Bagaimana jejak Operasi Khusus dalam Pilpres 2019? Pilpres 2019 mengemuka fenomena politik identitas, sebagai duplikasi konsep atau eksperimen Opsus dulu, yaitu memanfaatkan isu agama. Berikut opini Aris Santoso.
Iklan
Polarisasi masyarakat yang sedang berlangsung belakangan ini, sebagai akibat praktik politik identitas, diperkirakan hanya akan berlangsung sementara. Ketika keriuhan Pilpres (pemilihan presiden) berlalu, diharapkan kohesi sosial secara perlahan akan pulih kembali. Setidaknya itu bisa dilihat dari perkembangan politik mutakhir, ketika elemen koalisi pendukung pasangan Prabowo – Sandiaga, seperti Partai Demokrat, PKS dan PAN, tidak sekeras sebelumnya demi melihat hasil hitung cepat (quick count).
Membaca wacana yang berkembang dalam kampanye pilpres baru-baru ini, publik seolah tersandera dengan isu primordial yang tiada habisnya. Isu primordial telah dieksploitasi sedemikian rupa, bahkan sampai ke kawasan permukiman. Benar, kini sudah mulai bermunculan kawasan hunian atau cluster, khusus bagi yang beragama tertentu saja.
Model polarisasi masyarakat berdasarkan sentimen primordial sebenarnya bukan fenomena baru. Praktik seperti itu pernah terjadi masa Orde Baru, saat Ali Moertopo bersama lembaga (intelijen) yang dia pimpin, yaitu Opsus (operasi khusus), sempat melakukan rekayasa terhadap kelompok yang dikategorikan Islam garis keras, dengan tujuan akhirnya untuk melemahkan citra (politik) Islam.
Opsus memang akhirnya pupus, bersamaan dengan meninggalnya Ali Moertopo pada Mei 1984, namun model rekayasa dan pembentukan opini gaya Opsus, telah menjadi genre tersendiri dalam politik Indonesia, termasuk yang kita saksikan dalam pilpres baru-baru ini. Opsus dulu terkenal dengan jaringannya yang sangat kuat, dan tentu sebagian jaringan itu masih aktif sampai sekarang.
Politik aliran
Dalam merekayasa polarisasi di masyarakat, untuk sebagian Ali Moertopo terinspirasi oleh konsep lima aliran (politik) yang dulu diperkenalkan oleh Indonesianis Herbert Feith. Lima aliran politik dimaksud adalah: nasionalisme radikal, tradisionalisme jawa, Islam, sosialisme-demokrat, dan komunisme. Namun yang perlu diingat, lima aliran ini dirumuskan Herbert Feith untuk memahami dinamika politik Indonesia di awal kemerdekaan, sampai tahun 1965. Ketika Orde Baru lahir, praktis tinggal dua (aliran), yakni Islam dan tradisionalisme jawa, yang tetap bisa hidup. Sementara tiga aliran lain diberangus, karena dianggap tidak sesuai dengan visi Orde Baru.
Masih hidupnya dua aliran tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari peran Ali Moertopo. Soal aliran tradisionalisme jawa misalnya, itu bisa dihubungkan dengan latar belakang Ali sendiri, yang dianggap dekat pada tradisi kejawen (atau abangan). Bila kita mengingat lembaga pemikiran (think tank) yang didirikan Ali Moertopo (bersama Soedjono Hoemardani), yakni CSIS, terasa demikian kuat atmosfer kejawen-nya, setidaknya pada periode awal CSIS, pada tahun 1970-an.
Pemilu Serentak WNI di Jerman
WNI yang tinggal Jerman mendatangi tiga Tempat Pemungutan Suara yang disediakan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Berlin, Hamburg dan Frankfurt pada Sabtu (13/04), untuk tunaikan hak demokrasi mereka.
Foto: DW/S. Caroline
Warga antusias
Suhu udara yang hanya empat derajat celcius di Frankfurt tidak membuat antusiasme warga surut untuk mendatangi TPS.
