Jerman setuju menampung 1.000-1.500 pengungsi anak-anak dari Suriah yang saat ini terjebak di Turki. Kebanyakan adalah bocah perempuan yang berkebutuhan khusus atau tidak memiliki orangtua dan wali.
Iklan
Pemerintah Jerman mengaku akan menampung pengungsi anak-anak yang terdampar di Yunani dengan "jumlah yang pantas." Keputusan tersebut diambil dalam rangka kesepakatan dengan sejumlah negara Uni Eropa lain.
"Ketertiban dan kemanusiaan buat kami saling melengkapi. Sebab itu kami ingin membantu Yunani dalam situasi kemanusiaan yang suluit ini dengan menampung 1000 sampai 1500 anak-anak" begitu bunyi dokumen kesepakatan antara dua partai pemerintah, CDU dan SPD.
Pengungsi anak-anak yang akan ditampung merupakan pengidap penyakit serius, atau mereka yang membutuhkan layanan medis, tidak memiliki wali atau lebih muda ketimbang 14 tahun. Kebanyakan adalah bocah perempuan.
Para pencari suaka di Turki saat ini membanjiri perbatasan dengan Yunani usai Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan akan membuka perbatasan untuk membiarkan pengungsi menyebrang ke negeri jiran.
EU Tidak Ingin Ditekan
Ketua Umum Partai Uni Kristen Demokratik (CDU), Annegret Kramp-Karrenbauer, mengindikasikan Prancis kemungkinan akan ikut bergabung dengan koalisi UE demi menampung gelombang baru pengungsi dari Turki.
Keputusan Turki diambil menyusul pertempuran hebat di kawasan Idlib, Suriah, yang memicu tsunami pengungsi baru. Sejauh ini negeri di antara dua benua itu sudah menampung 3,5 juta pengungsi Suriah dengan bantuan dana senilai miliaran Euro yang disediakan Uni Eropa. Dana itu dimaksudkan agar Turki menghentikan gelombang pengungsi ke Eropa.
Namun menyusul situasi keamanan yang memburuk, Erdogan mengaku pihaknya tidak mampu lagi menampung gelombang baru pengungsi, kecuali mendapatkan tambahan dana bantuan dari Uni Eropa. Namun pekan lalu Dewan Hubungan Luar Negeri UE mengatakan tidak akan memberikan uang tambahan di bawah tekanan Ankara.
Krisis Kemanusiaan di Idlib
Erdogan dijadwalkan bakal bertemu dengan pemimpin Uni Eropa di Brussels pada Senin, (9/3). Menurut seorang jurubicara Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, Turki dan UE akan membahas beragam isu, antara lain migrasi, keamanan, stabilitas di kawasan dan krisis di Suriah.
Pekan lalu Erdogan sudah bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membahas gencatan senjata di Idlib. Rusia merupakan sekutu pemerintah Suriah, sementara Turki menyokong kelompok pemberontak, Tentara Pembebasan Nasional (NLA). Kedua negara sepakat menggelar patroli gabungan dan membentuk sejumlah koridor keamanan.
Meski demikian pengamat meragukan komitmen pasukan Suriah, lantaran tidak pernah menaati gencatan senjata yang selama ini disepakati. Sebab itu pula kesepakatan tersebut diyakini tidak akan menghentikan gelombang pengungsi, meski Rusia dan Turki menjamin keamanan penduduk untuk kembali ke rumahnya masing-masing.
rzn/ap
Idlib Hadapi Bencana Kemanusiaan
Pasukan Suriah yang disokong Rusia lancarkan pemboman kawasan Idlib, Suriah. Aliran pengungsi kini bergerak ke perbatasan Turki. PBB peringatkan kemungkinan terjadinya "pertumpahan darah."
Foto: picture-alliance/AA/E. Hacioglu
Melarikan diri
Jalan-jalan dipenuhi kendaraan yang bergerak dari kawasan Idlib di Suriah Utara menuju perbatasan Turki. Pasukan rezim Assad maju dari selatan dan timur, disokong sekutu Rusia dan Iran. Sebagian kelompok pemberontak didukung Turki, yang juga menempatkan serdadunya di daerah itu.
Foto: Reuters7K. Ashawi
"Kengerian berlipat ganda"
Hampir satu juta orang sudah berada di pengungsian sejak Desember. Menurut petugas urusan kemanusiaan PBB, Mark Lowcock, "kengerian sudah berlipat ganda" dalam dua pekan belakangan ini. Pertempuran semakin sengit dalam beberapa hari terakhir. Tentara Presiden Assad desak warga keluar dari provinsi Idlib dalam upaya menguasai daerah terakhir yang masih di tangan pemberontak.
Foto: Reuters/K. Ashawi
Dibom hingga luluh lantak
Maaret al Numan dan daerah sekitarnya jadi kawasan yang paling didera serangan. Kota itu dibom hingga luluh lantak dan ditinggalkan penduduknya. Jalan bebas hambatan M5 dari Damaskus menuju perbatasan dengan Turki melewati kawasan ini dan Aleppo. Para pengungsi berusaha mencapai perbatasan, tapi perbatasan sudah ditutup.
Foto: picture-alliance/AA/M. Said
Menunggu di perbatasan
Sekitar 100 orang, di antaranya 35 anak, tewas dalam paruh pertama Februari saja. Demikian keterangan PBB, yang juga mengatakan bahwa keselamatan warga sipil dengan sengaja tidak dipedulikan. Keluarga ini lari ke perbatasan dengan Turki beberapa bulan lalu. Mereka tinggal di kamp pengungsi Kafr Lusin, dengan harapan Turki akan membiarkan mereka masuk.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
500.000 anak menderita
Dari sekitar satu juta orang yang melarikan diri, diperkirakan separuhnya anak-anak. Dan sebagian besar dari separuh lainnya perempuan. Di dekat perbatasan tidak cukup banyak gubug untuk menampung mereka, sehingga sebagian tinggal di tenda-tenda. Orang-orang tidur hanya beralas karton, kadang dalam suhu di bawah nol.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Hanya sedikit makanan dan obat-obatan
Yang memiliki tenda biasanya tinggal di sana bersama lusinan anggota keluarga. Di banyak kamp pengungsi obat-obatan tidak ada lagi, sementara makanan dan pakaian sudah semakin berkurang. Menurut dokter yang bertugas, anak-anak menderita kekurangan makanan, dan sebagian bahkan terancam mati kelaparan. Sebagian orang sudah mati kedinginan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Mengungsi di sekolah
Banyak anak di daerah itu tidak bisa bersekolah lagi. Jadi banyak bangunan sekolah sudah dialihfungsikan. Kadang, bahkan kamp pengungsi jadi sasaran pemboman.
Foto: Getty Images/B. Kara
Berusaha selamat
Jika ingin menyeberangi perbatasan lewat rute ilegal, orang harus membayar mahal. Tidak semua orang bisa membayar. Penyelundup manusia meminta uang sekitar 29 juta Rupiah. Dan mereka yang nekad mempertaruhkan nyawa, karena penjaga perbatasan Turki memiliki kamera pencitraan termal yang bisa membantu mereka melacak pengungsi yang berusaha melintasi perbatasan.
Foto: Getty Images/AFP/A. Watad
Ingin hidup yang bermartabat
Menurut PBB, situasi di Idlib bisa jadi bencana kemanusiaan terbesar di abad ke-21. Tidak ada yang tahu apakan akan ada gencatan senjata. Sementara bagi para pengungsi, siapa yang yang mengakhiri perang tidak terlalu penting. Mereka memerlukan keamanan, dan ingin hidup secara terhormat, juga untuk anak-anak mereka. (Ed.: ml/ap)