Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, akan melawat ke negara anggota G7 demi memperdalam aliansi militer. Kebijakan itu adalah bagian dari doktrin pertahanan baru yang semakin menjauh dari tradisi pasifisme Jepang.
Iklan
PM Fumio Kishida menemui wartawan setelah melawat ke Kuil Ise, Rabu (4/1), menjelang tur kunjungan ke negara-negara anggota G7 yang akan dimulai Senin (9/1) depan lawatan ke Washington, AS.
Kishida mengaku, dalam lawatannya itu dia ingin memperdalam hubungan dengan AS, searah dengan Strategi Keamanan Nasional baru yang diadopsi pemerintah Jepang Desember silam.
Jepang akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Hiroshima pada pertengahan Mei mendatang. Dia mengatakan pertemuan dengan Presiden AS, Joe Biden, akan bersifat "sangat penting” dan "lebih signifikan ketimbang cuma sekedar bertatap muka sebagai presiden G7,” ujarnya.
"Kami akan demonstrasikan kepada dunia sebuah aliansi yang semakin kuat dan menjadi pondasi kebijakan keamanan dan diplomasi Jepang,” kata Kishida. "Kami juga akan membuka diri terhadap kerja sama demi mewujudkan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.”
Belanja alutsista
Dalam cetak biru pertahanan Jepang yang baru, Tokyo mencabut pembatasan dalam konstitusi Jepang yang melarang militer membangun kapasitas serang, seperti memiliki rudal interkontinental atau rudal hipersonik.
Iklan
Jepang kini mencanangkan pembelian ratusan peluru kendali jarak jauh Tomahawks dan sejumlah rudal berdaya jelajah tinggi lain dari AS. Sistem itu diniatkan untuk memperkuat garis pertahanan di pesisir barat daya yang bersebrangan langsung dengan Taiwan.
Media-media Jepang melaporkan Kishida juga akan berkonsultasi dengan Biden terkait langkah bersama merespons skenario invasi Cina di Taiwan.
Kedua kepala pemerintahan juga akan bertemu dalam rapat konsultasi ekonomi dan keamanan antara AS dan Jepang pada 13 Januari mendatang.
Kishida selanjutnya dijadwalkan melawat ke Prancis, Italia, Inggris dan Kanada dalam safari politik yang berlangsung antara tanggal 9 dan 15 Januari, menurut kemenlu di Tokyo.
Menengok Kamp Pelatihan Unit Angkatan Laut Paling Elit Taiwan
Diterima di unit elit Pengintaian dan Patroli Amfibi Taiwan (ARP) sama sulitnya dengan menjadi pasukan SEAL Angkatan Laut Amerika Serikat. Para kandidat harus lolos ujian dan pelatihan berat selama beberapa pekan.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Tangguh seperti pasak baja
Program pelatihan bagi mereka yang ingin bergabung dengan unit angkatan laut elit Taiwan berlangsung selama 10 minggu. Tahun ini, 31 peserta lolos tes untuk mengikuti program ini, tetapi hanya 15 orang yang akan diterima. Di pangkalan angkatan laut Zuoying di Taiwan selatan, tubuh dan jiwa benar-benar diuji — satu latihan mengharuskan peserta tidur di atas beton yang dingin.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Disiram air dingin
Setelah menghabiskan sepanjang hari di laut, peserta pelatihan disiram dengan air dingin. Lelah dan gemetar, mereka berdiri di dermaga. Tujuan dari kamp pelatihan ini adalah untuk menempa para peserta mengembangkan kemauan yang kuat. Tidak peduli seberapa sulit misi mereka, kesetiaan terhadap rekan-rekan mereka, dan angkatan laut harus teguh.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Latihan berat di pantai
Yu Guang-Cang ikut dalam latihan di pantai. Sepintas terlihat seperti latihan senam bis. Namun, sebetulnya peserta melakukan latihan berat, mulai dari "long march" hingga berjam-jam dan latihan di dalam air. Instruktur mereka memiliki reputasi sebagai orang yang tegas tanpa kompromi. Waktu istirahat pendek dan jarang. Sering kali hanya ada waktu untuk minum seteguk dan ke toilet.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Cat perang
Seorang peserta pelatihan berjuang melawan kelelahan saat dia diolesi cat kamuflase. Semua peserta ikut secara sukarela. Kebanyakan ingin menguji coba batas ketangguhannya. Pelatihan ini dimaksudkan untuk mensimulasikan tantangan berat perang. Komandan angkatan laut mengharapkan, para peserta dapat difungsikan ketika keadaan menjadi sangat gawat.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Hanya semangat baja yang lulus
Para kandidat menghabiskan sebagian besar waktu mereka di laut atau kolam renang. Mereka harus belajar menahan napas untuk waktu yang cukup lama, berenang dengan peralatan tempur lengkap, dan menyerbu pantai dari laut. Sering kali untuk aksinya kaki dan tangan mereka diikat. Latihan ini bukan untuk mereka yang cengeng.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Mendekati batas peregangan
Para peserta tidak hanya harus lulus tes kekuatan dan daya tahan, mereka juga menghadapi beberapa latihan peregangan ekstrem. Ou Zhi-Xuan yang berusia 25 tahun menangis kesakitan saat dia diregangkan mendekati batas kelenturan. Jika ada yang melawan instruktur saat berada di bawah tekanan berat, mereka segera dikeluarkan dari program ARP.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Dihina dan dilecehkan
Tentu saja, para kandidat harus berlatih sambil mengenakan perlengkapan tempur. Mereka harus menghadapi semburan pelecehan dan penghinaan dari instruktur unit elit angkatan laut. Pesrta mendapat istirahat satu jam setiap enam jam. Selama waktu ini, mereka harus makan, biasanya bawang putih untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh, mendapatkan bantuan medis, pergi ke toilet, dan tidur.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Jalan berbatu menuju surga
Latihan terakhir disebut "jalan menuju surga." Peserta pelatihan harus mengatasi rintangan yang unik. Mereka dipaksa untuk merangkak, praktis telanjang, di jalan berbatu, dan melakukan push-up, meskipun mereka sudah lelah dari minggu-minggu sebelumnya. "Saya tidak takut mati," kata salah satu peserta pelatihan, Fu Yu, 30 tahun.
Foto: ANN WANG/REUTERS
Diberi selamat dengan bunyi lonceng
Xu De-Yu menandai akhir dari kamp pelatihan ARP dengan membunyikan lonceng. Dia adalah salah satu yang "beruntung" lulus ujian. "Tentu saja, kami sama sekali tidak akan memaksa siapa pun, semua orang ada di sini secara sukarela," tegas instruktur Chen Shou-lih, 26. Pesannya kepada para peserta: "Kami tidak akan menyambut Anda bergabung begitu saja, hanya karena Anda ingin datang." (rs/as)
Foto: ANN WANG/REUTERS
9 foto1 | 9
Perang teknologi
Biden dan Kishida juga diagendakan melakukan pembahasan program nuklir dan rudal balistik Korea Utara. Keduanya terutama mengkhawatirkan prospek uji coba senjata nuklir oleh Pyongyang.
"Presiden Biden akan menegaskan dukungan kuatnya bagi Strategi Keamanan Nasional yang baru diadopsi Jepang,” kata juru bicara Gedung Putih, Karine Jean-Pierre.
Sejak era Presiden Donald Trump, AS memindahkan fokus keamanan dari Timur Tengah ke Selat Taiwan dan Semenanjung Korea.
"Mereka juga akan fokus membahas keamanan ekonomi terkait Cina, termasuk kerja sama dalam pembatasan ekspor bagi teknologi sensitif seperti semikonduktor,” kata Christopher Johnstone, direktur program Jepang di Center for Strategic and International Studies di Washington.
Pada Desember silam, Kementerian Perdagangan AS menempatkan 36 perusahaan Cina dalam daftar hitam transfer teknologi.
Keputusan itu diambil untuk membatasi "upaya Cina mengembangkan teknologi tinggi, termasuk kecerdasan buatan, untuk modernisasi militernya dan juga terkait pelanggaran HAM lain,” tulis kementrian perdagangan AS seperti dilansir AFP.
Penempatan dalam daftar hitam mengharamkan perusahaan Cina membeli desain atau teknologi semikonduktor milik AS. Dari 36 perusahaan yang dikenai sanksi, 21 di antaranya bergerak di sektor riset dan desain chip kecerdasan buatan yang berkaitan dengan industri pertahanan Cina.