Jerman Akan Tawarkan Suaka Untuk Anggota Helm Putih
Wesley Dockery
25 Juli 2018
Pemerintah Jerman dalam sebuah pernyataan mengatakan akan memberi suaka kepada beberapa orang yang dipilih dari pasukan Pertahanan Sipil Suriah, Helm Putih.
Iklan
Pernyataan yang dikeluarkan Senin (23/7)^ini datang dari Menteri Dalam Negeri Jerman Horst Seehofer dari partai konservatif CSU, yang selama ini terang-terangan bersikap anti-imigran.
"Saya memutuskan bahwa Jerman akan mengambil delapan anggota kelompok 'Helm Putih' beserta keluarga dan memberi mereka perlindungan," kata Seehofer dalam pernyataan itu.
"Serangan militer yang berkelanjutan dan perluasan wilayah teritorial yang dikuasai rezim Suriah di bagian selatan telah sangat berbahaya bagi anggota Helm Putih dan keluarga mereka."
Sementara Menteri Luar Negeri Heiko Maas dari Partai SPD mengatakan "Pekerjaan Helm Putih layak dikagumi dan dihormati dan kami sangat mendukungnya."
"Sejak masa awal konflik, mereka telah menyelamatkan lebih dari 100.000 orang," kata Maas. Ia menambahkan bahwa serangan pemerintah Suriah di Suriah selatan akan menimbulkan bahaya bagi para anggota Helm Putih yang tersisa di sana dan adalah sebuah "tindakan kemanusiaan" untuk memberikan perlindungan kepada beberapa dari mereka.
Reaksi oposisi
Partai Kiri Jerman memiliki pendekatan yang sama sekali berbeda terhadap situasi ini. Partai itu menyarankan bahwa Jerman lebih baik memberikan suaka kepada pendiri Wikileaks, Julian Assange, yang dipaksa meninggalkan Kedutaan Besar Ekuador di London, tempat ia tinggal sejak diberikan suaka oleh Ekuador pada 2012.
Partai Kiri berpendapat lebih baik daripada memberi suaka anggota Helm Putih, yang dikatakan memiliki hubungan dengan "teroris Islam," tanpa memberikan bukti dukungan klaimnya.
"Ini benar-benar bertentangan. Menteri Dalam Negeri Horst Seehofer di satu sisi ingin memerangi teror Islam, tetapi di sisi lain ingin membawa anggota milisi teroris Islam ke Jerman," Heike Hänsel, wakil ketua Partai Kiri mengatakan.
Siapa 'Helm Putih'?
Kelompok Helm Putih melakukan misi perncarian dan penyelamatan di wilayah Suriah untuk menolong warga sipil. Namun Presiden Suriah Bashar al-Assad menuduh kelompok ini berafiliasi dengan al-Qaeda dan berusaha meruntuhkan pemerintahannya.
Menanggapi tuduhan ini, Khaled al-Khatib, koordinator media dari Helm Putih mengatakan "Kami tidak memihak siapa pun dalam konflik ini. Kami mendokumentasikan kejahatan perang yang sedang berlangsung di Suriah."
Pada Minggu (22/7), sebanyak 422 anggota Helm Putih tiba di Yordania dari Suriah selatan dengan bantuan Israel. Mereka melarikan diri dari serangan besar-besaran pemerintah Bashar al-Assad.
Para anggota yang tiba di Yordania rencananya akan direlokasi sebagai pengungsi di negara-negara seperti Kanada dan Jerman dalam tiga bulan ke depan.
Sumber Konflik yang Harus Diwaspadai Indonesia di 2018
Tahun 2018 masih akan diramaikan dengan sederet konflik global yang ikut menciptakan ancaman buat Indonesia. Terutama eskalasi konflik di Asia Timur berpotensi berimbas negatif pada stabilitas di kawasan.
Foto: picture-alliance/dpa
Korea Utara
Semenanjung Korea berpotensi menjadi ancaman terbesar terhadap keamanan regional tahun 2018. Terutama ketegangan yang dipicu oleh nada agresif pemerintahan baru AS dan sikap keras kepala Pyongyang semakin mendekatkan dunia pada perang nuklir. Peta di atas menunjukkan 11 pangkalan militer AS di Jepang dan Korea Selatan yang disiagakan menyusul konflik dengan Korea Utara.
Laut Cina Selatan
Selama 2017 Amerika Serikat acuh terhadap ekspansi militer Cina di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tahun ini Beijing diyakini bakal menggandakan upayanya menguasai jalur dagang yang ditenggarai kaya Sumber Daya Alam tersebut. Meski tidak terlibat secara langsung, Indonesia mengkhawatirkan stabilitas kawasan yang kian rentan digoyang konflik regional.
Laut Cina Timur
Asia Timur tidak hanya sumber kemakmuran, tetapi juga kental dengan aroma konflik antara Jepang dan Cina. Sejak lama kedua negara berseteru seputar Kepulauan Senkaku atau Daiyou di Laut Cina Timur. Meski Beijing dan Tokyo selama ini menahan diri terhadap konfrontasi bersenjata, perseteruan di Laut Cina Timur bisa berimbas secara politis terhadap Asia Tenggara.
Foto: DW
Filipina Selatan
Perang di Marawi membuka mata dunia tentang kemampuan Islamic State menebar teror di Asia Tenggara. Selama 2017 Indonesia sigap mengawasi perbatasan laut di Laut Sulawesi. Tahun ini TNI mengendus ancaman tambahan berupa afiliasi antara kelompok teror dengan perompak untuk menyelundupkan senjata dan membangun jalur logistik buat aksi terorisme.
Rohingya
Perang saudara di Myanmar yang memuncak tahun lalu belum akan mereda dalam waktu dekat. Minimnya komitmen damai pemerintah di Naypyidaw hanya akan semakin menyulut konflik berkepanjangan tersebut. Genosida terhadap minoritas Rohingya juga menjadi sumber perseteruan di ASEAN antara Myanmar dengan Indonesia dan Malaysia.
Suriah
Tahun 2017 Suriah memasuki era pasca ISIS yang ditandai dengan kemunculan Turki sebagai kekuatan pendudukan. Negeri dua benua itu menempatkan pasukan secara permanen di utara Suriah dan bahkan ikut membangun pemerintahan regional. Meski kehilangan wilayah, pengaruh ISIS menginspirasi aksi teror oleh simpatisannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tidak berkurang.
Iran vs Arab Saudi
Di penghujung 2017 perseteruan Iran dan Arab Saudi yang selama ini mengompori perang proxy di Timur Tengah mendekati konfrontasi langsung. Libanon dan Yaman menjadi panggung konflik teranyar kedua negara. Indonesia yang aktif sebagai mediator juga ikut kecipratan konflik, yakni menguatnya ketegangan antara mayoritas Sunni dan minoritas Syiah. (rzn/hp - thediplomat, foreignpolicy, nytimes)