Seni Panahan Kuno Jemparingan Hidup Lagi di Yogyakarta
16 Agustus 2016
Jemparingan adalah seni memanah gaya Mataram yang dulu sering digelar di seluruh wilayah kerayaan kuno Yogyakarta. Sekarang makin banyak anak muda yang tertarik dan ingin belajar.
Iklan
Supadmi, 68 tahun, duduk bersila di bawah terik matari. Perempuan berusia lanjut itu berada di barisan sejumlah pemanah tradisional yang ikut turnamen Jemparingan di Yogyakarta. Pada akhir acara, ratusan anak panah beterbangan menuju langit diiringi gelegar terompet dan gemerincing alat-alat musik. Suasana terlihat meriah.
Manisnya Jawa di Abad Lalu
Dulu Indonesia eksportir gula terbesar kedua di dunia. Kejayaan itu melekat pada tradisi & ritual. Kini di tengah keterpurukan industri gula, tradisi itu masih dijaga. Terutama di Jawa. Rony Zakaria mengabadikannya.
Foto: Rony Zakaria
Panen Tebu
Inilah hari pertama panen tebu di perkebunan Brebes, Jawa Tengah. Indonesia mengimpor 2,5 juta ton gula rafinasi per tahun dan menjadi importir gula terbesar ke-3 di dunia. Seabad lalu Indonesia pernah tercatat sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia.
Foto: Rony Zakaria
Membawa Tebu ke Pabrik
Pekerja membawa tebu ke pabrik sebagai bagian dari upacara Buka Giling di pabrik gula Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, Indonesia. Proyek foto The Sweet Sugar Island, karya fotografer Rony Zakaria ini mengabadikan upacara tradisional pada musim pengolahan gula di Jawa yang pernah jaya.
Foto: Rony Zakaria
Buka Giling
Upacara Buka Giling di pabrik gula Madukismo, Yogyakarta. Upacara ini diadakan untuk membuka musim dan mendapatkan berkah bagi panen tebu dan suksesnya musim penggilingan. Pada musim giling yaitu bulan Mei hingga September, para wisatawan dapat menyaksikan dari dekat proses produksi gula secara langsung.
Foto: Rony Zakaria
Menjadi Tradisi
Penduduk setempat mengenakan busana tradisional Jawa dan berpartisipasi dalam upacara Buka Giling di pabrik gula, Madukismo, Yogyakarta. Selama upacara tradisional ini, para pengunjung bisa melihat kirab tebu temanten dan berbagai acara kesenian lain seperti pasar malam, jathilan atau pertunjukan wayang kulit.
Foto: Rony Zakaria
Hidupkan Kembali Pabrik Dengan Ritual
Pekerja dan staf dari pabrik Madukismo gula mengenakan pakaian tradisional Jawa sedang menunggu pembukaan upacara Buka Giling yang akan memulai musim penggilingan di pabrik. Gula nantinya diolah menjadi gula rafinasi yang dibutuhkan oleh industri makanan dan minuman.
Foto: Rony Zakaria
Terbesar Pada Masanya
Pabrik gula Pandji di Situbondo, Jawa Timur adalah salah satu pabrik gula terbesar pada era pendudukan Belanda. Dari 8 pabrik gula yang beroperasi di ‘kota gula’ itu, kini hanya tersisa empat pabrik. Terdapat sekitar 50 pabrik gula yang masih beroperasi di Jawa, dimana sebagian besar pabrik masih menggunakan teknologi yang sama digunakan ketika pabrik dibangun pada abad lalu.
Foto: Rony Zakaria
Distribusi Gula
Pekerja di pabrik gula Pangka di Tegal, Jawa Tengah mengangkut karung gula untuk didistribusikan ke toko-toko lokal. Pabrik ini didirikan sekitar tahun 1832. Bernilai sejarah tinggi, rata-rata perkakas di pabrik ini masih asli. Pada abad silam Indonesia adalah produsen gula terbesar di dunia setelah Rusia.
Foto: Rony Zakaria
Hanya Tersisa Kolam Renang
Penduduk setempat menghabiskan akhir pekan mereka di kolam renang umum dekat dekat pabrik gula Comal, Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia. Pabrik ini kini terbengkalai. Pabrik gula Comal adalah salah satu yang terbesar yang pernah dibangun di Jawa oleh Belanda. Di masa lalu, kolam renang dibangun untuk warga Belanda dan Eropa yang bekerja di pabrik.
Foto: Rony Zakaria
8 foto1 | 8
Peserta biasanya duduk bersila membentuk dua barisan, menghadap ke Barat. Posisi duduk dengan gaya mataraman. Jarak bandulan panjang yang jadi sasaran tembak sekitar 30 meter. Biasanya ada 20 putaran dan setiap peserta dapat meluncurkan lima anak panah pada setiap putaran.
Bandulan atau sasaran tembaknya adalah irisan serabut bambu yang diikat jadi satu. Ada tiga bandulan dengan panjang sekitar 40 cm. Di belakang bandulan, dipasang karpet karet tebal untuk menahan anak panah yang meleset.
Jemparingan awalnya hanya dimainkan oleh anggota keluarga kerajaan dan orang-orang lain yang dinaggap punya posisi sosial tinggi. Dalam perkembangannya, seni memanah ini menjadi olharaga bagi semua orang.
Tradisi panahan ini dulu selalu dilombakan di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun kemudian peminatnya makin sedikit, dan tradisi seni memanah itu terancam hilang, terutama setelah meninggalnya Paku Alam VIII, salah satu pendukung seni memanah tradisional ini.
Padahal, panahan punya peran penting dalam prestasi internasional Indonesia. Sumbangan medali pertama di pesta olahraga olimpiade untuk Indonesia datang dari nomor panahan, di Olimpiade Seoul 1998.
"Olahraga ini adalah pelatihan untuk karakter, karena kita perlu mencapai kedamaian batin sebelum menembakkan panah," kata Supadmi.
Mengabadikan Kekuatan Supranatural
Men, Mountains and Sea merupakan proyek foto hitam putih Rony Zakaria yang mengabadikan hubungan antara manusia dengan alam. Ia memotret panorama Indonesia dengan ritual berbagai kepercayaan dan penghormatan kepada alam.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2009
Kawah Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok dan Semeru di malam hari, sebelum puncak perayaan Hindu Yadnya Kasada, dimana orang-orang Tengger memohon berkah dari Hyang Widi Wasa, dengan melemparkan sesajen berupa makanan dan hasil panen mereka ke kawah Gunung Bromo.
Foto: Rony Zakaria
Merapi, Jawa Tengah, 2008
Seorang pria berjalan di puncak gunung. Puncak Gunung Merapi, dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai latar belakangnya. Gunung Merapi merupakan salah satu dari lebih 100 gunung berapi aktif di Indonesia.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2012
Para peziarah tengah beristirahat di pinggiran kawah Gunung Bromo. Masyarakat setempat sangat menghormati gunung di pulau Jawa yang dianggap sakral ini.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur 2009
Para pemuka adat Tengger mengumpulkan air suci di air terjun Madakaripura sebagai bagian dari ritual perayaan Yadnya Kasada. Selama festival berlangsung, para warga memohon berkat dari Hyang Widi Wasa dengan memberikan sesajen.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Para wisatawan di pantai Parangtritis menikmati matahari terbenam. Di pantai ini diyakini sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Para pengunjung biasanya tidak disarankan memakai pakaian berwarna hijau, karena ada kepercayaan bahwa mereka yanag berpakaian hijau akan diambil oleh Ratu Pantai Selatan.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Warga Yogyakarta bersembahyang di Pantai Parangkusumo, dalam upacara Labuhan Alit. Mereka memohon jalan keluar dari masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Mulai dari masalah keuangan, karir, keluarga, percintaan dan lain-lain.
Foto: Rony Zakaria
Bali, 2008
Seorang pria di pantai Batubolong Bali sedang mencuci topeng tradisional di laut untuk upacara penyucian. Emas dan mutiara hiasan topeng ini dicuri beberapa waktu sebelumnya. Jadi warga lokal ingin membuang sisa-sisa kejahatan itu dengan melarungkannya di laut.
Foto: Rony Zakaria
Jepara, 2012
Parade perahu nelayan di pantai Jepara dalam ritual “Sedekah Laut“, merupakan tradisi rutin memberikan sesajen kepada penguasa laut. Ritual dipercaya dapat memberikan berkah bagi musim mencari ikan berikutnya.
Foto: Rony Zakaria
8 foto1 | 8
Di Kraton Yogyakarta sekarang ada kegiatan jemparingan yang dilakukan setiap minggu. Dua tahun lalu terbentuk kelompok jemparingan dengan gaya memanah tradisi kerajaan.
"Target kami sekarang adalah generasi muda, dan kami ingin agar tradisi ini jadi sesuatu yang dianggap olahraga keren," kata Agung Sumedi dari grup jemparingan Langenastro, yang mulai melatih anak-anak di bawah 10 tahun.
Jemparingan yang sekarang dilombakan punya sasaran kayu yang dibungkus busa dan kain, membentuk boneka. Panjangnya sekitar 30 cm. Poin terbanyak diraih pemanah jika berhasil mengenai bagian "kepala", yang diberi warna merah. Kalau tepat mengenai sasaran, bel dibunyikan untuk memberi sinyal kepada pemanah, dia berhasil mengenai sasaran.
Jemparingan bukan hanya latihan fisik, tetapi juga latihan bagi jiwa. Dalam bentuk yang paling tradisional, busur panah ditarik ke dada, bukan bukan dagu atau mulut seperti dalam gaya modern. Metode tradisional perlu banyak ketenangan dan konsentrasi.
Turnamen akhirnya dimenangkan oleh Supadmi. Dia mendapat piala dan uang tunai Rp. 500.000. Dia juga mendapat bonus seekor ayam hidup, karena tepat mengenai sasraan tiga kali berturut-turut.
"Kita harus menjaga agar tradisi ini hidup terus," kata dia.
Pasola: Darah yang Tumpah Menyambut Panen
Pasola digelar setiap tahun di Sumba, merupakan salah satu tradisi paling berdarah. Masyarakat meyakini, darah yang tumpah dari pertempuran menjamin baiknya hasil panen mendatang. Mohammad Fadli mengabadikan ritual itu
Foto: Muhammad Fadli
Terpencil
Di Sumba barat, warga menggelar permainan Pasola di kampung-kampung terpencil seperti misalnya di Kodi dan Wonokaka. Tradisi turun-temurun ini dilakukan sebagai penghormatan kepada leluhur, yang diyakini akan membawa kesuburan dan kemakmuran bagi lahan pertanian setempat.
Foto: Muhammad Fadli
Tradisi Kuno
Pasola adalah sebuah tradisi kuno dari Sumba. Aktivitas ini dikategorikan sebagai olahraga ekstrim sekaligus budaya ritual. Pasola digelar rutin setiap tahun untuk menyambut musim panen. Di medan perang, prajurit Pasola menunggang kuda dan menggunakan tombak sebagai senjata mereka. Namun, kecelakaan fatal masih sering terjadi.
Foto: Muhammad Fadli
Kuda Sumba
Johanes Ndara Kepala, adalah seorang ksatria kawakan Pasola. Dia memandikan kudanya di Sungai Waiha, dekat desanya Waingapu, Kodi. Sumba adalah salah satu pusat penangkaran kuda yang terbaik di Indonesia.
Foto: Muhammad Fadli
Doa dan Berkat
Sebelum dimulainya pertempuran, kuda harus diberkati oleh Rato (tetua adat spiritual Sumba). Upacara Pasola ini terjadi hanya sekali dalam setahun, pada bulan Februari atau Maret. Tanggal tepatnya diputuskan oleh para pemimpin spiritual yang diumumkan satu atau dua minggu sebelum festival, menjelang musim panen.
Foto: Muhammad Fadli
Mantra dan Tombak Melesat
Seorang ksatria Pasola membedal kudanya sebelum melempar tombak ke arah musuh. Pasola bergerak seiring irama kuno. Diawali dengan mantra. Kemudian berdoa kepada para dewa dan melakukan perembukan hingga akhirnya tombak pun terbang.
Foto: Muhammad Fadli
Hari Suci
Massa berkumpul di sisi arena Pasola di Kodi. Banyak warga di daerah ini percaya pada ritual kuno yang disebut Marapu. Hari-hari di sekitar acara Pasola dianggap sebagai hari suci. Banyak dari mereka berasal dari desa-desa yang jauh dan khusus datang ke Kodi untuk menonton Pasola.
Foto: Muhammad Fadli
Para Ksatria Pemberani
Seorang prajurit Pasola bersiap untuk melemparkan tombaknya ke arah musuh. Pasola berasal dari kata Sola atau Hola berarti semacam lembing yang digunakan dengan cara dilempar ke arah lawan yang juga sama-sama menunggang kuda. Penunggang kuda untuk ritual ini biasanya laki-laki terampil berpakaian adat.
Foto: Muhammad Fadli
Tombak Menghantam Lawan
Seorang prajurit Pasola terkena tombak musuh. Aksi sengit yang amat melelahkan. Jika prajurit tak hati-hati, ia bisa terkena tombak lawan dan terjatuh dari kuda.
Foto: Muhammad Fadli
Pemenang
Seorang ksatria Pasola merayakan kejayaannya. Pasola menjadi perpaduan unik budaya dan olahraga. Suasana sangat meriah – penonton kadang-kadang agresif, suara penonton mengiringi suara kuda dan tombak yang terbang di udara.
Foto: Muhammad Fadli
Menanti Darah Tumpah
Sorak-sorai kerumunan penonton bergemuruh saat jagoan mereka memukul mundur musuh. Meskipun tombak kayu tidak lagi diasah setajam mungkin, terjadinya cedera serius masih menjadi bagian dari pertempuran. Di lain pihak, masyarakat percaya, darah yang jatuh ke bumi dalam acara Pasola merupakan hal penting dalam pembersihan dan pemurnian lahan pertanian.
Foto: Muhammad Fadli
Mengorbankan Mata
Kuda berderap dengan kecepatan penuh dan ksatria melemparkan tombak sekuat tenaga. Pasola cukup berbahaya bagi pesertanya. Foto ini adalah contohnya: salah seorang prajurit Pasola yang mata kirinya hampir buta karena pertempuran. Tapi, tidak akan ada balas dendam antara peserta setelah Pasola berakhir.
Foto: Muhammad Fadli
Generasi Berikutnya
Dua calon ksatria muda Pasola dari Tosi, Kodi mulai berlatih. Tradisi rakyat terus berlanjut. Mereka mengatakan tidak takut mati. Karena mereka percaya, kematian adalah pintu gerbang ke sebuah kerajaan yang kekal, di mana nenek moyang mereka tinggal.