1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BencanaAsia

Satu Dekade Bencana Nuklir Fukushima

11 Maret 2021

Greenpeace sebut upaya penonaktifan PLTN Fukushima yang lumpuh dihantam tsunami sia-sia. Meski pemerintah telah menyatakan aman, penduduk setempat khawatir kembali ke wilayah yang berada di bawah semburan radioaktif.

Para pekerja berjalan di dekat gedung reaktor di PLTN Fukushima Daiichi (01/03/2021)
Para pekerja berjalan di dekat gedung reaktor di PLTN Fukushima Daiichi (01/03/2021)Foto: Sakura Murakami/REUTERS

Jepang memperingati 10 tahun bencana alam paling merusak dalam catatan sejarah. Gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter mengguncang pesisir timur negara itu dan memicu terjadinya kebocoran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima.

Operator PLTN Fukushima Daiichi mengatakan bahwa upaya menonaktifkan reaktor tersebut pun sesuai jadwal. Namun, gerakan anti-nuklir mengkritik hal itu dan bersikeras bahwa rencana Tokyo Electric Power Co. (TEPCO) untuk menyelesaikan penonaktifan tiga reaktor yang hancur tidak memiliki "prospek sukses dan delusi."

Masyarakat yang tinggal di daerah yang pada Maret 2011 itu secara langsung terkena semburan radioaktif mengatakan hidup mereka telah berubah selamanya dan tidak dapat diperbaiki.

Gempa yang terjadi pada 11 Maret 2011 sore tersebut, merupakan gempa terkuat keempat di dunia sejak pencatatan modern dimulai pada tahun 1900, menyebabkan serangkaian tsunami. Gelombang air dengan ketinggian lebih dari 40 meter menghantam beberapa tempat di pesisir timur laut Jepang.

Foto ledakan PLTN Fukushima pada 15 Maret 2011Foto: ABC TV/dpa/picture alliance / dpa

'Orang tidak boleh diberi tahu bahwa aman untuk kembali'

Tsunami merusak tembok penghalang dan membanjiri bagian bawah empat dari enam bangunan reaktor PLTN Fukushima. Akibatnya, generator darurat gagal menjaga pompa air untuk mengalirkan air dingin untuk reaktor. Inti reaktor yang terlalu panas menyebabkan tiga unit mengalami kerusakan, dengan operasi unit keempat ditangguhkan untuk perawatan pada saat bencana terjadi.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, pemerintah memerintahkan evakuasi lebih dari 154.000 orang yang tinggal di kota dan desa sekitarnya. Rencana secara diam-diam dibuat untuk mengevakuasi sebagian besar wilayah utara Jepang jika satu atau lebih ruang reaktor melepaskan radiasi dalam jumlah besar ke atmosfer.

Namun, skenario itu tidak pernah terjadi. Bencana Fukushima digolongkan sebagai kecelakaan nuklir paling serius kedua dalam sejarah, setelah bencana Chernobyl. Para ahli memperkirakan bahwa sekitar 18.000 terabecquerel radioaktif cesium-137 dilepaskan ke Samudra Pasifik, bersama dengan jumlah yang bervariasi dari strontium, kobalt, yodium, dan radionuklida lainnya.

Nobuyoshi Ito, salah seorang warga, mengabaikan permintaan dari pihak berwenang untuk meninggalkan rumahnya di pinggiran kota Iitate setelah bencana satu dekade lalu. Dia bersikeras bahwa dia sudah tua, bahwa radiasi tidak akan mempengaruhi umur panjangnya, dan bahwa dia harus tetap menjadi subjek uji manusia.

Ia kini berusia 76 tahun dan telah menghabiskan satu dekade terakhir memantau tingkat radiasi di perbukitan sekitarnya, serta pada tanaman yang dia tanam serta buah dan sayuran liar.

"Tiga tahun lalu, mereka mencabut perintah evakuasi dan mereka mendorong orang untuk kembali sejak saat itu," katanya kepada DW. "Saya telah mencatat tingkat radiasi sejak kecelakaan itu dan sudah pasti turun, tetapi tanah di sini akan terkontaminasi selama bertahun-tahun yang akan datang. Orang tidak boleh diberi tahu bahwa aman untuk kembali karena saya tidak percaya."

Proyek penonaktifan nuklir yang kompleks

Akira Ono, Kepala PLTN Fukushima, mengatakan dalam sebuah wawancara pekan ini bahwa tidak perlu ada revisi target penyelesaian pekerjaan untuk menonaktifkan reaktor, yang telah ditetapkan antara 2041 dan 2051.

"Kami akan tetap berpegang pada target penyelesaian 30 sampai 40 tahun dan akan menyusun garis waktu dan teknologi serta rencana pengembangan yang sesuai," katanya kepada Associated Press.

Data baru menunjukkan bahwa tingkat cesium di ruang penahanan utama dari dua reaktor jauh lebih tinggi daripada yang diyakini sebelumnya, yang mana akan memperumit pekerjaan penonaktifan. Selain itu, masih banyak sisa material yang yang harus ditemukan dari inti reaktor yang meleleh yang jatuh ke dasar ruang penahanan dari tiga reaktor.

Meskipun tidak ada proyek penonaktifan nuklir skala Fukushima yang pernah dicoba sebelumnya dan di beberapa daerah, serta teknologinya belum dikembangkan untuk memungkinkan pekerjaan itu selesai, TEPCO bermaksud untuk terus maju dengan upayanya dan itu akan dilakukan salah satunya dengan merilis peta jalan penonaktifan yang diperbarui sebelum akhir bulan ini.

Satu dekade penipuan dan khayalan?

Shaun Burnie, seorang pengamat nuklir untuk Greenpeace Asia Timur, menegaskan tidak ada kemungkinan jadwal TEPCO dipenuhi dan bahwa pihak berwenang terus mengabaikan risiko terhadap kehidupan masyarakat.

"Pemerintah berturut-turut selama 10 tahun terakhir ... telah berusaha untuk melakukan mitos tentang bencana nuklir," katanya dalam sebuah pernyataan kepada DW. "Mereka berusaha menipu rakyat Jepang dengan salah menggambarkan keefektifan program dekontaminasi dan mengabaikan risiko radiologis."

Pada saat yang sama, mereka terus mengklaim bahwa reaktor Fukushima Daiichi dapat dikembalikan ke status 'greenfield' pada pertengahan abad," katanya. "Dekade penipuan dan khayalan di pihak pemerintah dan TEPCO harus diakhiri. Sebuah rencana penonaktifan baru tidak bisa dihindari, jadi mengapa membuang lebih banyak waktu dengan fantasi saat ini?" tanya Burnie.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace, hanya 15% dari 840 kilometer persegi wilayah yang diidentifikasi paling terkontaminasi dari dampak nuklir yang telah didekontaminasi. Sedangkan kota Namie dan Iitate, yang diumumkan pemerintah aman untuk pengungsi kembali, masih memiliki radiasi di atas tingkat aman.

Burnie mengatakan "pemikiran ulang mendasar dalam pendekatan dan rencana baru" untuk penonaktifan PLTN tersebut diperlukan. Pilihan paling tidak buruk, menurut Greenpeace, adalah menyimpan semua materi yang telah terkontaminasi radiasi di lokasi tanpa batas waktu, termasuk sisa-sia bahan bakar nuklir bekas.

"Fukushima Daiichi sudah dan harus tetap menjadi tempat penyimpanan limbah nuklir untuk jangka panjang," pungkasnya.

Wisata Radiasi Nuklir di Fukushima

01:05

This browser does not support the video element.

(Ed: rap/gtp)

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait