1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Dunia DigitalJerman

Jerman Akan Tindak Keras Telegram untuk Perangi Ekstrimisme

20 Januari 2022

Tindakan ekstrimisme banyak memanfaatkan layanan pesan untuk memicu kebencian dan kekerasan. Jerman mengeluarkan peringatan keras ke Telegram, tapi pakar sebut tindakan ini saja tidak akan menyelesaikan masalah.

Telegram
Pihak berwenang Jerman berjuang untuk mencegah penyebaran pesan tak terduga melalui layanan pesan TelegramFoto: Jakub Porzycki/NurPhoto/picture alliance

Pada Januari 2022, anggota gerakan protes Querdenker (pemikir lateral) Jerman memposting foto aplikasi pesan Telegram dari perdana menteri negara bagian timur Mecklenburg-Western Pomerania, Manuel Schwesig. 

"Dia akan dibawa pergi.. baik dengan mobil patroli atau dengan mobil jenazah, tapi dia akan dibawa pergi,” tulis keterangan tersebut.

Beberapa minggu sebelumnya, pengunjuk rasa sudah bersiap mendatangi rumah Schwesig, memprotes pembatasan kontak dan dihentikan polisi sebelum mereka tiba di lokasi.

Dalam beberapa hari, pihak berwenang mengumumkan akan menyelidiki ancaman pembunuhan tersebut. Namun, dalam wawancara oleh lembaga penyiaran publik NDR, Menteri Dalam Negeri, Christian Pagel mengaku tidak mudah menemukan penulisnya.

"Setidaknya jika kami mengandalkan Telegram untuk bekerja sama dengan kami, ini akan sulit,” katanya.

Insiden tersebut menggambarkan bagaimana negara dengan ekonomi terbesar Eropa, berjuang melawan ujaran kebencian dan ancaman terhadap politisi, jurnalis dan aktivis yang beredar lewat aplikasi tersebut.

Tidak seperti platform media sosial lainnya termasuk Facebook atau Google Youtube, perusahaan telah menolak bekerja sama dengan pihak berwenang, sehingga mendorong pemerintah Jerman untuk mengumumkan tindakan keras.

"Telegram harus mematuhi hukum kita,” atau bisa menghadapi denda juutaan, kata Menteri Kehakiman Jerman, Marco Buschmann, dari Demokrat Bebas Liberal (FDP) kepada surat kabar Bild am Sonntag. 

Menteri Kehakiman Jerman Buschmann mengancam Telegram dengan denda yang besarFoto: Michael Kappeler/dpa/picture alliance

Menteri Dalam Negeri Federal, Nancy Faeser, seorang Sosial Demokrat (SPD), dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit mengatakan bahwa pemerintahnya mempertimbangkan untuk memblokir aplikasi sebagai "rasio ultima,” atau upaya terakhir.

Sementara itu, pakar teknologi menyebut jika menyalahkan Telegram dianggap terlambat, termasuk aturan yang lebih keras tidak bisa menyelesaikan masalah.

"Kami membutuhkan lebih banyak keahlian di antara polisi dan jaksa untuk mengatasi masalah ini,” kata co-direktur Center for Minitoring, Analysis and Strategy (CeMAS) nirlaba, Josef Holnburger.

Bagaiman Telegram berubah menjadi sarang kebencian?

Penolakan Telegram untuk bekerja sama dengan pihak berwenang, dalam banyak hal, sudah tertanam dalam DNA-nya. Perusahaan ini didirikan pada 2013 oleh pengusaha Rusial Pavel dan Nikolia Durov dengan janji bahwa pengguna dapat berkomunikasi di luar jangkauan pemerintah.

Sejak itu, telegram telah memberikan perlindungan kepada para pembangkang dari Belarus hingga Iran, membantu mereka mengatur pekerjaan mereka dan bertukar informasi tentang penindasan pemerintah.

Tetapi filosofi lepas tangan ini telah mengubah pembawa pesan menjadi tempat yang aman bagi para ahli teori konspirasi dan ekstremis-khususnya setelah banyak yang dilarang dari platform media sosial yang lebih besar.

Ketika Facebook dan Instagram menghapus akun kelompok Gerakan Indentitarian sayap kanan pada 2018, banyak penguna di Jerman mengikutinya ke Telegram, demikian analisis data CeMAS. Fenomena yang sama terjadi ketika Facebook memblokir sekelompok penantang radikal terhadap pembatasan virus corona pada musim semi 2020.

Pada saat yang sama, telegram menjadi semakin populer di Jerman : Antara 2018 dan 2021, pangsa pengguna messenger yang secara teratur menggunakan Telegram naik dari 7 persen menjadi 15 persen, menurut survei oleh perusahaan analisis data Jerman Statista. 

Jumlah pengguna reguler layanan pesan di Jerman

Ini, kata para ahli, yang mengubah Telegram menjadi platform utama tempat para penentang pembatasan virus corona mengorganisir protes mereka, yang di antaranya berujung pada kekerasan.

Pada Agustus 2020, misalnya, massa mencoba masuk ke parlemen Jerman setelah desas-desus palsu menyebar di Telegram bahwa pihak berwenang telah melanggar konstitusi ketika mereka membubarkan demonstrasi.

Satu tahun kemudian, seorang jurnalis dipukuli selama protes di Berlin setelah fotonya beredar di Telegram. Dan pada Desember 2021, pengunjuk rasa menggunakan aplikasi untuk mengatur pawai obor ke rumah seorang politisi regionel di kota kecil Grimma di Jerman timur. 

