040311 Libyen D Flüchtlinge
4 Maret 2011Petugas dari kedutaan besar Mesir duduk di atas pasir sambil memegang setumpuk paspor di tangan kirinya. Ia dikelilingi ratusan orang dengan raut wajah letih dan tegang, berharap nama mereka lah yang kali ini keluar dari bibir si petugas.
Salam Ibrahim, Mohammed Ibrahim… Mereka yang dipanggil berjuang mendekati si petugas. Dua pemuda Mesir, dengan wajah berdebu dan lengket oleh keringat. Jika beruntung, dalam beberapa jam lagi mereka bisa duduk di dalam pesawat ke Kairo. Spanyol mengirim sebuah pesawat ke Tunisia, untuk mengevakuasi sekitar 1000 pengungsi.
Atau mereka bisa menumpang salah satu dari tiga kapal angkut Jerman yang berlabuh Jumat (04/03). Kapal-kapal Jerman itu memperkuat armada internasional untuk mengangkut sekitar 4.000 pekerja asal Mesir ke Alexandria.
Terjawablah permohonan Menteri Kesehatan Tunisia Habiba Benromdan dalam kunjungan ke kamp pengungsi. "Kami sangat membutuhkan sarana untuk membawa orang-orang ini kembali ke tanah airnya. Setiap hari, lebih banyak pengungi yang datang ke kamp daripada yang pergi. Karena itu, seruan kami pada dunia internasional, kami butuh kapal udara dan laut," kata Benromdan.
Sedikitnya 90.000 pengungsi terdampar di perbatasan Libya-Tunisia. Warga Mesir, Ghana, Nigeria, Bangladesh, Pakistan juga Vietnam.
Eric Laroche dari Organisasi Kesehatan Dunia WHO mengatakan, "Kami hanya punya 7 WC untuk ribuan pengungsi di sini. Anda tahu apa artinya itu. Sekarang musim dingin, hujan deras dan penyakit bisa cepat menular, kolera, meningitis. Satu-satunya yang bisa menolong adalah evakuasi, evakuasi, evakuasi."
Tak seorangpun tahu, berapa banyak pengungsi yang masih berada di balik pos perbatasan Libya, menunggu keberangkatan. Tak ada yang tahu bagaimana situasi mereka. Tidak satupun organisasi bantuan mendapat akses ke wilayah pertempuran di timur dan barat Libya. Dan tidak ada koresponden yang bisa memberitakan apa yang sebetulnya terjadi di sana.
Hanya akibatnya yang bisa disaksikan. Hari Kamis (03/03), dari Ras Jedir, para pengungsi yang menderita luka tembak dilarikan ke perbatasan Tunisia. Mereka terbaring di tandu, lalu dijemput ambulans dengan raungan sirene dan kilatan lampu biru.
Jutaan pekerja asing berbondong-bondong keluar dari Libya, ekonomi ambruk. Sang diktator memerintahkan angkatan udaranya membombardir pangkalan minyak dan lapangan terbang yang dikuasai pemberontak.
Petugas kedutaan besar Mesir masih membacakan nama-nama pengungsi yang bisa meninggalkan Libya. Meninggalkan kamp dengan tenda plastik dan alas tidur kasar, serta sampah yang aromanya ditiupkan angin gurun mengelilingi kawasan berpuluh kilometer yang dipagari kawat berduri.
Toh, Salam dan saudaranya Mohammad ingin sesegera mungkin kembali ke Libya, jika semua telah berlalu. "Jelas, apa lagi yang harus kami lakukan? Setiap orang yang ada di sini, semua ingin kembali. Mengapa? Karena di Libya kami punya pekerjaan dan mendapat uang. Di Mesir, tidak ada apa-apa," kata kakak beradik Ibrahim itu.
Klaus Dahmann/Renata Permadi
Editor: Hendra Pasuhuk