Jepang Dikecam karena Kebijakan Pengungsinya Tidak Konsisten
28 Mei 2022
Memiliki sejarah panjang dalam menolak penungsi, Jepang dengan cepat membuka perbatasannya untuk pengungsi Ukraina. Apa yang melatarbelakangi keputusan pemerintah Jepang membuka pintu bagi pengungsi Ukraina?
Iklan
Pemerintah Jepang dengan cepat mengumumkan kebijakan untuk menerima lebih dari 1.000 pengungsi asal Ukraina. Namun kebijakan itu mendapat kritik dari banyak pihak. Selama ini pemerintah Jepang dinilai kurang bersedia membuka pintu negaranya bagi orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan dari negara di sekitar Jepang.
Kelompok hak asasi manusia menilai hal ini sebagai standar ganda yang harus segera diakhiri. Jepang perlu memenuhi kewajiban internasional dalam memberikan bantuan kepada pengungsi dari zona perang lainnya.
Menurut Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi, hampir 6,6 juta orang Ukraina telah meninggalkan tanah air merekasejak invasi Rusia pada 24 Februari. Lebih dari 3,5 juta telah melintasi perbatasan ke Polandia, sementara yang lain telah menemukan perlindungan di negara-negara tetangga lainnya, termasuk Rumania, Hongaria dan Slovakia.
Enam hari setelah invasi, Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, mengumumkan bahwa Jepang akan menerima pengungsi dari Polandia. Hal ini dilakukan Jepang sebagai upaya untuk mengurangi tekanan di Warsawa. Kebijakan itu kemudian diwujudkan dengan menerbangkan pengungsi yang mayoritas perempuan dan anak-anak ke Jepang sejak akhir Maret.
Menetap di Jepang
Jepang memberikan visa 90 hari bagi pendatang baru dari Ukraina dan kesempatan untuk beralih ke visa selama satu tahun setelah mereka mendapatkan pekerjaan. Layanan dukungan juga disediakan, termasuk informasi tentang pekerjaan, akomodasi, kelas bahasa, sekolah untuk anak-anak, dan situs web tempat mereka dapat memperoleh pakaian, perabotan, dan peralatan rumah tangga.
Pengungsi juga memenuhi syarat untuk pembayaran satu kali sebesar 1.200 euro per orang atau sekitar 18,7 juta rupiah. Selain itu para pengungsi juga mendapatkan biaya hidup sehari-hari sekitar 17 euro atau sekitar 265 ribu rupiah.
"Kami percaya ini adalah pendekatan yang baik dan kami mendukung tindakan pemerintah," kata Daisuke Sugimoto, sekretaris jenderal Jaringan Pengacara Jepang untuk Pengungsi yang berbasis di Tokyo.
"Kami melihat bahwa orang Ukraina diterima di komunitas di seluruh Jepang dan orang-orang di sini melakukan segala yang mereka bisa untuk membantu mereka," katanya kepada DW.
"Sangat disayangkan pemerintah Jepang tidak melakukan hal yang sama terhadap para pencari suaka dan pengungsi dari negara lain, orang-orang yang berusaha melepaskan diri dari perang saudara atau konflik di Afghanistan, Myanmar, Suriah dan tempat-tempat lain.”
Apa Persepsi Para Kartunis tentang Perang di Ukraina?
Perang di Ukraina menjerumuskan dunia ke dalam kekacauan. Tragedi itu mendorong para kartunis bereaksi terhadap situasi perang. Inilah beberapa karya yang ditampilkan dalam sebuah pameran di Dortmund, Jerman.
Evolusi senjata
Orang semula berpikir, umat manusia akan hidup berdampingan secara damai selama ribuan tahun. Namun, seniman Uzbekistan Makhmud Eshonkulov memiliki pandangan berbeda. Dia menggambarkan evolusi dari seekor monyet hingga akhirnya jadi seorang prajurit modern dengan senjata presisi berteknologi tinggi.
Gudang senjata yang sangat lengkap
Perang tidak lagi dilakukan hanya dengan senjata konvensional. Propaganda di semua lini adalah bagian dari perang modern. Dalam karyanya yang berjudul "Modern Weapons," ilustrator Kuba Miguel Morales menggambarkan media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Instagram sebagai tombol dalam sebuah koper. Kata sandinya adalah "fake.news."
Rusia yang tak pernah puas
Seperti Ukraina, Lituania pernah berada di dalam Uni Soviet sampai negara ini deklarasikan kemerdekaan tahun 1990. Di bekas "negara saudara" itu, orang tahu apa yang membuat Rusia tergerak. Kartunis Kazys Kestutis Siaulytis dari Lituania menggambarkan kerangka ikan berwarna bendera Rusia memakan bendera Ukraina, menunjukkan kekhawatiran, kelaparan Vladimir Putin akan menyebar ke negara lainnya.
