1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Jejak Kolonial Sekolah Rakyat, Kenapa Dihidupkan Lagi?

1 April 2025

Pendidikan adalah hak semua anak, tapi bagaimana jika sekolah justru berpotensi timbulkan segregasi berdasarkan status ekonomi? Sekolah Rakyat usulan pemerintah mengingatkan kita pada kebijakan pemisahan di era kolonial.

Gedung Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Bekasi yang akan difungsikan untuk Sekolah Rakyat
Gedung Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Bekasi yang akan difungsikan jadi Sekolah Rakyat, khusus siswa dari keluarga miskin dan miskin ekstrem.Foto: Wildan Indrawan/DW

Gagasan tentang Sekolah Rakyat mencuat, membawa kita mundur sejenak ke masa kolonialisme di Indonesia. Menurut Wasistohadi dan Theresia Sri Rahayu dalam buku Dinamika Sistem Pendidikan Indonesia (2023), pada masa kolonial Belanda, sistem pendidikan dipisahkan berdasarkan kelas-kelas sosial peserta didiknya.

Salah satu bentuk pemisahan ini adalah keberadaan Volksschool, atau yang secara harfiah berarti Sekolah Rakyat. Ini adalah sekolah dasar khusus bagi para pribumi dengan akses lebih rendah dibanding sekolah elit kolonial.

Perubahan terjadi pada era pendudukan Jepang. Sekolah Rakyat (Kokumin Gakko) diperluas dengan menghapus sekat-sekat sosial ekonomi, tapi institusi ini lebih banyak jadi alat propaganda. Setelah Indonesia merdeka, pada 1946 Sekolah Rakyat resmi berubah menjadi Sekolah Dasar (SD) sebagai bagian dari standarisasi sistem pendidikan nasional.

Namun, hampir 79 tahun setelahnya, pemerintah tampaknya semangat sekali untuk kembali memakai nama Sekolah Rakyat. Kali ini, sekolah ini akan dikhususkan bagi siswa dari golongan keluarga miskin dan miskin ekstrem. Katanya, ini adalah bentuk negara memuliakan masyarakat miskin.

Kenapa konsep sekolah segregasi sosial yang berakar pada masa kolonial ini dihidupkan lagi?

'Sekolah eksklusif' bagi si miskin dan miskin ekstrem

Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Bekasi, Jawa Barat, akan menjadi salah satu lokasi percontohan Sekolah Rakyat. Salah satu bagian dari kompleks seluas 16 hektare ini akan dialokasikan untuk rencana pemuliaan tersebut.

Saat tim DW Indonesia berkunjung ke lokasi pada akhir Maret, beberapa ruangan sudah disiapkan sebagai model awal, meskipun sebagian besar masing kosong. Bentuk gedungnya sendiri sudah seperti gedung sekolah di Indonesia pada umumnya. 

Kepala Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) Bekasi, Wahyu DewantoFoto: Wildan Indrawan/DW

Saat ini, STPL masih berfungsi sebagai pusat rehabilitasi dan pelatihan bagi penyandang disabilitas. Kepala STPL Wahyu Dewanto menjelaskan bahwa jika Sekolah Rakyat mulai beroperasi, layanan tersebut akan dipindahkan ke bagian lain dalam kompleks yang sama.

Dengan fasilitas yang ada, STPL Bekasi diperkirakan dapat menampung 26 kelas dengan kapasitas 20-25 siswa per kelas, serta menyediakan 47 kamar asrama, masing-masing berkapasitas empat tempat tidur.

Dalam keterangan Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf di Istana Kepresidenan Jakarta (10/03), sekolah berasrama ini akan menyasar anak-anak dari keluarga miskin, terutama mereka yang masuk dalam kategori miskin ekstrem. Menurutnya, program ini bertujuan memberikan akses pendidikan yang layak dan gratis, sekaligus memutus siklus kemiskinan.

Penerimaan siswa di Sekolah Rakyat akan didasarkan pada Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), dengan prioritas bagi anak-anak kelompok dengan kondisi ekonomi paling rentan atau kategori desil 1 dan 2.

Sekolah Rakyat direncanakan mulai beroperasi pada Juli 2025 dengan target 100 sekolah di tahun ini. Meski sejumlah bangunan akan memanfaatkan fasilitas yang sudah ada, pemerintah juga membuka kemungkinan membangun gedung sekolah baru di daerah-daerah tertentu. 

Saat ini STPL Bekasi berfungsi sebagai lembaga rehabilitasi dan pelatihan bagi penyandang disabilitas.Foto: Wildan Indrawan/DW

Sekolah Rakyat ini akan berada di bawah Kementerian Sosial, meski disebut-sebut mendapatkan dukungan dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk proses belajar mengajar.

Anak kaum marjinal rentan makin terkucil

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebut kebijakan ini berpotensi membawa Indonesia mundur ke era kolonial. Sebab, konsep Sekolah Rakyat memisahkan siswa berdasarkan status sosial dan ekonomi. Hal ini bisa menciptakan jurang pemisah antara anak-anak dari keluarga kaya dan miskin.

Ubaid berpendapat, keberadaan Sekolah Rakyat akan memunculkan stigma yang merugikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. "Anak-anak dari keluarga miskin akan merasa terkucilkan dan dipandang sebagai warga kelas tiga," ujar Ubaid.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Keberadaan Sekolah Rakyat yang memisahkan anak-anak kelompok miskin juga bisa memperburuk ketimpangan kualitas pendidikan. Siswa yang bersekolah di sekolah rakyat, menurut Ubaid, berpotensi memperoleh pendidikan dengan fasilitas dan sumber daya yang jauh dari standar pendidikan berkualitas yang ujungnya akan mengurangi daya saing. Jika terjadi, kondisi ini malah akan menjauhkan tujuan mengentaskan kemiskinan lewat pendidikan.

Di samping itu, ada tantangan besar yang perlu diwaspadai adalah kerentanan ekonomi dan potensi pemaksaan pada anak. Menurut Ubaid, "Banyak anak dari keluarga miskin, selain sekolah, mereka juga harus membantu orang tua di sawah atau kebun. Kalau mereka harus tinggal di asrama, bisa muncul masalah baru."

Lebih lanjut, banyak keluarga miskin lebih memilih menyekolahkan anak mereka di pesantren atau sekolah berbasis agama. "Pemerintah harus memastikan tidak ada paksaan dan harus memfasilitasi hak anak untuk memilih sekolah yang mereka kehendaki," tambahnya.

Besarnya anggaran untuk Sekolah Rakyat

Sebelumnya, pemerintah sudah meluncurkan program berbiaya besar yang dinamai Makan Bergizi Gratis. Membangun sekolah baru juga perlu biaya yang tidak sedikit.

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, memperkirakan dana pembangunan dan operasional setiap Sekolah Rakyat rata-rata mencapai Rp100 miliar.

Padahal, menurut Ubaid Matraji dari JPPI, jumlah sekolah di Indonesia sudah banyak. "Kita sudah memiliki banyak sekolah yang bisa dimanfaatkan. Anggaran negara bisa digunakan untuk memperbaiki kualitasnya, bukan untuk membangun sekolah baru yang hanya akan menciptakan pemisahan," ujar Ubaid. 

Pakar Kebijakan Pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, mengatakan bahwa membangun sekolah bukan perkara mudah. Di samping itu, ada potensi tumpang tindih sistem pendidikan dengan munculnya konsep Sekolah Rakyat yang berdiri terpisah dari sekolah dasar pada umumnya.

"Sebetulnya, kita tidak perlu mendirikan secara fisik sekolah rakyat. Bentuk sekolah-sekolah yang sudah ada, dijadikan seolah-sekolah rakyat. Tentu ini bertahap dan anak-anak kelompok marjinal diberi jalur khusus, mereka dijamin pembiayaannya," jelas Guru Besar UPI itu.

Menurutnya, pendekatan ini akan lebih efektif dan inklusif, tanpa menambah beban anggaran negara atau memperburuk ketimpangan.

Cecep Darmawan menilai pendekatan ini akan mendorong perbaikan dan standarisasi sekolah-sekolah yang sudah ada tanpa harus memisahkan siswa yang berasal dari keluarga miskin. Dengan begitu, semua siswa dari berbagai latar belakang ekonomi bisa bersekolah bersama, yang memungkinkan terjalinnya interaksi sosial.

Mimpi pendidikan inklusif dan berkeadilan

Konsep pemisahan ini juga berpotensi menyalahi tujuan pendidikan nasional. Ubaid mengingatkan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang setara.

"Ini jelas bertentangan dengan pasal 31 UUD 1945, di mana setiap warga negara, setiap anak Indonesia punya hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas, yang setara, yang inklusif, yang berkeadilan bagi semua." Tegasnya. 

Ia juga menyayangkan ide ini muncul di tengah pendidikan inklusif sudah menjadi paradigma baru di banyak negara. "Sekolah sekarang adalah sekolah inklusif. Anak-anak dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi bisa belajar bersama di sekolah yang sama," ujarnya.

Senada dengannya, Cecep Darmawan menekankan pentingnya pendidikan yang merangkul semua lapisan masyarakat. "Sekolah yang menggabungkan siswa dari berbagai latar belakang ekonomi dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih adil," ujarnya.

Dengan model ini, proses belajar akan semakin inklusif tanpa dibatasi status sosial-ekonomi. Pendekatan ini tidak hanya akan memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga mempromosikan kesetaraan di dunia pendidikan.

Editor: Arti Ekawati

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait