh dunia. Biasanya teroris memanfaatkan musim haji untuk masuk ke Arab Saudi tanpa mengundang kecurigaan aparat keamanan.
Foto: AFP/Getty Images/M. Al-Shaikh
Bisnis Perang
Penyandang dana teror terbesar di Arab Saudi tidak lain adalah hartawan berkocek tebal. Dengan mengandalkan uang minyak, mereka secara langsung atau tidak langsung menyokong konflik bersenjata di Pakistan atau Afganistan. Hal tersebut terungkap dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor di Wikileaks.
Foto: Getty Images/AFP/A. Karimi
Sumbangan buat Laskar Tuhan
Kelompok teroris tidak jarang menggunakan perusahaan atau yayasan untuk mengumpulkan dana perang. Lashkar-e-Toiba di Pakistan misalnya menggunakan lembaga kemanusiaan Jamaat-ud Dakwa, untuk meminta sumbangan. Kedoknya adalah dakwah Islam. Salah satu sumber dana terbesar biasanya adalah Arab Saudi.
Foto: AP
Senjata dari Emir
Arab Saudi bukan satu-satunya negara Islam yang menyokong terorisme. Menurut catatan Pentagon yang dipublikasikan majalah The Atlantic, Qatar membantu Jabhat al-Nusra dengan perlengkapan militer dan dana. Kelompok teror tersebut sempat beroperasi sebagai perpanjangan tangan Al-Qaida di Suriah. Jerman juga pernah melayangkan tudingan serupa terhadap pemerintah Qatar ihwal dana untuk Islamic State
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Jebreili
Dinar untuk al Nusra
Tahun 2014 silam Washington Post memublikasikan laporan yang mengungkap keterlibatan Kuwait dalam pembiayaan kelompok teror di Suriah, seperti Jabhat al Nusra. Laporan yang berlandaskan kesaksikan perwira militer dan intelijen AS itu menyebut dana sumbangan raksasa senilai ratusan juta dolar AS.
Foto: Reuters/H. Katan
Dukungan "tak langsung"
Harus ditekankan tidak ada bukti keterlibatan kerajaan al-Saud dalam berbagai aksi teror di seluruh dunia. Namun pada serangan teror 11 September 2001 di New York, AS, komite bentukan senat menemukan bahwa pelaku memiliki hubungan "tidak langsung" dengan kerajaan dan "mendapat dukungan dari kaum kaya Saudi dan pejabat tinggi di pemerintahan."
Foto: AP
Pencegahan Setengah Hati
Sejauh ini pemerintah Arab Saudi terkesan setengah hati membatasi transaksi keuangan gelap untuk pendanaan terorisme dari warga negaranya. Dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor ke publik, Riyadh misalnya aktif melumat sumber dana Al-Qaida, tapi banyak membiarkan transaksi keuangan untuk kelompok teror lain seperti Taliban atau Lashkar-e-Toiba.
Foto: picture-alliance/dpa/Saudi Press Agency
Bantahan Riyadh
Namun Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, membantah hubungan antara ideologi Wahabi dengan terorisme. "Anggapan bahwa Saudi membiayai ekstremisme atau Ideologi kami menyokong ekstremisme adalah omong kosong. Kami aktif memburu pelaku, uang dan dalang di balik tindak terorisme," tukasnya.
Foto: Reuters/C. Barria
11 foto1 | 11
Dengan kata lain, solidaritas terhadap negara harus menjadi prioritas utama daripada solidaritas pada agama. Kepentingan negara harus didahulukan ketimbang kepentingan agama. Akibatnya, permusuhan dan pertempuran antar-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim pun tak terhindarkan dan terjadi dimana-mana sejak pendirian negara-bangsa pasca kolonialisme. Peperangan itu meletus bisa karena perebutan batas-batas teritori, faktor geopolitik, persoalan kepentingan ekonomi, atau bahkan karena masalah "gengsi kekuasaan”.
Bahkan bukan hanya perang antarnegara, perang antarfaksi (baik faksi politik, faksi ideologi, maupun faksi etnis) dalam satu negara juga kerap melanda "kawasan Islam” saat ini seperti yang terjadi di Irak, Suriah, Turki, Iran, Libya, Sudan, Aljazair, Libanon, Afganistan, Tunisia, dlsb.
Nyaris tidak ada negara yang mayoritas berpenduduk Muslim dewasa ini yang sepi dari konflik, kekerasan, dan permusuhan dengan sesama umat Islam.
Jadi, masihkah Anda percaya dengan jargon kosong bernama "solidaritas Islam”?
