Jatuh Cinta dengan Eropa
24 Mei 2019Tiap kali tanggal 1 Mei tiba, ranting pohon "Birken” yang telah dihiasi kertas warna-warni akan terpajang di depan banyak rumah di Jerman. Pohon ini dinamai ‘Maibaum” – pohon bulan Mei. Tradisi ini seolah menjadi konfirmasi rasa cinta kepada sang Pujaan, sebab namanya akan tertulis di atas papan bersimbol hati yang tergantung di bagian puncak ‘Maibaum'. Publik yang lewat akan tahu siapa nama sang Kekasih.
Tak jauh dari lokasi saya bekerja, untuk pertama kalinya, saya melihat ada Maibaum yang bertuliskan nama Eropa. Kampanye unik, pikir saya. Pas waktunya ketika Pemilu Parlemen Eropa akan digelar di bulan ini.
Pemilu yang baru saja usai di Indonesia, membuat saya di saat yang sama menjadi lebih peka melihat perbandingan jalannya proses Pemilu Parlemen Eropa saat ini. Selain bentuk kampanye yang berbeda dengan Indonesia, saya juga melihat substansi dan alasan seseorang memilih juga tak biasa. Belum lagi, ini pemilu untuk menentukan arah 28 negara di Eropa, bukan hanya negara di mana seseorang tinggal.
Apa yang berbeda?
Tak ada spanduk. Tak ada poster yang dipaku ke pohon. Tak ada baliho terpajang tinggi yang membuat ketar-ketir jika angin kencang mungkin membuat baliho tumbang. Yang ada: plakat yang diikatkan dengan aman di tiang atau disanggah dengan besi. Yang terlihat: deretan wajah-wajah para kandidat dengan misinya yang ringkas sejalan dengan haluan partai.
Terkait poster memang ada aturan yang sangat ketat. Partai harus mendaftarkan di mana saja plakat akan dipasang. Ada juga keterangan ketat, lokasi mana saja yang tidak bisa dipasang, misalnya di gedung publik seperti sekolah atau balai kota tidak boleh ada iklan kampanye karena itu ruang yang netral. Pohon juga tidak bisa dipasangi iklan. Durasinya juga dibatasi, antara tujuh sampai enam minggu sebelum pemilihan. Paling lambat seminggu setelah pemilihan plakat harus dicopot, jika tidak maka pemerintah kota akan melakukannya dan menagih biayanya ke partai.
Tapi seberapa berpengaruh plakat itu meraih hati pemilih? Saat berkumpul bersama teman-teman sekampus dulu dalam pertemuan rutin kami, ini menjadi salah satu pertanyaan yang saya ajukan. Jawab mereka: tidak berpengaruh sama sekali. Tapi Tilman Mayer, professor dari Insitut Ilmu Politik dan Sosiologi Universitas Bonn seperti dikutip dari General Anzeiger menyebutkan, mesti tidak berpengaruh besar, plakat menjadi instrumen kampanye yang penting dalam kompetisi politik, bukan untuk meyakinkan lawan politik namun agar para peserta partai melihat eksistensi kandidat partai di jalanan.
Namun bagaimana hingga akhirnya kandidat atau partai tertentu bisa menarik perhatian calon pemilih? Seandainya saya berhak memilih di Pemilu Uni Eropa, saya pasti bingung. Bayangkan, Pemilu Eropa akan memilih 751 perwakilan dari sekitar 200 partai dari 28 negara di Eropa. Di Jerman saja, perwakilan yang akan dipilih berjumlah 96 orang. Salah satu teman saya, Marion memberi solusi. "Lihat apa misi dan program mereka, apakah sejalan dengan yang kamu inginkan,” katanya dengan suara meyakinkan.
Pikiran saya pun kembali ke plakat dengan slogan-slogan ringkas para kandidat. Coba tengok, kandidat A dari Partai CDU yang mengusung slogan, "Satu Eropa untuk perdamaian dan kemapanan.” Kandidat B dari Partai Gruene mengusung slogan ”Ketika keberanian datang, maka kebencian menghilang.” Dan masih banyak plakat dan slogan lainnya. Namun jika sudah mengetahui misi dan program, lantas apa yang diinginkan calon pemilih?
Isu krusial: satu Eropa, satu Bumi
Empat hari sebelum Pemilu Parlemen Eropa, saya mengikuti acara bernama MilkGoat Festival di desa Bela Rechka, di Bulgaria. Di desa kecil ini, saya bertemu dengan peserta yang berasal dari berbagai negara di Eropa yang tertarik dengan isu budaya dan lingkungan. Berhubung festival digelar sebelum Pemilu Eropa berlangsung tanggal 26 Mei 2019, salah seorang peserta bernama Dorothea dari Jerman, mengaku dia sudah mencoblos dengan menggunakan sistem pos. Saya pun penasaran ingin mengetahui apa yang membuat dia merasa terpanggil untuk memilih, lagipula ini kan bukan pemilu Jerman, mengapa Eropa penting untuknya?
Sambil kami santai berbaring di bawah sinar matahari yang hangat, Dorothea menyebutkan dengan sederhana: "Jika tidak ada Uni Eropa, maka saya tidak mungkin bisa menikmati indahnya bebas bergerak tanpa dibatasi perbatasan negara. Saya tidak akan dengan mudah memutuskan untuk mengikuti festival ini di Bulgaria,” katanya antusias sambil menambahkan, "Uni Eropa memungkinkan kita mengenal negara-negara lain di sekitar Jerman dengan mudahnya, dengan begitu juga mengenal orang-orangnya dan belajar dari kekayaan masing-masing. Di sini saja, saya jadi kenal banyak peserta dari negara lain. Ketika saling mengenal, maka kita bisa bekerja sama membuat sesuatu yang baik, dan rasa curiga atau stereotip juga berkurang,” papar ahli di bidang air itu.
Jawaban Dorothea tak jauh berbeda dengan Marion, bekas teman kuliah saya, baginya Eropa penting bukan saja karena dia berasal dari Eropa, tapi karena adanya pemahaman tentang kebersamaan. "Ketika kita berada dari benua yang sama, kita harus mengupayakan apa yang penting untuk benua ini. Semua negara lainnya harus menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan bersama,” kata perempuan berdarah Jerman-Swiss itu.
Mendengarkan penjelasan mereka, saya jadi mengingat aksi demonstrasi damai yang dilangsungkan di beberapa kota seminggu sebelum Pemilu Parlemen Eropa digelar. Aksi terdekat di kota saya tinggal digelar di Koeln, Minggu 19 Mei 2019. Saat itu sekitar 45 ribu orang berkumpul melakukan long march sambil menyerukan motto nasional "Ein Europa fuer Alle”, atau arti harfiahnya ‘Satu Eropa untuk Semua'. Aksi ini digelar untuk menentang kebangkitan kelompok ultra nasionalis dan ekstrimis-kanan yang gerakannya semakin bergema di Jerman. Mereka ingin mengampanyekan agar warga aktif memilih kandidat yang tidak mewakili ide rasisme dan anti "satu Eropa”. Kekhawatiran mereka bukan tanpa dasar, sebab diperkirakan sekitar 20% kandidat dari kelompok ultra kananbisa masuk ke parlemen Eropa. (tolong cantelin link tulisan: "Pemilu Parlemen Eropa: Langkah Maju atau Mundur?)
Jika ditanya isu lain yang penting menjadi perhatian para kandidat di Parlemen Eropa, maka Marion langsung menjawab: "Definitiv: Umwelt,” (sudah pasti, lingkungan) katanya. Isu perlindungan Bumi harus menjadi perhatian Uni Eropa dengan memberi arah atau standar secara keseluruhan, bukan hanya untuk Jerman. "Misalnya saja ada aturan, bahwa kemasan plastik untuk hal tertentu dilarang untuk seluruh Eropa, itu mungkin dilakukan, dan tekanannya akan lebih besar jika diputuskan secara keseluruhan di Eropa,” kata Marion menjelaskan prioritas isu yang dianggapnya penting.
Jerman salah satu penentu Eropa
Terkait kedua isu di atas, Jerman sedikit banyaknya menjadi salah satu negara penentu atau pelopor. Misalnya saja terkait imigrasi, Jerman adalah yang pertama membuka keran gelombang pengungsi dan pencari suaka. Sayangnya, sejak tahun 2015 Uni Eropa belum menghasilkan kebijakan bersama soal migrasi. Terkait isu lingkungan, Jerman sejak lama dikenal sebagai negara pelopor perlindungan lingkungan, salah satunya dengan agenda menghentikan penggunaan batu bara yang buruk untuk lingkungan dan pemanfaatan energi alternatif.
Lagipula, Jerman menjadi salah satu negara yang mendapat porsi perwakilan yang cukup besar di Parlemen Eropa. Ada sekitar 1.380 kandidat yang bertarung di Jerman untuk mewakili negara ini dengan 96 kursi di parlemen. Secara keseluruhan ada 751 perwakilan dari 28 negara di Parlemen Eropa.
Namun bukan itu saja, Kamis, 14 Mei ketika tak sengaja menunggu bus di halte di Friedenplatz, Bonn, saya disadarkan akan peran besar Jerman lainnya terkait kebijakan Eropa untuk negara lain. Saat itu, Sahra Wagenknecht, mantan petinggi partai Die Linke melakukan orasi menjelang Pemilu Parlemen Eropa. Salah satu poin yang menjadi perhatiannya adalah mengenai impor senjata Jerman. "Di tanah Jerman, jangan ada ada perang lagi,” demikian perkataan mantan Kanzelir Jerman, Willy Brandt yang dia kutip. Namun dalam orasinya Sahra mempertanyakan, "Di Jerman memang tidak ada perang lagi, tapi kita membuat perang di negara lain, ketika kita mengimpor senjata!” serunya.
Orasinya langsung mendapat tepuk tangan riuh para peserta, sebagian besar adalah mahasiswa. Ketika mendekat ke booth, salah seorang menjelaskan dengan antusias betapa ia mendukung partai ini karena ia merasa Jerman di satu sisi membuka negaranya untuk pengungsi, tapi di sisi lain mengikuti keinginan negara Eropa lainnya untuk kembali mengimpor senjata, salah satunya ke Saudi. Dia pun mantap 26 Mei nanti untuk memilih kandidat yang menentang kebijakan kontradiktif demikian.
Rasanya jika berkaca melihat pemilih di Indonesia yang berapi-api tentang pemilu ASEAN(seandainya ada), mungkin masih sangat sulit. Tapi jika energi yang sama kita gunakan untuk Indonesia yang satu, dengan kegigihan untuk memperjuangkan program-program yang kita anggap relevan membuat Indonesia menjadi semakin baik, mungkin masih sulit, tapi bukan tak mungkin.
Salah satunya, bisa dengan mengikuti cara Dorothea yang berjalan-jalan hingga ke pelosok daerah tetangga untuk semakin mengenal Indonesia dan keragamannya, sehingga semakin menyadari indahnya Indonesia yang beragam dan satu. Atau cara Marion yang menentukan pilihan kandidat jika kandidat mengusung misi yang sejalan, misalnya memperjuangkan lingkungan. Tapi tentu ini dimulai dengan kita yang tahu dulu apa yang menurut kita penting untuk Indonesia, sebab pemilu bukan sekadar siapa yang menang, tapi perubahan apa yang bisa dilakukan kandidat tersebut setelah terpilih.
** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan satu foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.