Beberapa Hari Paling Tenteram dalam Hidup
Suatu hari, sinyal gawai saya sekonyong-konyong kosong. Sepanjang beberapa waktu tinggal di Kampung Parigi, Seram Utara, Maluku, hal ini sempat beberapa kali terjadi. Dan dalam beberapa jam, biasanya, semua kembali seperti sediakala.
Beberapa waktu berlalu, gawai saya tetap bergeming. Saya menunggu-nunggu pesan masuk dan mengisyaratkan jaringan internet telah normal. Nihil. Anak-anak muda di kampung menggerutu. Mereka tidak bisa membuka Facebook maupun bermain game online. Mereka meninggalkan gawainya dan menyetel musik, menonton televisi, duduk-duduk bersama teman-temannya, pacaran, atau tidur.
Keesokan harinya, sebuah kabar beredar di kampung. Kantor Telkomsel di Ambon terbakar. Jaringannya di seantero Maluku Tengah mati. Jaringan penyedia lain? Di Ambon mungkin baik-baik saja. Masalahnya, kampung yang saya mukimi untuk penelitian terpisah tiga ratus kilometer dari Ambon. Itu jarak yang lebih jauh dari pulang-pergi Jakarta-Bandung.
Pada saat itu, saya kontan tahu, saya akan hidup tanpa jaringan dalam beberapa hari ke depan. Ya sudahlah, saya pikir. Saya pun tak punya kewajiban untuk berkomunikasi dengan siapa-siapa di luar kampung waktu itu.
Dan beberapa hari ini menjadi waktu yang benar-benar permai
Saya sudah lupa bagaimana rasanya punya waktu yang benar-benar kosong. Namun, percayalah, ia ternyata waktu yang nikmat. Saya pikir, saya akan merasa waktu saya terbuang sia-sia. Tidak. Saya bisa duduk-duduk di tepi pantai sambil menatap lama ke laut. Pada waktu lain, saya bisa duduk-duduk di teras, menatapi kampung, dan menyapa setiap orang yang lewat. Saya pun bisa merebahkan diri di kamar lantas tidak melakukan apa-apa bila saya mau. Saya tak merasa menyia-nyiakan apa pun.
Saya acap melihat orang tua kampung duduk diam dan membuang pandangannya ke laut. Ia dapat melakukan hal tersebut sepanjang satu atau, bahkan, dua jam setiap petang. Sebelumnya, saya tak langsung memahami apa yang didapatkannya dari aktivitas tersebut. Saya juga acap mendengar, orang tua kampung yang berkebun akan menghabiskan waktunya bermalam-malam sendirian di tengah hutan menjelang panen vanili. Pertanyaan tentu saja tercetus. Apa yang akan dipikirkannya dalam kegelapan, kesunyian, dan kesendirian yang mencekam?
Saya mencicipi waktu kosong semacam dan tersadar, kesenggangan tidaklah semenakutkan itu.
Kelowongan pikiran tidaklah menyiksa. Kesadaran yang terpagut penuh oleh laut yang berdebur—kadang lembut, kadang keras—atau aktivitas kampung yang lambat laun ternyata adalah kesadaran yang tak memerlukan pemuasan-pemuasan lain. Keterpakuan ini adalah kepenuhan itu sendiri.
Mengembalikan kesunyian
Apa yang saya cecap malah membersitkan pertanyaan-pertanyaan yang kontan membuat saya merasa bodoh. Kapan terakhir saya berkutat semata dengan pikiran saya sendiri? Mengapa saya bisa lupa bahwa kesunyian ini menyenangkan dan saya bahkan tak memerlukan apa-apa untuk mendapatkannya? Dan tentu saja, sejak kapan kesunyian ini dirampas dari kita?
Entah sejak kapan, waktu senggang menjadi satu anasir yang secara konstan kita risak. Saya ingat kampanye yang pernah digencarkan salah satu penyedia jasa telekomunikasi di Indonesia.
Dengan menggunakan paket internet yang disediakannya, katanya, pengguna tak perlu lagi membuang-buang waktunya. Waktu senggang mereka, misal menunggu antrian, bisa berguna.
Iklan semacam mungkin tak nampak sebagai genderang perang terhadap waktu senggang. Namun, percayalah, ia adalah genderang perang yang keras terhadapnya. Waktu senggang diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak produktif dan menjebak. Ia menyarankan, mengapa kita tidak meramban gawai selagi kita terperangkap dalam waktu senggang? Mengapa tidak mengulas linimasa media sosial, mengunggah foto, mengomentari status teman, atau terpantik oleh ekspresi politik tertentu?
Kendati demikian, jenderal perang terhadap waktu senggang tak lain adalah segelintir bisnis teknologi raksasa. Facebook, Twitter, Instagram maupun game-game online, sebut saja, yang eksistensinya bertumpu dari waktu yang kita habiskan di platformnya.
Ketidaksenggangan kita adalah alasan mereka ada. Dus, wajar saja, platform mereka didesain untuk membuat kita gatal kala sejenak saja kita tak melihat gawai. Algoritmanya disusun agar perhatian kita sibuk sekaligus terpenjara olehnya—menggiring kita untuk merasa kita tertinggal, tidak berbuat apa-apa, tak bersosialisasi, atau bahkan dalam bahaya sekali kita meninggalkannya.
Jaringan, tentu, akhirnya kembali di kampung. Dan sebagaimana yang sudah dapat saya terka, saya buru-buru membuang kesenggangan yang begitu saya nikmati itu.
Saya, yang berpanjang-lebar mewejangi Anda seperti ini, tidak dapat menahan diri untuk memeriksa gawai. Saya berusaha membaca pesan yang masuk bertubi-tubi terlepas, bila dipikir-pikir, tak ada yang benar-benar mendesak untuk saya respons. Saya pun mencari kabar terbaru dari kawan-kawan saya di media sosial kendati, sebenarnya, tak ada perkembangan yang sebegitu pentingnya.
Dalam tempo singkat, waktu senggang saya terlepas dari genggaman saya lagi. Ketenangan, yang hanya sejauh membalik gawai sebetulnya, menjadi hal yang jauh dan tak teraih.
Miris? Entah. Mungkin semua hanya perkara bagaimana kita melihatnya saja. Mungkin, memang, begitulah watak kemajuan. Ketenangan bukanlah bagian darinya, dan masa depan adalah tempat yang ribut, rawan, kisruh, provokatif.
Mari berjalan menuju ke sana.
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.