1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEtiopia

Jejak Gelap Eritrea Dalam Perang Etiopia

9 Maret 2021

Dendam lama diyakini mendorong Eritrea mencampuri konflik di Etiopia. Atas undangan Addis Ababa, Eritrea perlahan memperluas wiayah teritorialnya di Tigray, dengan mengorbankan warga sipil.

Presiden Eritrea, Isayas Afewerki
Presiden Eritrea, Isayas AfewerkiFoto: picture-alliance/dpa

Ketika Eritrea, salah satu negara paling represif di dunia, mengirimkan pasukannya melintasi kawasan perbatasan di utara Tigray, pemantau internasional dan warga lokal melaporkan salah satu delik kejahatan kemanusiaan paling kejam dalam perang saudara di Etiopia.

Tentara dari negeri jiran itu dituduh melakukan pembantaian di sejumlah lokasi, dan menyisakan kerusakan yang kian memanaskan konflik.

Eritrea adalah musuh bebuyutan Fron Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF). Partai yang memiliki angkatan perangnya sendiri itu menguasai politik Etiopia selama hampir tiga dekade, sebelum terdepak ketika Abiy Ahmed menjadi perdana menteri pada 2018.

Eritrea dan TPLF sempat menjalin koalisi pada 1991. Saat itu gerilayawan pemberontak Eritrea membantu TPLF menggusur diktatur Mengistu Hailemariam. 

Tapi setelah Eritrea memerdekakan diri dari Etiopia pada 1993, kedua negara mulai bersitegang ihwal kawasan perbatasan dan jalur dagang.

Awal perpecahan

Pada Mei 1998, pemerintah di Asmara mengirimkan pasukan melintasi perbatasan dan menduduki kota Badme di Tigray. Invasi itu disambut perlawanan oleh milisi TPLF, yang mendapat pasokan senjata dari pemerintah Etiopia.

Pemilihan Abiy pada 2018 memicu perubahan dramatis dalam hubungan dengan jiran di utara. Hanya dalam beberapa pekan, dia dan Presiden Isaias Afwerki menandatangani deklarasi damai.

Pergerakan pengungsi pasca berkecamuknya perang saudara di Tigray, Etiopia.

Perang yang menewaskan sekitar 80.000 orang itu berakhir pada Desember 2000. Tapi kecurigaan dan rasa tidak percaya antara Eritrea dan TPLF menetap. 

Perjanjian damai yang dijalin Etiopia dan Eritrea menempatkan TPLF dalam posisi sulit, terapit di antara musuh di utara dan sekutu yang dianggap membelot di Addis Ababa.

Tapi perdamaian yang melambungkan nama Abiy sampai memenangkan Nobel Perdamaian pada 2019 itu membuahkan ketegangan baru dengan Tigray. Sang perdana menteri melihat TPLF sebagai hambatan utama bagi kebijakan reformasinya. 

TPLF akhirnya keluar dari pemerintahan setelah Abiy membubarkan koalisi dan menggelar pemilihan umum. 

Kejahatan perang

Perang yang dilancarkan Abiy di Tigray turut mengundang campur tangan Eritrea, Bahkan otoritas lokal yang ditunjuk Addis Ababa mengakui keberadaan militer jiran dan meminta agar mereka dipulangkan.

Namun begitu, kedua negara membantah keberadaan serdadu Eritrea di Tigray.  

Organisasi HAM Amnesty International mengatakan pasukan Eritrea membunuh ratusan penduduk di kota Axum. Adapun kantor berita AFP melaporkan, sebanyak 164 penduduk tewas dibantai di desa Dengolat, menurut catatan gereja lokal.

Roland Marchal, pengamat Afrika di Pusat Riset Internasional di Paris, Prancis, menilai Eritrea berusaha mendulang untung dengan "menduduki wilayah yang mereka klaim dan memulangkan paksa pengungsi Eritrea karena dianggap sebagai ancaman. 

Sebelum perang, Tigray menampung 100.000 pengungsi Eritrea yang melarikan diri dari kejaran pemerintah di Asmara. 

PBB melaporkan, dua kamp yang menampung para pengungsi kini sudah hancur. Marchal meyakini Eritrea tidak cuma ingin membalas dendam.

"Jika Anda lihat apa yang mereka lakukan di Eritrea, ada dorongan untuk menjatuhkan hukuman kolektif,” kata dia. "Mereka sibuk mencari ganti rugi dengan membantai populasi warga sipil.”

rzn/hp (afp, rtr)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait