1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MigrasiJerman

Jerman Butuh 288.000 Pekerja Asing Setiap Tahun hingga 2040

27 November 2024

Meski telah mereformasi undang-undang migrasi tenaga kerja, Jerman masih menghadapi defisit tenaga kerja terampil yang parah. Studi terbaru menunjukkan, kekurangan ini harus diisi oleh imigran.

Industri di Jerman
Jerman menghadapi kekurangan pekerja terampil dalam beberapa dekade mendatangFoto: Rupert Oberhäuser/picture alliance

Angkatan kerja Jerman dapat menyusut hingga 10% pada 2040 tanpa adanya imigrasi "substansial," demikian menurut studi yang ditugaskan oleh Bertelsmann Foundation.

Studi tersebut menemukan bahwa tanpa arus masuk sekitar 288.000 pekerja asing terampil per tahun, jumlah angkatan kerja Jerman dapat turun dari sekitar 46,4 juta saat ini menjadi 41,9 juta pada 2040. Pada 2060, angkanya bahkan dapat turun menjadi 35,1 juta.

"Hilangnya generasi baby boomer dari pasar tenaga kerja menjadi tantangan besar,” kata Susanne Schultz, pakar migrasi di Bertelsmann.

Schultz mengatakan bahwa potensi tenaga kerja lokal di Jerman perlu lebih dimaksimalkan, namun "pergeseran demografis ini juga menuntut adanya imigrasi.”

Skenario kedua dengan proyeksi data yang lebih pesimistis menghitung sebanyak 368.000 pekerja imigran mungkin diperlukan setiap tahun hingga 2040, sebelum turun menjadi 270.000 per tahun hingga 2060.

Aturan migrasi baru Jerman tidak cukup?

Dengan tingkat migrasi tenaga kerja saat ini yang masih di bawah kebutuhan, Schultz mengatakan bahwa hambatan perlu dihilangkan dan tawaran yang lebih menarik bagi imigran harus ditingkatkan.

Hukum migrasi tenaga kerja Jerman sebelumnya direformasi pada 2023 untuk mempermudah dan menarik pekerja asing terampil untuk bekerja di Jerman. Menteri Dalam Negeri Jerman Nancy Faeser bahkan menyebut aturan baru ini sebagai "undang-undang imigrasi paling modern di dunia.”

Namun, dalam laporan studi barunya, Bertelsmann Foundation mengatakan pekerja asing tidak akan datang tanpa adanya "budaya yang lebih ramah dari otoritas lokal dan bisnis,” serta tanpa "perspektif untuk tinggal jangka panjang.”

"Saya inginkan kesetaraan, tapi saya tidak akan memohon"

Satu contoh yang dikutip oleh kantor berita DPA Jerman dapat memberikan bahan renungan.

Kantor berita tersebut mewawancarai seorang pengungsi Suriah yang melarikan diri dari perang saudara di negaranya pada 2016. Ia datang ke Jerman saat berusia 21 tahun, dan melanjutkan pendidikan hingga meraih gelar sarjana dan magister di universitas di Jerman bagian barat.

Kini, ia menjadi spesialis IT yang dilatih di Jerman, dan memilih pindah ke Swiss.

"Saya sudah memberikan yang terbaik di sini agar diperlakukan setara, tetapi saya merasakan diskriminasi dan penolakan," katanya. Ia mengaku pernah mengalami penghinaan di lingkungan sosial dan di pekerjaan paruh waktu ketika ia menunggu tawaran kerja yang lebih layak, namun akhirnya tak pernah datang.

"Saya ingin diperlakukan setara,” tambahnya. "Tapi saya tidak akan memohon untuk itu.”

Bagi Schultz dari Bertelsmann, kasus ini "sayangnya bukan anomali. Jerman tidak bisa terus kehilangan tenaga kerja seperti ini dan harus menjadi lebih menarik."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Dampak angkatan kerja yang menyusut di berbagai wilayah

Studi ini juga menemukan bahwa dampak penyusutan tenaga kerja akan berbeda di setiap wilayah.

Negara bagian seperti Nordrhein-Westfalen mungkin mengalami penyusutan rata-rata 10%, tetapi wilayah yang secara demografis lemah seperti Thüringen, Sachsen-Anhalt, dan Saarland akan lebih terdampak.

Bahkan daerah kaya seperti Bayern dan Baden-Württemberg juga akan merasakan dampaknya, meskipun lebih ringan.

Sementara itu, kota-kota besar seperti Hamburg dan Berlin yang sudah banyak menerima imigran akan lebih tahan terhadap dampak krisis tenaga kerja ini.

rs/gtp (dpa, AFP)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait