Jerman Beli Obat Berbasis Antibodi untuk Perangi COVID-19
25 Januari 2021Menteri Kesehatan Jens Spahn mengatakan bahwa pemerintah telah membeli obat berbasis antibodi baru untuk melawan virus corona.
"Mulai minggu depan, antibodi monoklonal akan digunakan di Jerman sebagai negara pertama di Uni Eropa. Dimulai di klinik universitas," ujarnya, seraya menambahkan "Pemerintah federal telah membeli 200.000 dosis seharga € 400 juta (Rp 6 triliun)."
Spahn juga mengatakan bahwa mantan Presiden AS Donald Trump yang pernah terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 pada Oktober tahun lalu, dirawat dengan obat antibodi tersebut.
"Obat ini bertindak seperti vaksinasi pasif. Pemberian antibodi ini pada tahap awal dapat membantu pasien berisiko tinggi terhindar dari perkembangan yang lebih serius," tambahnya.
Trump menjalani perawatan dengan dengan koktail antibodi REGN-COV2 dari perusahaan AS Regeneron.
Spahn memperingatkan agar tak saling menyalahkan di masa pandemi
Spahn baru-baru ini mendapat kecaman karena keterlambatan peluncuran vaksin. Meski sebelumnya memang ada peringatan bahwa pasokan suntikan akan terbatas pada tahap awal inokulasi. Jerman berharap dapat memvaksinasi semua orang Jerman pada akhir Agustus.
Berbicara dengan surat kabar Jerman Bild am Sonntag, Spahn memperingatkan agar tidak saling menyalahkan di masa pandemi, menyusul kritik yang berkembang atas kekurangan vaksin di negara itu.
"Kami harus berhati-hati agar 2021 tidak menjadi tahun yang disalahkan," kata Spahn kepada Bild. "Berbicara tentang kesalahan dan kegagalan itu penting. Tapi jangan menjadikannya terus menerus dan hanya melimpahkan kesalahan kepada orang lain,‘‘ tambahnya.
Dia mengakui bahwa Jerman terlalu ragu-ragu dalam bertindak untuk memerangi pandemi, tetapi menambahkan bahwa para pejabat pemerintahan Jerman dan warga negara juga mempunyai tanggung jawab atas tingkat infeksi yang tinggi dan jumlah kematian dalam gelombang kedua wabah tersebut.
"Kami semua salah sangka berpikir telah mengendalikan virus dengan baik. Kami mencurigai ada kekuatan yang dapat mengembalikan virus corona, tetapi sebagian besar tidak mau mengakuinya," katanya.
Para ahli memperingatkan perihal pencabutan pembatasan
Spahn belum menyetujui pelonggaran aturan pembatasan virus corona bagi orang-orang yang telah disuntik vaksin, sampai vaksin benar-benar tersedia bagi semua warga negara.
"Kita telah bersatu dalam solidaritas melalui pandemi ini selama satu tahun. Sekarang kita akan bermain sesuai aturan sampai semua orang dapat divaksinasi," katanya.
Jerman telah memperpanjang penguncian (lockdown) hingga 14 Februari, meskipun ada peningkatan seruan agar beberapa pembatasan dilonggarkan. Namun, ahli epidemiologi Jerman mengatakan perdebatan itu terlalu dini.
"Dari sudut pandang epidemiologi, saya tidak mengerti mengapa pelonggaran awal (pembatasan) sudah dibahas sekarang," kata Hajo Zeeb dari Leibniz Institute for Penelitian Pencegahan dan Epidemiologi kepada kantor berita Jerman dpa, sambil mencatat bahwa infeksi virus "mematikan" sedang berlangsung.
Eva Grill, presiden German Society for Epidemiology, mengatakan dia sangat prihatin: "Jika lockdown saat ini dilonggarkan terlalu cepat, kita menghadapi risiko gelombang ketiga yang akan menghantam kita lebih keras karena varian baru virus corona yang jauh lebih menular."
Jerman telah mencatat 2.134.936 kasus COVID-19 dengan 51.870 kematian, menurut data terbaru dari badan pengendalian penyakit menular Robert Koch Institute (RKI).
Jerman seharusnya 'lebih tangguh'
Spahn mengakui bahwa Jerman seharusnya mengambil tindakan lebih keras pada awal Oktober ketika tingkat infeksi lebih rendah.
"Ini membutuhkan tindakan pemerintah yang tegas, tetapi juga membutuhkan perilaku yang bertanggung jawab dari semua orang. Kita semua berada di perahu yang sama," katanya.
Pada April, Spahn mengimbau soal peningkatan pemahaman terhadap situasi pandemi ketika akan membuat keputusan politik yang sulit selama krisis virus corona. Dia juga memperingatkan bahwa langkah dan aturan kemungkinan akan berubah tergantung pada berbagai fase pandemi.
pkp/rap (dpa, KNA, AFP)