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Konflik Terburuk di Dunia
Institut Heidelberg untuk Riset Konflik Internasional (HIIK) merilis 'Barometer Konflik 2013'. Baik karena fanatisme agama, hasil bumi berharga atau gila kuasa, sepanjang tahun 2013 terjadi sekitar 400 konflik di dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Suriah
Pada tahun keempat perang sipil di Suriah, kekacauan masih merajalela. Negara ini terpecah antara pasukan pemerintah di bawah Presiden Bashar al-Assad, kelompok oposisi moderat, Islamis, kelompok preman dan geng kriminal. Lebih dari 100.000 orang tewas akibat konflik, dan 9 juta warga terpaksa mengungsi. Konflik ini berpotensi meluas ke negara-negara tetangga.
Foto: Mohmmed Al Khatieb/AFP/Getty Images
Afghanistan
Pertempuran berlanjut di Afghanistan setelah NATO menyerahkan kontrol keamanan ke militer lokal. Taliban dan kelompok militan Islam lainnya terus melancarkan perang terhadap pemerintah menggunakan serangan bom bunuh diri dan ranjau. Wilayah perbatasan menjadi daerah yang paling rentan kekerasan. Menurut PBB, lebih dari 2.500 warga sipil tewas di Afghanistan tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Filipina
Selama 40 tahun lebih front pembebasan Moro di Filipina memperjuangkan kebebasan. Setelah sempat mereda, konflik kembali berkecamuk tahun 2013 saat MNLF mengumumkan kemerdekaan kepulauan di bagian selatan Filipina. Pemberontak yang berusaha mengambil alih kota Zamboanga dipukul mundur oleh militer. Lebih dari 120.000 orang terpaksa mengungsi.
Foto: Reuters
Meksiko
Narkoba, perdagangan manusia, pemerasan dan penyelundupan: Ini cara kartel di Meksiko mendapat pemasukan. Untuk melindungi aliran dana, konflik antar kartel dan dengan pemerintah begitu marak. Pertempuran kecil terjadi setiap pekan. Akibatnya ratusan kelompok preman terbentuk di berbagai penjuru negeri. Tahun 2013 korban tewas akibat konflik kartel mencapai 17.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Nigeria
Kelompok Islamis Boko Haram ingin memberlakukan hukum Syariah di Nigeria. Untuk mencapai target ini, kelompok tersebut terus menyerang umat Kristen dan Muslim moderat. Dalam gambar, kerabat korban umat Kristen menggali kuburan usai sebuah serangan. Nigeria juga mempunyai pertempuran lain: petani Kristen bentrok dengan penggembala ternak Muslim terkait lahan subur.
Foto: picture-alliance/dpa
Sudan
Selama 10 tahun lebih beragam kelompok etnis Afrika bertempur di wilayah Darfur, Sudan, melawan pasukan pemerintah dan sekutunya. Dalam konflik, suplai air dan lahan subur menjadi taruhan. Ratusan ribu warga tewas akibat pertempuran dan jutaan lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Foto: picture-alliance/dpa
Somalia
Konflik antara pejuang al-Shabab dan militer di Somalia telah berlangsung selama 8 tahun. Dengan bantuan pasukan PBB dan Uni Afrika, pemerintah Somalia berhasil mengatasi gempuran Islamis. Meski begitu, pejuang al-Shabab tetap mengontrol wilayah selatan negeri. Al-Shabab bertanggung jawab atas sejumlah serangan bom di ibukota Mogadishu tahun 2013.
Foto: Mohamed Abdiwahab/AFP/Getty Images
Sudan Selatan
Tiga tahun setelah merdeka, Sudan Selatan tetap menjadi negara yang didominasi konflik dan medan dua pertempuran. Pejuang yang loyal terhadap wakil presiden bertempur melawan pasukan presiden. Militer juga menghadapi pertempuran lain. Di negara tetangga, Sudan, pasukan Sudan Selatan mendukung upaya otonomi dari dua provinsi yang kaya minyak bumi.
Foto: Reuters
Republik Demokratik Kongo
Di Kivu sepanjang tahun 2013 militer terus-terusan berhadapan dengan kelompok pemberontak M23. Setelah negosiasi damai dengan pemerintah, para pejuang kelompok itu terpecah menjadi kelompok-kelompok berbeda. Akhir tahun 2013 pemerintah Republik Demokratik Kongo mengumumkan kekalahan pemberontak. M23 telah menyatakan siap berjuang secara politik.
Foto: Melanie Gouby/AFP/GettyImages
Mali
Di Mali, pejuang Islamis berupaya merebut kekuasaan. Tahun 2012, sejumlah wilayah di bagian utara negeri berhasil direbut. Alhasil, Perancis ikut turun tangan membantu pemerintah Mali dengan pasukan dan persenjataan, serta serangan darat dan udara untuk menaklukkan pasukan Islamis. Pasukan helm biru kini bertugas menjaga keamanan, namun serangan dan bom bunuh diri terus berlanjut.