Slogan “Make Love, Not War”
Sejak tentara Rusia menginvasi Ukraina, protes terhadap perang agresi yang brutal itu marak di seluruh dunia. Namun, mereka melakukan protes dengan sia-sia, kata seniman Turki Menekse Cam lewat ilustrasinya yang menggambarkan malaikat pencabut nyawa sedang bermain golf saat massa memprotes di balik pagar.
Demi cinta NATO
Ukraina cukup lama memiliki hubungan dekat dengan Rusia. Namun, kemerdekaan negara itu tidak sesuai dengan pandangan Presiden Vladimir Putin. Kartunis Amer dari Uni Emirat Arab menggambarkan Ukraina sebagai seorang gadis kecil yang melihat ke arah NATO, sementara Rusia menariknya ke arah lain.
Meja Putin
Di tatanan diplomatik, politisi dari negara-negara Barat terus berusaha mengajak Presiden Rusia Vladimir Putin ke meja perundingan. Meja panjang Putin, di mana dia menjaga jarak dengan banyak pemimpin, menuai komentar publik. Dari sudut pandang kartunis Jerman Agostino Tale, satu-satunya hal yang penting bagi Putin adalah bayangannya sendiri.
Pengungsi kelas satu?
Masyarakat Ukraina berbondong-bondong melarikan diri dari perang dan Uni Eropa menyambut mereka dengan tangan terbuka. Terlepas dari simpati terhadap para pengungsi, karya seniman Filipina Zach menyiratkan standar ganda sedang diterapkan, di mana pengungsi Ukraina lebih mudah diizinkan memasuki UE karena warna kulit mereka. (ha/as)
7 foto1 | 7
'Sebuah keputusan politik'
Sugimoto mengatakan pemberian akses ke Ukraina adalah "keputusan politik terkait dengan kebijakan luar negeri Jepang di Ukraina, bukan keputusan berdasarkan pertimbangan dan kebutuhan kemanusiaan."
Kelompok peduli pengungsi di Jepang mengatakan persyaratan bagi seseorang untuk diberikan status pengungsi sulit dipenuhi, terutama dokumen yang membuktikan penganiayaan di tanah air mereka serta kesaksian tertulis dari para saksi.
Akibatnya, sebagian besar diperlakukan sebagai migran ekonomi dan ditahan di pusat-pusat penahanan sampai mereka dapat dideportasi, suatu proses yang dapat memakan waktu beberapa tahun karena pemohon mengajukan banding terhadap keputusan pemerintah.
Sugimoto mengatakan kehidupan bisa "sangat sulit" bagi pengungsi di Jepang. Meskipun para pengungsi diizinkan meninggalkan gedung detensi imigrasi, namun mereka tidak memiliki izin untuk bekerja dan mencari penghidupan. Kementerian Kehakiman Jepang yang mengawasi kebijakan imigrasi, menolak mengomentari peraturan seputar pengungsi.
Eri Ishikawa, ketua Asosiasi Pengungsi Jepang, mengatakan pemerintah Jepang terlalu sering gagal untuk melihat pengungsi dan pencari suaka sebagai orang yang telah menjadi sasaran penyiksaan atau pelecehan atau sebagai individu yang hidupnya dalam bahaya. Pemerintah Jepang cenderung melihat hal ini sebagai kelompok "yang perlu dikendalikan."
"Ini adalah kebijakan kontrol imigrasi daripada menemukan cara untuk membantu orang-orang ini, dan itu sangat berbeda dengan negara lain," katanya, seraya menambahkan bahwa Jepang tidak memiliki ketentuan hukum yang secara tegas melarang xenofobia atau diskriminasi rasial. Hal ini menyulitkan bagi kelompok hak asasi manusia untuk mendorong perlakuan yang lebih baik terhadap pengungsi asing.
Iklan
Mengubah sikap
Ishikawa mengatakan dia merasa termotivasi dengan cara di mana orang Jepang biasa telah berusaha keras untuk membantu orang Ukraina menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Dia berharap bahwa sekarang masyarakat sipil Jepang telah menyaksikan, melalui liputan media yang luas tentang apa yang telah dialami para pengungsi. Ishikawa berharap akan terbukanya kesempatan yang lebih besar untuk para penyintas konflik dari negara lain dapat mencari suaka ke Jepang.
"Banyak orang Jepang sekarang telah melihat apa yang terjadi di Ukraina ... jadi mereka benar-benar memahami penderitaan orang-orang ini," Ungkap Ishikawa. Dia menambahkan bahwa penelitian menunjukkan bahwa mayoritas orang di Jepang sekarang mendukung lebih banyak orang Ukraina diizinkan masuk ke negara itu.
"Giliran organisasi seperti kami untuk menjelaskan kepada orang Jepang bahwa lebih banyak orang hidup dalam situasi yang sama berbahayanya di bagian lain dunia, dan lebih banyak yang harus dilakukan untuk membantu mereka," seru Ishikawa. "Apa yang terjadi di banyak tempat sangat memilukan, tetapi saya berharap apa yang terjadi di Ukraina dapat membantu mengubah sikap orang Jepang biasa terhadap pengungsi," tambahnya. (rs/yf)
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)