Jerman Bawa Pulang 3 "Istri ISIS" dan Anak-Anak dari Suriah
21 Desember 2020
Jerman menerbangkan tiga perempuan warga Jerman dan 12 anak-anak keluar dari Suriah lewat misi pembebasan yang dipersiapkan sejak lama. Satu perempuan langsung ditahan setibanya di bandara Frankfurt.
Iklan
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas hari Minggu (20/12) menyatakan dia "lega" bahwa "operasi kemanusiaan" yang telah dipersiapkan sejak lama itu berhasil membawa pulang tiga warga Jerman dan belasan anak-anak yang ditahan di Suriah utara oleh kelompok Kurdi.
Pihak kejaksaan membenarkan kepulangan para anggota dan simpatisan ISIS dari Suriah dan menerangkan, satu dari tiga perempuan yang dibawa kembali adalah Leonora M., 21 tahun, yang ditahan setibanya di bandara Frankfurt hari Sabtu(19/12). Dia dituduh menjadi anggota organisasi teror, kata jaksa federal. Kedua perempuan lain tidak ditahan, tetapi juga akan menghadapi dakwaan terorisme.
Majalah berita Der Spiegel melaporkan, satuan khusus kepolisian federal Jerman sudah menyiapkan "misi pembebasan" itu sejak lama dan menerbangkan mereka dengan pesawat sewaan keluar dari Suriah dan kembali ke Jerman.
"Saya sangat lega, bahwa kami kemarin berhasil membawa pulang 12 anak-anak dan tiga ibu mereka dari kamp tahanan di Suriah Utara. Berita baik menjelang Natal ini membuat kami optimis, bahwa makin banyak warga yang bisa dibawa pulang selanjutnya,'' kata Menlu Jerman Heiko Maas.
Dia menegaskan, pemulangan para pendukung dan simpatisan ISIS ini adalah "misi kemanusiaan" yang dipersiapkan sejak lama. "Teruama untuk membawa pulang para perempuan dan anak-anak, juga anak yatim, yang sakit parah dan perlu segera mendapat perawatan."
Persiapan intensif dalam "misi rahasia"
Heiko Maas mengatakan, misi itu dilaksanakan dalam situasi genting" setelah "berbulan-bulan persiapan intensif dan koordinasi." Dia juga menyampaikan terimakasih, "kepada mitra Finlandia kami, dengan siapa kami melakukan operasi ini bersama-sama."
Iklan
Relokasi warga negara Jerman adalah misi langsung pertama yang melibatkan Kementerian Luar Negeri, kata surat kabar harian Jerman Bild. Menurut Bild, di kamp-kamp tahanan di Suriah masih ada 70 orang dewasa warga Jerman dan 150 anak-anak yang memiliki orang tua warga Jerman.
Stasiun siaran SWR melaporkan bahwa mereka ditahan di Roj dan al-Hol, dua kamp tahanan yang dikelola pihak Kurdi, yang menahan puluhan ribu anggota dan simpatisan ISIS sejak akhir 2018 dan awal 2019.
Selain Leonore M. yang langsung ditahan setibanya di bandara Frankfurt, dua perempuan lain yang dibawa pulang adalah Merve A., 24 tahun, dari Hamburg dan Yasmin A. dari Bonn.
Etnis Kurdi di Suriah, Antara Harapan dan Ketakutan
Jurnalis foto Karlos Zurutuza mengunjungi wilayah perbatasan utara Suriah setelah invasi Turki. Di sana, ia bertemu sejumlah keluarga yang mengungsi dan para lelaki kesepian yang tetap tinggal di desa-desa.
Foto: Karlos Zurutuza
Dalam pengungsian
Menurut informasi PBB, hampir 200.000 orang telah mengungsi di wilayah itu sejak awal invasi Turki. Menurut laporan, banyak orang Kurdi berusaha mencari tempat berlindung di daerah pemukiman Kurdi di Irak. Namun hanya mereka yang memiliki izin tinggal di Irak lah yang diperbolehkan melintasi perbatasan.
Foto: Karlos Zurutuza
Para lelaki tinggal di desa
Kini banyak desa di timur laut Suriah yang telah ditinggalkan. Perempuan dan anak-anak melarikan diri dari daerah perbatasan ke pedalaman, seperti ke ibu kota provinsi Al-Hasakah. "Tetapi kondisi di Al-Hasakah semakin memburuk karena begitu banyak pengungsi yang datang. Jadi kami putuskan untuk tinggal," ujar Suna, seorang ibu dari tiga anak, kepada DW.
Foto: Karlos Zurutuza
Kehidupan mulai meredup
Bazar yang pernah semarak di kota Amude, Suriah, kini jadi tempat yang suram. Hanya ada beberapa orang yang berkunjung. Sejak awal serangan Turki, banyak pebisnis menutup toko mereka. Saat hari menjelang gelap, suara ledakan granat dari sisi lain perbatasan mulai terdengar. Siapa pun yang memutuskan tinggal di kota, nyaris tidak berani meninggalkan rumah pada sore dan malam hari.
Foto: Karlos Zurutuza
Dia kembali lagi
Patung mantan penguasa Hafiz al-Assad kembali menyapa di jalan masuk kota Kamischli yang merupakan kota paling penting di timur laut Suriah. Hubungan antara pemerintahan Kurdi dan rezim Presiden Bashar al-Assad di wilayah tersebut menegang sejak awal perang saudara di Suriah tahun 2011.
Foto: Karlos Zurutuza
Ketidakpastian masih membayang
Etnis Kurdi di Suriah merasa dikhianati Presiden AS Donald Trump yang telah memerintahkan penarikan pasukan AS. "Kami tahu apa yang dilakukan Trump kepada kami, namun kami masih tidak tahu apa-apa terkait niatan Putin," ujar Massud, seorang pelanggan di salon rambut ini. AS telah meyakinkan Turki bahwa gencatan senjata di utara Suriah adalah langkah yang tepat.
Foto: Karlos Zurutuza
"Saya sebaiknya tidak berkomentar apa-apa"
Bertahun-tahun di bawah tekanan pemerintahan Bashar al-Assad dan ayahnya, banyak orang di kota Derik, Suriah, menolak mengatakan pendapat mereka tentang pengaruh kebangkitan pemerintah Suriah di wilayah tersebut. "Seluruh negeri pada saat itu diawasi oleh intelijen. Ini mungkin akan segera terjadi, jadi tidak ada yang akan berbicara apa pun tentang hal itu," ujar seseorang yang diwawancarai.
Foto: Karlos Zurutuza
Lima peti mati, lima takdir
Di mana-mana di timur laut Suriah, orang-orang harus mengurusi mayat-mayat yang setiap hari menjadi korban serangan. Serangan udara Turki menghantam sasaran militer dan warga sipil. Rumah sakit seperti yang terletak di Derik, tempat para korban terluka dirawat, kini telah dievakuasi untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak.
Foto: Karlos Zurutuza
Ribuan jiwa jadi korban
Etnis Kurdi di Suriah mengklaim telah ada sekitar 11.000 korban dalam perang melawan milisi teroris ISIS. Meski ISIS tidak lagi mengendalikan sebagian besar wilayah ini, korban tewas tetap berjatuhan. Puluhan warga sipil dan ratusan milisi dilaporkan tewas setelah Turki melancarkan serangan di timur laut Suriah.
Foto: Karlos Zurutuza
Ditinggalkan sendiri
Setelah perang saudara di Suriah pecah tahun 2011, etnis Kurdi di Suriah memilih untuk tidak memihak kepada kedua pihak - tidak memihak pemerintah, maupun oposisi. Dengan penarikan pasukan AS, mereka dibiarkan sendirian, tanpa ada dukungan apa pun. (ae/na)
Foto: Karlos Zurutuza
9 foto1 | 9
Para "pengantin ISIS"
Der Spiegel melaporkan bahwa Leonora M. pergi ke Raqqa, Suriah, ketika berusia 15 tahun dan menjadi istri ketiga Martin L., seorang warga Jerman yang juga anggota ISIS. Mereka punya dua anak. Spiegel melaporkan, Martin L. diduga pernah menahan seorang perempuan Yazidi dan dua anak sebagai budak di apartemennya dan kemudian menjualnya.
Merve A. pergi ke Suriah saat berusia 18 tahun mengikuti teman lelakinya. Pasangannya kemudian terbunuh sebagai anggota ISIS yang ikut berperang. Selain anak-anak ketiga perempuan Jerman itu, pesawat sewaan ke Frankfurt juga membawa tujuh anak yatim piatu yang membutuhkan perawatan segera.
Pasukan Kurdi telah menangkapnya pada Januari 2019 ketika dia melarikan diri dari pertempuran untuk Baghouz - benteng terakhir ISIS di Suriah timur - yang diambil oleh milisi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi, yang didukung oleh aliansi multinasional pimpinan AS.