Juri bersiap untuk mempertimbangkan apakah Derek Chauvin bersalah atas kematian George Floyd, pria kulit hitam yang ditangkap atas tuduhan penggunaan uang kertas palsu.
Iklan
Para juri duduk diam, jauh dari sorotan kamera setelah tiga minggu lamanya mendengar kesaksian dalam persidangan terdakwa Derek Chauvin atas kematian George Floyd. Hingga hari Selasa (20/04) para juri belum terlihat, tetapi mereka kini tengah mempertimbangkan putusan yang dengan gelisah dinantikan oleh banyak orang.
Dewan juri yang terdiri dari enam orang kulit putih dan enam orang kulit hitam atau multiras ditetapkan untuk bermusyawarah penuh pertama kalinya. Para juri yang anonim atas perintah hakim ini diasingkan hingga sampai mereka mencapai putusan. Mereka hanya punya waktu beberapa jam setelah hari Senin (19/04) dihabiskan untuk mendengarkan argumen penutup dari Jaksa dan pembela.
Chauvin, 45, didakwa dengan pembunuhan tingkat dua, pembunuhan tingkat tiga, dan pembunuhan tak berencana. Semua ini mengharuskan juri untuk menyimpulkan apakah tindakannya adalah "faktor penyebab substansial"' dalam kematian George Floyd dan apakah penggunaan kekuatan olehnya tidak masuk akal.
Apa argumen jaksa penuntut?
Steve Schleicher, jaksa penuntut di kantor Kejaksaan Agung Minnesota, mengatakan bahwa Chauvin bersalah atas pembunuhan ketika dia menekan leher Floyd dengan lutut selama 9 menit 29 detik dalam percobaan penangkapannya pada Mei tahun lalu.
"Menghadapi George Floyd hari itu tidak membutuhkan satu ons keberanian," kata Schleicher. "Yang diperlukan hanyalah sedikit belas kasih dan tidak ada yang ditampilkan pada hari itu."
Chauvin yang berkulit putih mendorong lututnya ke leher Floyd di luar toko kelontong setelah Floyd mencoba membeli rokok dengan uang palsu pecahan $ 20. Floyd, pria kulit hitam berusia 46 tahun itu telah dalam keadaan diborgol,.
Demo "Black Lives Matter" di Seluruh Penjuru Dunia
Masyarakat di seluruh dunia menuntut kesetaraan ras dan keadilan atas pembunuhan George Floyd yang dilakukan oleh polisi di AS.
Foto: Getty Images/AFP/R. Schmidt
Washington DC, AS
Salah satu aksi unjuk rasa terbesar di AS adalah yang dilakukan di ashington DC. Di ibukota AS ini ribuan warga turun ke jalanan di dekat Gedung Putih yang dilindungi barikade.
Foto: Getty Images/D. Angerer
Berlin, Jerman
Warga di ibukota Jerman duduk dan bungkam selama 8 menit 46 detik - jumlah waktu ketika polisi berkulit putih berlutut pada leher George Floyd sebelum ia kehilangan kesadarannya.
Foto: Getty Images/M. Hitij
Paris, Prancis
Ribuan warga berkumpul di Paris menentang larangan polisi untuk protes dalam skala besar. Kerumunan pengunjuk rasa ini menyorakkan nama Adama Traore, seorang warga kulit hitam yang meninggal dalam tahanan polisi.
Foto: Getty Images/AFP/A.-C. Poujoulat
Liége, Belgia
Meskpiun larangan berkumpul karena virus corona, masyarakat Belgia tetap ikut serta melawan rasisme dan melakukan demo di beberapa kota, misalnya di Brussel, Antwerp, dan Liége.
Foto: picture-alliance/abaca/B. Arnaud
Manchester, Inggris
Para pengunjuk rasa di Manchester mengenakan masker untuk melindungi diri dari penyebaran virus corona.
Foto: Getty Images/AFP/P. Ellis
Wina, Austria
Sekitar 50.000 pengunjuk rasa berkumpul di ibukota Austria, Wina, pada hari Jumat lalu. Itu adalah demonstrasi terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Slogan "Black Lives Matter" juga ditulis di beberapa mobil polisi.
Foto: picture-alliance/H. Punz
Meksiko
Tak hanya pembunuhan George Floyd yang memancing amarah warga Meksiko, tetapi juga nasib Giovanni Lopez, tukang batu yang ditangkap bulan Mei lalu di negara bagian Jalisco Barat dan meninggal karena kekerasan polisi.
Foto: picture-alliance/Zumapress
Lisbon, Portugal
Spanduk para pengunjuk rasa di ibukota Portugal, Lisbon yang bertuliskan "Bertindak Sekarang". Di Portugal, kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam masih sering terjadi.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/J. Mantilla
Sydney, Australia
Unjuk rasa yang dilakukan di Sydney, Australia, dimulai dengan upacara tradisional Aborigin. Setidaknya 20.000 pengunjuk rasa menuntut keadilan untuk George Floyd dan penduduk Aborigin yang menjadi korban kekerasan polisi.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/I. Khan
Tunis, Tunisia
Ribuan pengunjuk rasa di Tunis, Tunisia, meneriakkan "Kami ingin keadilan! Kami ingin bernafas!".
Foto: Getty Images/AFP/F. Belaid
Basel, Swiss
Sekitar 5.000 orang berkumpul di Basel, Swiss, dalam aksi unjuk rasa Black Lives Matter. (fs/yf)
Foto: picture-alliance/KEYSTONE/G. Kefalas
11 foto1 | 11
Rekaman ekstensif video kematian Floyd dari berbagai sudut menjadi inti dari kasus ini. Para juri telah menghabiskan waktu berjam-jam menonton ulang video tersebut di ruang sidang.
"Percayalah pada mata Anda," kata Schleicher. "Kasus ini persis seperti yang Anda pikirkan saat melihatnya pertama kali, saat Anda melihat video itu."
Dia mengatakan kepada anggota juri bahwa Chauvin menggunakan kekerasan yang tidak masuk akal, dan karenanya ilegal, saat menekan tubuh Floyd dan membuatnya kehabisan oksigen.
Dengan napas terakhirnya Floyd meminta tolong, kata jaksa penuntut, tetapi Chauvin tidak memberikan bantuan. "George Floyd bukanlah ancaman bagi siapa pun," kata Schleicher. "Dia tidak mencoba menyakiti siapa pun."
Iklan
Apa kata pembela?
Pembela berpendapat bahwa Chauvin telah bertindak secara wajar tetapi Floyd meninggal karena penyakit jantung dan penggunaan obat-obatan terlarang, bukan akibat tindakan Chauvin.
Berdasarkan undang-undang, polisi diberi keleluasaan tertentu untuk menggunakan kekerasan dan tindakan mereka seharusnya dinilai sesuai dengan apa yang akan dilakukan oleh "petugas yang berakal sehat" dalam situasi yang sama. Poin ini berulang kali ditekankan oleh pembela.
Pengacara utama Chauvin, Eric Nelson, mengatakan dia berperilaku selayaknya "petugas polisi yang masuk akal," dan mengatakan bahwa dia mengikuti aturan pelatihannya selama masa tugas 19 tahun di kepolisian.
"Anda harus memperhitungkan bahwa petugas juga manusia, dapat membuat kesalahan dalam situasi yang sangat menegangkan," tegasnya.
Monumen yang Diturunkan Pengunjuk Rasa Black Lives Matter
Aksi unjuk rasa meminta hak dan keadilan terkait kasus George Floyd serta gerakan Black Lives Matter kian memanas. Beberapa patung sejarawan terkait perdagangan budak di beberapa negara diturunkan oleh pengunjuk rasa.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/G. Spadafora
Edward Colston: pedagang budak dan filantropis
Kontroversi mengenai patung Edward Colston di Bristol sudah menjadi perbincangan bertahun-tahun. Pada 7 Juni, para demonstran merobohkan patung dan melemparkannya ke dalam air. Colston bekerja untuk Royal African Society. Diperkirakan 84.000 orang Afrika diangkut untuk perbudakan; 19.000 dari mereka tewas di perjalanan. Tapi dia diperingati karena dermawan dan menyumbang untuk amal.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/G. Spadafora
Robert Baden-Powell: Pelopor Pramuka
Aktivis menuduh Robert Baden-Powell, pendiri gerakan Pramuka, bersikap rasis, homofobia, dan mengagumi Adolf Hitler. Patungnya berdiri di Pulau Brownsea di Inggris Selatan. Pemerintah setempat kini memutuskan untuk memindahkan patung Baden-Powell sebagai tindakan pencegahan perusakan.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Matthews
Raja Leopold II: Raja era kolonial Belgia
Patung Raja Leopold II di Belgia, yang memerintah negara itu dari tahun 1865 hingga 1909 dan mendirikan rezim kolonial yang brutal di Kongo. Dua dianggap sebagai salah satu pemimpin yang paling kejam dalam sejarah. Para pengunjuk rasa memolesi beberapa patungnya dengan cat. Pihak berwenang memindahkan patung di pinggiran kota Antwerpen, Ekeren, dan memasukan patung tersebut ke gudang museum.
Foto: Reuters/ATV
Christopher Columbus: dihormati dan dicemooh
Di AS juga banyak monumen yang didedikasikan untuk tokoh-tokoh sejarah yang kontroversial. Pengunjuk rasa telah menargetkan Christopher Columbus. Sebuah patung di Boston dipenggal (foto). Kelompok-kelompok pribumi Amerika Utara menolak pemujaan terhadap Columbus karena dianggap merintis penjajahan benua dan genosida penduduk asli.
Foto: Reuters/B. Snyder
Columbus di Amerika Latin: sudut pandang yang berbeda
Beberapa orang melihat Columbus sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sejarah dunia, tetapi bagi banyak orang di Amerika Latin, nama itu berarti awal dari era yang menyakitkan. Dari perspektif penduduk pribumi, kolonialisme Spanyol adalah bab gelap dalam sejarah mereka. Di Amerika Selatan, patung-patung Columbus telah dihancurkan atau dirusak di masa lalu.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Boensch
Jefferson Davis: Presiden perang saudara
Jefferson Davis adalah Presiden Negara Konfederasi Amerika, salah satu pemimpin dalam Perang Saudara abad ke-19 di AS. Para pengunjuk rasa menggulingkan dan mengecat patungnyadi Richmond, Virginia. Ketua DPR AS Nancy Pelosi mendesak agar patung-patung Konfederasi dipindahkan karena itu adalah monumen bagi para pria "yang mendukung kekejaman dan kebiadaban".
Foto: Getty Images/C. Somodevilla
Robert E. Lee: seorang tokoh pemecah belah
Patung Konfederasi lain di Richmond, Jenderal Robert E. Lee, akan diturunkan. Gubernur Ralph Northam telah memberi perintah untuk merobohkan monumen itu. Banyak warga Afrika-Amerika menganggap patung-patung politisi dan tentara Konfederasi sebagai simbol penindasan dan perbudakan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/S. Helber
Nelson Mandela: seorang revolusioner anti apartheid
Presiden pertama Afrika Selatan Nelson Mandela punya berperan penting dalam memberantas rasisme terhadap warga kulit hitam. Patungnya di Inggris ini dipasangkan plakat "Black Lives Matter" oleh para pengunjuk rasa. (fs/hp)
Foto: AFP/J. Tallis
8 foto1 | 8
Mempertimbangkan keadaan yang saat itu dihadapi Chauvin, Nelson mengatakan bahwa menekan leher Floyd adalah "penggunaan kekuatan yang diizinkan." Posisi tengkurap seperti pada saat Floyd ditahan, menurutnya, "secara rutin dilatih dan digunakan oleh departemen kepolisian Minneapolis."
Nelson menambahkan bahwa jaksa telah berbuat salah karena menolak teorinya bahwa keracunan karbon monoksida dari knalpot mobil polisi terdekat mungkin telah menyebabkan kematian Floyd.
Chauvin, yang mengenakan setelan abu-abu dan kemeja serta dasi biru tua menolak untuk bersaksi sendiri, dengan alasan hak amandemen kelima.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Jaringan berita nasional telag melaporkan siaran langsung testimoni lebih dari 40 orang saksi sejak tiga minggu lalu. Para juri sekarang akan diminta untuk mempertimbangkan putusan mereka.
Untuk dakwaan pembunuhan tingkat dua, 12 juri harus setuju bahwa jaksa tanpa keraguan berhasil membuktikan bahwa Chauvin telah melakukan tindak kejahatan yang menjadi penyebab utama kematian Floyd.
Kejahatan seperti ini dapat dihukum hingga 40 tahun penjara, meskipun pedoman hukuman menyerukan masa hukuman yang lebih pendek hingga 15 tahun untuk seseorang yang sebelumnya tidak pernah tercatat menjalani hukuman.
Kasus ini dipandang sebagai gambaran yang lebih luas tentang keadaan interaksi ras di Amerika Serikat. Persidangan ini juga kembali menjadi penting saat seorang petugas polisi Minneapolis menembak mati seorang pengendara kulit hitam, Daunte Wright, pada 11 April, yang memicu protes yang lebih besar.
Pada hari Senin, sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki mengatakan pemerintah Biden telah melakukan "serangkaian percakapan" tentang persiapan untuk putusan yang akan datang "untuk memastikan ada ruang untuk protes damai."