Foto: DW/C. Kusumawati
Pemilih di Hamburg
Surat suara yang tersedia di TPS di Hamburg berjumlah 1.035 sudah dengan surat cadangan 2% dari kebutuhan DPT TPS.
Foto: KJRI Hamburg
Dubes Indonesia untuk Jerman ikut memilih
Dubes Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, memasukkan surat suaranya ke kotak suara di TPSLN di Berlin.
Foto: DW/S. Caroline
Contoh surat suara
Contoh surat suara untuk pemilihan calon anggota legislatif berikut cara pemilihan yang dianggap sah.
Foto: DW/G. Anggasta
Surat suara tersegel
Logistik pemilu termasuk surat suara yang masih tersegel siap menanti para pemilih yang berhak mencoblos pada Sabtu (13/04) di Jerman.
Foto: DW/S. Caroline
Antusiasme pemilih muda
TPS di Berlin banyak didatangi kaum muda dan para pelajar Indonesia, slaah satunya yaitu Giovenny Rebeccamari Winardi (20) pelajar di Technische Universität Berlin.
Foto: DW/S. Caroline
Persiapan di TPS sejak dini hari
Berdasarkan pengamatan tim Deutsche Welle, panitia sudah terlihat membangun TPS mulai pukul 5 pagi waktu setempat. Berbagai logistik pemilu hingga makanan juga mulai dipersiapkan.
Foto: DW/G. Anggasta
Pemilu serentak
Dalam pemilu kali ini, warga memilih calon presiden dan wakil presiden sekaligus anggota legislatif. (Teks dan Foto: Arti Ekawati, Anggatira Gollmer, Sorta Caroline, Geofani Anggasta, Caesaria Kusumawati)
Foto: DW/G. Anggasta
8 foto1 | 8
Soedjono dikenal luas sebagai penasihat spiritual (mantan) Presiden Soeharto. Ali dan Soedjono sudah membantu Soeharto, sejak yang terakhir ini masih menjadi Panglima Kodam Diponegoro, sebuah komando pasukan yang dikenal sejak lama mengadopsi nilai-nilai kejawen. Wajar saja saat keduanya mendirikan CSIS, nilai-nilai kejawen ikut terbawa juga.
Pembentukan CSIS, setidaknya di masa awal, memang disiapkan bagi diseminasi pemikiran Ali Moertopo. Salah satunya adalah mengintrodusir konsep "massa mengambang” (floating mass), sebagai cara menghapus politik aliran. Pada gilirannya konsep ini mendorong berdirinya organisasi tunggal bagi golongan masyarakat, tujuannya agar lebih mudah dimobilisasi, seperti wartawan (PWI), guru (PGRI), pemuda (KNPI), pegawai negeri (Korpri), petani (HKTI), buruh (SPSI), dan seterusnya.
Semua organisasi tersebut terafiliasi pada Golkar, sebuah partai atau kekuatan politik, yang tidak bisa masuk dalam kategorisasi lima aliran di atas. Golkar sepenuhnya adalah rekayasa rezim Soeharto, dengan dukungan militer dan birokrasi, agar bisa berkuasa secara terus menerus.
Terhadap aliran Islam, Ali Moertopo bersama Opsus melakukan penggalangan (conditioning) untuk kepentingan kekuasaan. Penggalangan pada sebagian kelompok Islam, umumnya dari sempalan gerakan DI/TII, dengan tujuan akhirnya untuk melemahkan PPP, satu-satunya partai saat itu, dan karenanya dianggap pesaing paling potensial Golkar. Sementara PDI, relatif lebih mudah dikendalikan.
Profil Penguasa Jawa Pasca Pilkada
Siapa yang akan memimpin Jawa untuk lima tahun ke depan dan bagaimana para pemenang Pilkada 2018 bisa mempengaruhi jalannya pemilu kepresidenan 2019? Simak dalam galeri berikut.
Foto: Detik.com
Jawa Timur: Khofifah Sang Srikandi NU
Pernah takluk dari pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf pada Pilgub Jawa Timur 2013 lalu, Khofifah Indar Parawansa yang pertamakali diorbitkan oleh Almarhum Abdurrahman Wahid kini sukses membalas kekalahan dengan menggeser Gus Ipul pada Pilkada 2018. Khofifah dikabarkan mendapat restu Presiden Joko Widodo yang mengizinkannya mundur dari jabatan Menteri Sosial untuk bertarung di kampung halamannya itu
Foto: Detik.com
Jawa Timur: Emil Dardak yang Muda dan Berprestasi
April silam harian Hong Kong, South China Morning Post, menurunkan laporan mengenai Emil Dardak yang dianggap sebagai politisi masa depan Indonesia. Emil yang merupakan cucu dari kyai NU, KH. Mochamad Dardak, sempat memenangkan pemilihan bupati di Trenggalek dengan lebih dari 75% suara. Terutama perbaikan ekonomi dan kualitas layanan publik membuat reputasi Emil di Trenggalek nyaris tak berbanding
Foto: Detik.com
Jawa Tengah: Kuasa Ganjar di Kandang Banteng
Berbekal tingkat kepuasan publik sebesar 71%, Ganjar Pranowo harus menghadapi berbagai tudingan, termasuk dugaan korupsi e-KTP. Namun hal tersebut tidak menghalangi sosok petahana yang gemar menampung keluhan lewat media sosial ini untuk mengalahkan Sudirman Said dalam Pilkada 2018. Namun Ganjar juga diuntungkan oleh profil pemilih Jawa Tengah yang sejak lama dianggap kampung halaman PDIP.
Foto: Detik.com
Jawa Tengah: Gus Yasin Yang Agamis
Diutus oleh Megawati Soekarnoputri untuk mendampingi Ganjar di Pilkada Jateng 2018, Taj Yasin diproyeksikan mendulang suara kaum NU. Pria kelahiran Rembang ini merupakan putra ulama kharismatik KH. Maimoen Zubair. Ayahnya pula yang mengajukan namanya kepada PDIP untuk dipasangkan dengan Ganjar. Kini Yassin termasuk pemimpin daerah paling muda bersama Emil Dardak dan Andi Sudirman Sulaiman.
Foto: Detik.com
Jawa Barat: Kang Emil Naik Pangkat
Serupa Jokowi, sosok Ridwan Kamil memicu euforia publik tentang pemimpin daerah yang memiliki visi dan bersih dari korupsi. Lantaran popularitasnya di Jawa Barat, ia pernah didorong untuk maju ke Pilkada DKI Jakarta 2017, namun ia menolak. Pria yang akrab disapa kang Emil ini juga sempat ingin diduetkan dengan Dedy Mulyadi buat Pilkada Jabar 2018, sebelum berpasangan dengan Uu Ruzhanul Ulum.
Foto: Imago/Belga
Jawa Barat: Uu Ruzhanul Wakil Umat
Sehari setelah mempertahankan jabatannya sebagai Bupati Tasikmalaya pada 2016 silam, Uu Ruzhanul Ulum sudah digadang-gadang bakal bersaing di Pilgub Jabar. Padahal hingga pertengahan 2017 silam elektabilitas Uu hanya sebesar 3%. Beruntung Ridwan Kamil memilih tokoh PPP ini sebagai pendampingnya lantaran sosoknya yang dekat dengan kaum agamis. (rzn/hp: detik, tirto, kompas, tempo)
Foto: Detik.com
6 foto1 | 6
Modifikasi gaya Opsus
Setiap menjelang pemilu di masa Orba, selalu muncul rekayasa politik, yang tujuannya untuk mendiskreditkan PPP, seperti isu Komando Jihad (Pemilu 1977), Peristiwa Woyla (1981), serta Peristiwa Lapangan Banteng, menjelang Pemilu 1982. Semua ini adalah hasil kerja Opsus. Sekadar diketahui, pada Pemilu 1977, PPP bisa unggul dari Golkar di wilayah Jakarta, kota yang dihuni dengan mayoritas kaum terdidik.
Gaya kerja Opsus kini seperti berulang. Kita bisa melihat sendiri, ketika menjelang pilpres atau pilkada, ada aliran politik yang selalu dihidupkan kembali, yaitu komunisme. Termasuk dalam Pilpres 2019 baru-baru ini, aliran komunisme "dihidupkan” kembali untuk mendiskreditkan seorang kandidat. Salah seorang figur yang selalu dihubungkan dengan ideologi tersebut adalah capres petahana Joko Widodo.
Seperti metode kerja Opsus dulu dalam merekayasa sebuah isu, yang tujuannya menggiring opini publik, demikian juga yang terjadi hari ini. Gerakan seperti Komando Jihad sejatinya sekadar akal-akalan dari Opsus, untuk memberi kesan Islam itu berbahaya. Dari perjalanan waktu, kedok sebenarnya terbongkar. Beberapa tokoh yang dicitrakan sebagai pimpinan Komando Jihad, seperti Danu Muhammad, Haji Ismail Pranoto (Hispran), dan Ateng Jaelani, ternyata adalah orang binaan Ali Moertopo.
Mirip dengan situasi sekarang, aliran "komunisme” hanya dijadikan komoditas politik murahan. Termasuk juga penanda minoritas lain, seperti agama dan suku tertentu, bahkan sesuatu yang sangat personal, seperti orientasi seksual. Rekayasa isu seperti ini, tentu akan reda dengan sendirinya usai pilpres. Hari-hari ini kita melihat, elemen koalisi pendukung pasangan Prabowo - Sandiaga mulai melunak, usai melihat hasil hitung cepat. Partai seperti PKS, Partai Demokrat, dan PAN, telah mencari jalan sendiri-sendiri untuk merapat ke kubu Jokowi. Bahwa sesungguhnya, "aliran” yang senantiasa eksis pada masyarakat kita adalah pragmatisme.
Residu sebuah zaman
Para Pahlawan Pesta Demokrasi
Ibarat sebuah pesta, banyak pihak terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan umum serentak di Indonesia, Rabu (17/04). Hal ekstra pun mereka lakukan demi menyukseskan hajatan lima tahunan ini.
Foto: Getty Images/AFP/T. Matahari
Terjang banjir demi mencoblos
Seorang pria ikhlas berbasah-basah menarik perahu karet berisi para calon pemilih. Ia rela menerjang banjir yang melanda area perumahan mereka supaya warga bisa sedikit lebih mudah menunaikan hak pilih mereka.
Foto: Getty Images/AFP/T. Matahari
Kostum untuk menarik warga
Para petugas di TPS ini pun rela menjalankan tugas mereka sambil memakai kostum pahlawan super yang sangat tertutup tertutup di tengah cuaca panas kota Surabaya, Jawa Timur. Bayangkan panasnya beraktifitas dalam kostum itu.
Foto: Reuters/A. Foto
Seberangi sungai kawal logistik pemilu
Kondisi geografis di sebagian besar wilayah di Indonesia memang cukup menantang. Tidak jarang, satu-satunya alat transportasi untuk mencapai desa tertentu adalah dengan jalan kaki atau naik perahu seperti yang dipilih petugas polisi dan TNI ini.
Foto: Getty Images/AFP/C. Mayuddin
Kelelahan usai meliput
Media pun bekerja memastikan proses pemilu berjalan dengan lancar dan transparan. Akibat kelelahan, seorang jurnalis pun tertidur di antara kabel dan peralatan untuk meliput. Liputan pemilu memang dikenal memakan waktu yang panjang dengan jam kerja yang intensif.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Kelola sampah usai pesta
Alat peraga pemilu menyisakan gundukan sampah seperti sisa poster para kandidat. Para relawan banyak yang mendaur ulang sampah ini menjadi berbagai barang yang lebih bermanfaat seperti Jaket dan kantung belanja. (ae/hp)
Foto: Rizki Djaffar
5 foto1 | 5
Pada masa Orde Baru, kita akan lebih mudah melakukan konfirmasi, karena setiap insiden skala besar selalu dihubungkan dengan Opsus, terlepas dari benar-tidaknya. Seingat saya, Ali Moertopo jarang sekali memberi pernyataan secara terbuka pasca peristiwa, entah membenarkan atau mengingkari. Ali memang intelijen sejati, dia membiarkan publik untuk menebak-nebaknya sendiri.
Kegalauan publik baru terasa, sesudah Ali Moertopo meninggal, ternyata insiden atau peristiwa kekerasan masih saja terjadi, seperti kasus Tanjung Priok (1984) dan peledakan Candi Borobudur (1985). Masyarakat hanya bisa bertanya-tanya, siapa lagi ini yang bermain, adakah pemain baru, mengingat pemain yang lama sudah meninggal dunia.
Diskusi Pemilu Presiden 2019 Ala Milenial Indonesia di Jerman
Diskusi seputar Pemilu 2019 kerap mereka lakukan. Dengan diskusi yang mengedepankan nilai positif dari masing-masing calon presiden, mereka percaya Pemilu 2019 akan menjadi pesta demokrasi yang meriah dan menyenangkan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pengalaman berharga
Mengikuti Pemilu 2019 di luar negeri yang akan dialami pertama kali oleh empat sekawan Ardan, Qinta, Sina dan Kevin membuat mereka bersemangat. “Kami antusias sekali pada Pemilu ini, ditambah lagi kami sedang di luar negeri, suasananya berbeda, cara memilihnya berbeda,” kata mahasiswa Indonesia bernama lengkap Hamzah Shafardan tersebut.
Foto: DW/R. A. Putra
Berdiskusi untuk masa depan Indonesia
Kondisi politik Indonesia serta banyaknya berita hoax, mendorong mereka sering mengadakan diskusi membahas pemberitaan seputar Pemilu Presiden 2019. “Kita biasa lihat berita dari media sosial contohnya Instagram atau Youtube tentang Pemilu Presiden. Dari situ muncul diskusi tentang kandidat mana yang pantas kita pilih,” kata mahasiswa Universität Bonn asal Tangerang, Kevin Olindo.
Foto: DW/R. A. Putra
Tukar pikiran tentang calon presiden
Dikotomi politik yang begitu kentara di tanah air terkadang membuat mereka jengah. Menurut Qinta Kurnia Fathia “Kita semua pasti menginginkan pilihan yang terbaik, jadi lebih baik kita bertukar pikiran berfokus pada nilai positifnya dibanding saling menjatuhkan”.
Foto: DW/R. A. Putra
Saling menghormati pilihan masing-masing
Walau mereka sering berdiskusi, pilihan politik masing-masing individu tentu berbeda. Namun mereka tidak pernah mempersoalkan hal tersebut. “Bila kita memperdebatkan pilihan politik orang lain, itu tidak etis. Setiap orang memiliki hak untuk berpendapat dan memilih sesuai yang ia yakini,” kata Ardan.
Foto: DW/R. A. Putra
Pendidikan yang utama
Sebagai mahasiswa mereka sangat berharap, presiden yang terpilih nantinya akan makin memperhatikan dunia pendidikan di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Sinatryasti Purwi Agfianingrum, “yang jelas presiden yang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik, juga dapat meningkatkan mutu sumber daya manusianya melalui pendidikan”. (Rizki Akbar Putra/yp/as)
Foto: DW/R. A. Putra
5 foto1 | 5
Memang pertanyaan itu tidak pernah terjawab, karena figur yang dianggap penerus estafet kepemimpinan Opsus, yaitu Benny Moerdani, saat itu justru sedang berjaya, menjabat Panglima ABRI (Panglima TNI) merangkap Pangkopkamtib. Menjadi tidak logis, ketika pertanyaan itu diarahkan ke Benny. Masih belum clear sampai sekarang, apakah Benny masih mengikuti gaya seniornya, merekayasa kasus untuk kemudian ditumpasnya sendiri.
Asumsi selama ini mengatakan, bahwa setiap konflik horizontal yang terjadi selama ini merupakan dampak dari persaingan di tingkat elite. Seperti yang dilakukan Opsus dulu, lembaga ini merekayasa berbagai kasus atau peristiwa, sebagai bentuk intimadasi pada kelompok atau pihak yang berpotensi melawan Soeharto. Keberadaan Opsus sejatinya adalah residu sebuah era, yang kiranya cukup sekali saja dilahirkan.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.
Janji Kesejahteraan Ekonomi di Kampanye Akbar Prabowo-Sandi
Kampanye akbar yang digelar calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia nomor urut 02, Prabowo Subianto - Sandiaga Uno di Stadiun Utama Gelora Bung Karno, Minggu (7/4), ini menarik simpati jutaan pendukungnya.
Foto: Getty Images/E. Wray
Dihadiri Ribuan Massa
Kampanye yang disebut-sebut sebagai kampanye terbesar calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia nomor urut 02, Prabowo Subianto - Sandiaga Uno sebelum memasuki masa tenang ini diawali solat subuh berjamaah, dilanjutkan ceramah dan doa bersama. Dalam kampanye ini hadir Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Anggota Dewan Pengarah BPN Fadli Zon, Presiden PKS Sohibul Iman, serta Titiek Soeharto.
Foto: DW/R. Akbar Putra
“Ekonomi baik, pertumbuhan ekonomi 5 persen. Ndasmu!"
Dalam orasinya Prabowo sempat menyatakan kegeraman terkait klaim pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah. Dia juga khawatir jika petahana terpilih lagi, kondisi perekonomian tanah air akan kian memburuk. “Ekonomi baik, pertumbuhan ekonomi 5 persen. Ndasmu! Bung, kita butuh pekerjaan, bukan kartu. Betul?” ujar Prabowo.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Sindir Kebocoran Anggaran
Prabowo mengutip pernyataan Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, yang mengatakan ada kebocoran APBN sebesar 2.000 triliun rupiah. "Bayangkan kalau 5 tahun lagi yang hilang 10 ribu triliun. Bayangkan apa yang bisa kita bangun. Negara apa yang kita bisa bangun dengan 10 ribu triliun. Berapa ratus pabrik yang bisa kita bangun," ujar Prabowo.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Optimis Terhadap Hasil Pemillu
Prabowo sangat yakin dengan raihan suara tanggal 17 April mendatang. “Saya kira ya kalian lihat sendiri rakyat (yang datang) massif. Rakyat ingin perubahan. Rakyat ingin perbaikan hidup. Rakyat sudah tidak mau diakal-akalin. Insya Allah kita akan menyongsong perubahan,” jelasnya kepada wartawan.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Sandiaga Hadir Sesaat
Pukul tujuh pagi, calon wakil presiden pasangan nomor urut 02, Sandiaga Uno, naik ke panggung dan membuat massa histeris. Sandi pun menyapa para pendukungnya. "Kami melihat masyarakat menginginkan perubahan, betul? Saat bermunajat tadi terbayang lintasan wajah-wajah penuh harapan atas perubahan," ujar Sandi. Selang 30 menit berorasi, Sandi lantas meninggalkan GBK.
Foto: DW/R. Akbar Putra
Akan Bawa Pulang Rizieq Shihab
Prabowo juga berjanji akan membawa Rizieq Shihab pulang ke Indonesia. Acara kampanye akbar ini ditutup dengan pemutaran video Riziq Shihab. Ia mengajak rakyat memilih calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 serta memilih calon legislatif yang berasal dari partai-partai pengusung Prabowo – Sandi. (Teks: Rizki Akbar Putra/ae)