Telegram tidak membalas permintaan wawancara dan daftar pertanyaan yang diajukan oleh DW.

Dari layanan perpesanan ke jejaring sosial

Jerman tidak sendirian dengan masalah Telegramnya.

Di seluruh dunia, konten kebencian dan ilegal semakin menyebar melalui layanan perpesanan. Tapi bukan kebetulan, perdebatan tentang bagaimana melawannya terjadi di Jerman. 

Negara ini memiliki beberapa undang-undang paling ketat di dunia tentang apa yang bisa dan tidak bisa. Pada akhir 1950-an, aturan ujaran kebencian sebagai respon respons terhadap masa lalu Nazi—adapun kebangkitan Sosialisme Nasional telah didorong oleh propaganda yang membara. Sampai hari ini, menghasut kebencian dan kekerasan dapat membawa Anda ke pengadilan di Jerman.

Pada 2017, Jerman mengeluarkan undang-undang. Undang-undang Penegakan Jaringan, yang dikenal sebagai NetzDG, mengharuskan platform media sosial besar untuk segera menghapus materi ilegal atau akan dikenai denda tinggi. 

Pada tahun-tahun berikutnya, tidak jelas apakah telegram harus mematuhi aturan karena ketentuan untuk layanan perpesanan-tetapi ini telah berubah.

Seorang juru bicara Kementerian Kehakiman Jerman kepada DW mengatakan, bahwa kantor tersebut "menganggap Telegram sebagai jejaring sosial,”. Ini karena fakta bahwa perpesanan telah memperkenalkan beberapa fitur dari platform besar. 

Saluran publik, seperti penulis Eva Herman dengan lebih dari 200.000 pelanggan, menjadikan Telegram sebagai jejaring sosial, kata pihak berwenang JermanFoto: Janosch Delcker/DW

Meskipun Telegram saat ini masih memiliki kesamaan dengan layanan perpesanan seperti Whatsapp, Telegram dianggap sudah melampui batas sebagai jejaring sosial: Di saluran publik, misalnya, pengguna dapat memposting konten ke jumlah pengikut yang tidak terbatas.

"Inilah sebabnya mengapa persyaratan NetzDG mengikat untuk Telegram,” kata juru bicara Kementerian Kehakiman. Ini termasuk aturan baru, yang akan mulai berlaku pada Februari, yang akan memaksa platform untuk melaporkan kasus konten ilegal yang sangat serius, seperti ancaman pembunuhan atau hasutan massa, langsung ke penegak hukum,

Tidak ada solusi yang mudah

Tantangan Berlin sekarang adalah membuat Telegram mematuhi aturannya. Hingga saat ini, hanya ada sedikit contoh yang dikonfirmasi ketika Telegram bekerja dengan pihak berwenang, seperti kerja sama dengan badan kepolisian Eropa Europol untuk memerangi propaganda terorisme, yang diumumkan pada 2019.

Pada April 2021, pemerintah Jerman mengirim surat ke kantor pusat operasional perusahan di Dubai, menuntut Telegram menunjuk narahubung di Jerman dan mempermudah pengguna untuk menandai konten ilegal-dua persyaratan utama NetzDG.

Perusahan tidak pernah menjawab. 

Di belakang layar, para pejabat sejak itu telah melakukan kontak dengan pemerintah Uni Emirat Arab untuk meningkatkan tekanan pada Telegram.

Jika upaya tambahan untuk membuat perusahaan bekerja sama juga gagal, Berlin dapat menagih Telegram dengan denda hingga €55  juta ($63 juta).

Di panggung politik, Menteri Dalam Negeri Jerman, Nancy Faeser menjadi berita utama ketika dia melontarkan gagasan melarang aplikasi sepenuhnya sebagai upaya terakhir.

Tetapi para ahli teknologi mengatakan bahwa ini akan sulit secara teknis dan bahkan mungkin inkonstitusional. Namun mereka juga mengingatkan, jika pihak berwenang meminta Telegram untuk bekerja sama ini tidak akan menghilangkan akar penyebab mengapa ujaran kebencian beredar di aplikasi.

"Anda tidak memecahkan masalah dari dunia analog dengan mengatur bidang digital,” kata Ann Cathrin Riedel, Ketua Asosiasi Kebijakan Internet Liberal.

"Pikiran radikal tidak hilang ketika Anda memblokir layanan messenger-orang hanya pindah ke platform lain,”

Sama pentingnya, kata Riedel, adalah membuat orang mengerti bahwa apapun yang mereka tulis secara online memiliki konsekuensi yang sama dengan apa yang mereka katakan secara langsung.

Holnburger menambahkan bahwa penegak hukum Jerman perlu lebih baik dalam memantau apa yang dikatakan di layanan perpesanan.

"Katakan ada perampokan di taman, maka polisi tidak bisa pergi ke pemilik taman dan menanyakan perampok,” katanya. "Mereka perlu melakukan penyelidikan sendiri untuk menemukannya dan hal yang sama berlaku untuk ruang digital,” tambahnya. 

Honburger juga mengatakan, polisi saat ini masih mengandalkan akademisi, jurnalis atau aktivis untuk menandai konten ilegal-yang juga terjadi ketika menyangkut ancaman pembunuhan terhadap Perdana Menteri Negara Bagian Manuela Schwesig.

Komentar itu baru mendapat perhatian setelah seorang anggota parlemen daerah memposting tangkapan layar di twitter.

"Saya tidak berpikir bahwa polisi akan memperhatikan sebaliknya,” Holmburger menyimpulkan.

rw/pkp (DW)  

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait