Jerman akan Wajibkan Para Imam Harus Bisa Bahasa Jerman
7 November 2019
Kabinet Jerman ajukan RUU yang wajibkan para pemuka agama yang berasal dari negara lain, buktikan mereka dapat berbicara dalam bahasa Jerman agar bisa terus tinggal di negara ini. Hal itu juga penting bagi integrasi umat
Iklan
Para pemuka agama dari negara-negara di luar Uni Eropa, nantinya harus dapat membuktikan pengetahuan tentang Jerman jika mereka berniat untuk terus tinggal dan bekerja di negara iini.
Meskipun RUU ini rencananya akan berlaku secara umum bagi para pemuka dari semua agama, perjanjian koalisi yang ditandatangani oleh pemerintah Jerman secara khusus mengarah kepada para pemberi khotbah agama Islam.
"Kami berharap para imam asing dapat berbicara dalam bahasa Jerman," ujar seorang juru bicara Kementerian Dalam Negeri Jerman, Rabu (06/11).
RUU ini akan mengubah peraturan kependudukan dan ketenagakerjaan yang ada saat ini. Caranya, dengan meminta pemimpin keagamaan untuk membuktikan bahwa mereka cukup memahami bahasa Jerman, untuk membahas topik-topik utama seperti keluarga, perekonomian, pekerjaan, dengan lingkungan terdekat mereka.
Pembuktian ini akan diperlukan dalam waktu satu tahun setelah mereka berada di Jerman. Sebelum itu, pemahaman dasar tentang Jerman harus sudah memadai.
Rancangan tersebut menyatakan bahwa "dengan alasan agama, ulama sering kali punya peran besar dalam komunitas mereka." Ini mengharuskan mereka untuk bertindak sebagai teladan dan penyuluh tentang cara memfasilitasi kerja sama damai antara budaya serta agama yang berbeda, dan berhasilmengintegrasikan imigran ke Jerman.
Bisa makin kekurangan imam
Menteri Dalam Negeri Horst Seehofer mengatakan keterampilan bahasa Jerman adalah "keharusan untuk keberhasilan integrasi." Sejauht ini undang-undang ketenagakerjaan di Jerman tidak memiliki persyaratan untuk visa kerja yang dikeluarkan untuk tujuan amal atau keagamaan.
Menanggapi hal ini, anggota parlemen dari Partai Hijau, Filiz Polat, mengkritik RUU tersebut dan mengatakan hal itu akan memperburuk situasi kekurangan ulama Muslim di Jerman. Menurut data terbaru, Jerman memiliki sekitar 2.000 masjid, dengan hampir 90 persen imam berasal dari negara lain. Polat mengatakan masih belum jelas apakah pemerintah akan mendukung program pendidikan dan pelatihan bagi para imam di Jerman.
Pada bulan Maret lalu, Konferensi Wali Gereja Jerman juga bereaksi dan mengatakan, rancangan peraturan baru itu seharusnya tidak membuat para pendeta kelahiran asing jadi mustahil bisa datang ke Jerman. Gereja-gereja Katolik dan Protestan di Jerman juga banyak mempekerjakan pengkhotbah yang berasal dari luar Uni Eropa.
ae/as (epd, KNA)
Inilah Masjid Liberal Pertama di Jerman
Imamnya seorang perempuan dan tak berjilbab. Di masjid ini, laki laki dan perempuan salat di saf yang sama. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - kesemuanya diterima di masjid ini tanpa prasangka.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Dibidani pengacara kelahiran Turki
Seorang pengacara kelahiran Turki. Seyran Ates meresmikan "Masjid Liberal" ini di Berlin, Jerman. Dia mendeklarasikan diri sebagai imam perempuan di masjid ini. Berlatar belakang profesi pengacara, dia bertahun-tahun berjuang melawan kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan demi kehormatan dan pernikahan paksa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Membantu kaum perempuan tertindas
Keluarga Seyran Ates pindah dari Turki ke Jerman saat ia berusia 6 tahun. Dia kuliah jurusan hukum dan bekerja sebagai pengacara di Berlin. Dengan dana sendiri, dia berhasil membuka kantor konsultasi untuk perempuan Turki. Seyran Ates yang kini berusia 54 tahun menjalani pendidikan sebagai imam. Tahun 2017, Seyran mewujudkan impiannya, membuka sebuah masjid di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Potret keberagaman
Nama masjid itu: "Masjid Ibn-Ruschd-Goethe". Nama tersebut diambil dari nama pemikir Arab Ibnu Rusyd, yang juga dikenal sebagai Averroes (1126 - 1198) dan nama pemikir dan penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe. Lokasi masjid berada di lantai tiga gedung Gereja Protestan Sankt-Johannes-Kirche di kawasan Moabit, di ibukota Jerman. Di dekatnya ada rumah makan India dan Vietnam.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Stache
Tak ada yang bernikab ataupun burka
Meski terbuka untuk umum, Islam yang dipraktikkan di Masjid Ibn-Ruschd-Goethe menurut pendirinya adalah Islam dengan pendekatan "historis-kritis". Tidak nampak, perempuan yang datang dengan nikab atau burka ke masjid ini. Menurut imam di masjid ini, nikab atau burka tidak banyak hubungannya dengan agama, melainkan lebih pada suatu pernyataan politis.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dialog antar agama
Menurut Seyran, Islam harus mampu memperbarui dirinya. Karena makin banyak umat muslim yang kini merindukan Islam yang damai, yang memelihara dialog dengan agama-agama lain. Namun masjid dengan pemahaman semacam itu masih terlalu sedikit di Eropa.
Foto: picture-alliance/AP Photo/M. Sohn
Beribadah berdampingan
Tak seperti masjid pada umumnya, di sini laki-laki dan perempuan beribadah berdampingan. Imam perempuannya pun tidak mengenakan jilbab. Sunni, Syiah, anggota komunitas LGTBQ - semuanya diterima bersholat Jum'at di Masjid Ibn Rusyd-Goethe di Berlin.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Gambarini
Dihujani kecaman
Begitu dibuka Juni 2017, keberadaan masjid ini langsung mendapat gempuran kritik. Surat kabar pro-pemerintah Turki, Sabah menyebutnya "tidak masuk akal" bahwa peribadatan berlangsung di sebuah gereja. Harian Pakistan mengkritik fakta bahwa perempuan berdampingan dalam satu saf dengan pria saat menjalankan sholat.
Foto: DW/S.Kinkartz
Siapa yang menjamin keamanan?
Pada hari pembukaan masjid, beberapa orang khawatir bahwa masjid tersebut dapat menarik para ekstrimis. Untuk menjaga keamanan, pengurus masjid menjalin kontak erat dengan polisi dan kantor jawatan kriminal negara bagian.
Foto: DW/S.Kinkartz
‘Salam, Ibu Imam‘
Imam Seyran Ates merupakan penulis buku "Selam, Frau Imamin" (Salam, Ibu Imam). Buku itu berisi kritik terhadap gejala radikalisme Islam di Jerman. Di buku itu, Seyran juga mengingatkan makna kebebasan beragama, kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan dan hak atas orientasi seksual. Ironisnya, radikalisme berkembang, tapi umat Muslim berhaluan liberal tidak memiliki tempat di Jerman.