Jerman dan Korea Selatan Rintis Kerja Sama Intelijen Militer
26 Mei 2023
Dengan pakta intelijen yang baru, Berlin dan Seoul bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan mereka di tengah konflik di Ukraina dan ketegangan di Indo-Pasifik.
Iklan
Kanselir Jerman Olaf Scholz berada di Korea Selatan hanya beberapa jam pada hari Minggu, 21 Mei lalu. Tetapi kunjungan dan pembicaraan singkatnya dengan Presiden Yoon Suk-yeol menghasilkan serangkaian kesepakatan, terutama pakta untuk berbagi intelijen militer dan merampingkan rantai pasokan untuk industri pertahanan kedua negara.
Pertemuan kedua pemimpin dilakukan saat Scholz kembali dari pertemuan KTT G7 di kota Hiroshima, Jepang, yang sebagian besar berfokus pada krisis keamanan yang sedang berlangsung di Ukraina dan ketegangan AS-Cina di Asia timur laut.
Para pengamat mengatakan bahwa kesepakatan pertahanan antara Scholz dan Yoon adalah contoh terbaru dari berbagai perjanjian serupa antara berbagai negara yang dapat dilihat sebagai upaya meredam dominasi Cina di Asia-Pasifik.
Jerman telah meningkatkan perannya di Asia-Pasifik dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021, sebuah kapal perang Jerman dikerahkan Asia-Pasifik untuk melakukan serangkaian latihan dengan angkatan laut negara lain, sementara pesawat tempur Jerman baru-baru ini juga ikut serta dalam manuver bersama.
Hubungan Korea Selatan dan-NATO makin erat
Scholz dan Yoon bertemu di kantor presiden di Seoul setelah kanselir Jerman itu melakukan perjalanan ke desa Panmunjom di Zona Demiliterisasi yang membagi Semenanjung Korea. Saat berada di perbatasan yang dijaga ketat, Scholz mengatakan pengembangan senjata nuklir dan peluru kendali jarak jauh Pyongyang menunjukkan bahwa "masih ada situasi berbahaya" di semenanjung itu, dan bahwa Korea Utara tetap menjadi "ancaman terhadap perdamaian dan keamanan di wilayah ini."
Iklan
Dalam pembicaraan mereka selanjutnya, kedua pemimpin menandatangani kesepakatan untuk berbagi dan melindungi rahasia militer, dan menetapkan mekanisme untuk meningkatkan ketahanan rantai pasokan militer.
Dan Pinkston, profesor hubungan internasional di Troy University di Seoul, menunjuk pada "kebijakan ekspansionistis di Beijing" sebagai alasan untuk kerja sama yang lebih kuat antara negara-negara yang tidak bersekutu dengan Cina.
"Saya sangat berharap untuk melihat lebih banyak hal yang sama," kata Pinkston kepada DW sehubungan dengan hubungan militer yang lebih dekat. "Masuk akal untuk mengharapkan pasukan Korea Selatan mengambil bagian dalam latihan dengan unit-unit dari NATO dan negara-negara lain yang punya masalah keamanan bersama. Latihan-latihan ini sangat penting untuk memastikan interoperabilitas amunisi, sistem senjata, dan komponen, dan sangat masuk akal untuk memastikan bahwa rantai pasokan terjamin."
Sementara angkatan laut dan udara Jerman telah mengambil bagian dalam latihan dengan pasukan Korea Selatan, Seoul mengekspor sistem senjata canggih ke Eropa. Tahun lalu, Korea Selatan menandatangani kesepakatan pertahanan besar-besaran dengan Polandia, yang diperkirakan bernilai 15 miliar euro, termasuk penjualan hampir 1.000 tank tempur utama K2, 648 howitzer dan 48 jet tempur jenis FA 050.
Sejarah Perang Korea 1950-1953
Ambisi Kim Il Sung menguasai Semenanjung Korea tidak hanya merenggut jutaan nyawa, tetapi juga berakhir pahit untuk aliansi komunis di utara. Perang Korea gagal mengubah garis demarkasi yang masih bertahan hingga kini.
Foto: Public Domain
Korea Terbagi Dua
Selepas Perang Dunia II, Korea yang dijajah Jepang mendapat nasib serupa layaknya Jerman yang dibagi dua antara sekutu Barat dan Uni Soviet. Ketika AS membentuk pemerintahan boneka di bawah Presiden Syngman Rhee untuk kawasan di selatan garis lintang 38°, Uni Soviet membangun rezim komunis di bawah kepemimpinan Kim Il Sung.
Foto: Getty Images/AFP
Siasat Kim Lahirkan Perang Saudara
Awal 1949 Kim Il Sung berusaha meyakinkan Josef Stalin untuk memulai invasi ke selatan. Namun permintaan itu ditolak Stalin karena mengkhawatirkan intervensi AS. Terlebih serdadu Korut saat itu belum terlatih dan tidak mempunyai perlengkapan perang yang memadai. Atas desakan Kim, Soviet akhirnya membantu pelatihan militer Korut. Pada 1950 pasukan Korut sudah lebih mumpuni ketimbang serdadu Korsel
Foto: Bundesarchiv, Bild 183-R80329 / CC-BY-SA
Peluang Emas di Awal 1950
Keraguan Stalin bukan tanpa alasan. Sebelum 1950 Cina masih tenggelam dalam perang saudara antara kaum nasionalis dan komunis, pasukan AS masih bercokol di Korsel dan ilmuwan Soviet belum berhasil mengembangkan bom nuklir layaknya Amerika Serikat. Ketika situasi tersebut mulai berubah, Stalin memberikan lampu hijau bagi invasi pada April 1950.
Foto: picture-alliance/dpa/Bildfunk
Kekuatan Militer Korut
Berkat Soviet, pada pertengahan 1950-an Korut memiliki 200.000 serdadu yang terbagi dalam 10 divisi infanteri, satu divisi kendaraan lapis baja berkekuatan 280 tank dan satu divisi angkatan udara dengan 210 pesawat tempur. Militer Korut juga dipersenjatai 200 senjata artileri, 110 pesawat pembom dan satu divisi pasukan cadangan berkekuatan 30.000 serdadu dengan 114 pesawat tempur dan 105 tank
Foto: AFP/Getty Images
Kekuatan Militer Korsel
Sebaliknya kekuatan militer Korea selatan masih berada jauh di bawah saudaranya di utara. Secara umum Korsel hanya berkekuatan 98.000 pasukan, di antaranya cuma 65.000 yang memiliki kemampuan tempur, dan belasan pesawat, tapi tanpa tank tempur atau artileri berat. Saat itu pasukan AS banyak terkonsentrasi di Jepang dan hanya menempatkan 300 serdadu di Korsel.
Foto: picture-alliance/dpa
Badai Komunis Mengamuk di Selatan
Pada 25 Juni 1950 sekitar 75.000 pasukan Korut menyebrang garis lintang 38° untuk menginvasi Korea Selatan. Hanya dalam tiga hari Korut yang meniru strategi Blitzkrieg ala NAZI Jerman merebut ibu kota Seoul dengan mengandalkan divisi lapis baja dan serangan udara. Pada hari kelima kekuatan Korsel menyusut menjadi hanya 22.000 pasukan
Foto: picture-alliance/dpa
Arus Balik dari Busan
Kendati AS mulai memindahkan pasukan dari Jepang ke Korsel, hingga awal September 1950 pasukan Korut berhasil menguasai 90% wilayah selatan, kecuali secuil garis pertahanan di sekitar kota Busan. Dari kota inilah Amerika Serikat dan pasukan PBB melancarkan serangan balik yang kelak mengubur impian Kim Il Sung menguasai semenanjung Korea.
Foto: Public Domain
September Berdarah
Di bawah komando Jendral Douglas MacArthur, pasukan gabungan antara AS, PBB dan Korea Selatan yang kini berjumlah 180.000 serdadu mulai mematahkan kepungan Korut terhadap Busan. Berbeda dengan pasukan Sekutu, Korut yang tidak diperkuat bantuan laut dan udara mulai kewalahan dan dipaksa mundur semakin ke utara.
Foto: Public Domain
Nasib Buruk Berputar ke Utara
Pada 25 September pasukan sekutu berhasil merebut kembali Seoul. Serangan udara dan artileri militer AS berhasil menghancurkan sebagian besar tank dan senjata artileri milik Korut. Atas saran Cina, Kim menarik mundur pasukannya dari selatan. Jelang Oktober hanya sekitar 30.000 pasukan Korut yang berhasil kembali ke utara.
Foto: Public Domain
Intervensi Mao
Ketika pasukan AS melewati batas demarkasi pada 1 Oktober, Stalin dan Kim mendesak Mao Zedong dan Zhou Enlai agar mengirimkan enam divisi invanteri Cina ke Korea. Soviet sendiri sudah menegaskan tidak akan menurunkan langsung pasukannya. Permintaan tersebut baru dijawab pada 25 Oktober, setelah serangkaian perjalanan diplomasi antara Beijing dan Moskow.
Foto: gemeinfrei
Mundur Teratur
Hingga November 1950 pasukan AS tidak hanya merebut Pyongyang, tetapi juga berhasil merangsek hingga ke dekat perbatasan Cina. Kemenangan AS terhenti setelah pasukan Cina yang berkekuatan 200.000 tentara mulai melakukan serangan balik. Intervensi tersebut menyebabkan kekalahan besar pada pasukan AS yang terpaksa mengundurkan diri dari Korea Utara pada pertengahan Desember.
Foto: Public Domain
Berakhir dengan Kebuntuan
Hingga Juli 1951 pasukan Cina dan AS masih bertempur sengit di sekitar perbatasan garis lintang 38°. Baru pada pertengahan tahun kedua pihak mulai mengendurkan serangan yang menyebabkan situasi buntu. Setelah kematian Josef Stalin, sikap Uni Soviet mulai melunak dan pada 27. Juli 1953 kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang masih berlaku hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Hilang Nyawa Terbuang
Pada akhir Perang Korea, sebanyak 33.000 pasukan AS dilaporkan tewas dalam pertempuran. Sementara Korsel melaporkan sebanyak 373.000 warga sipil dan 137.000 pasukan tewas. Sebaliknya Cina kehilangan 400.000 serdadu dan Korut 215.000 pasukan, serta 600.000 warga sipil. Secara umum angka kematian yang diderita kedua pihak mencapai 1,2 juta jiwa.
Foto: Public Domain
13 foto1 | 13
Upaya Cina tingkatkan pengaruh di Asia-Pasifik
Korea Selatan memang berharap bisa menjalin aliansi yang lebih dekat dengan kekuatan di Eropa. "Jelas bahwa Korea mencari keterlibatan yang lebih dekat dan lebih besar dengan negara-negara Barat dan itu jelas dapat ditelusuri kembali ke pecahnya perang di Ukraina, yang sangat mengejutkan negara ini," kata Rah Jong-yil, mantan diplomat dan perwira intelijen senior Korea Selatan. "Di bagian dunia ini, Cina tentu saja menjadi kekhawatiran besar, tapi kita juga harus mengawasi Korea Utara dan Rusia," ujarnya.
Sementara Seoul mencari sekutu dekat di Barat, Cina tampaknya melakukan serangan langkah diplomatiknya sendiri di Asia Tengah. "Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing telah menjangkau sejumlah negara di Timur Tengah dan Asia Tengah untuk membangun aliansinya sendiri, sehingga kedua belah pihak membangun kemitraan mereka dan bekerja untuk meningkatkan kepentingan mereka sendiri,” kata Rah Jong-yil.
Bersamaan dengan KTT G7 di Hiroshima, Beijing juga mengadakan KTT dengan lima negara Asia Tengah — Kazakstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan di kota Xi'an, Cina. Baru-baru ini Cina juga bertindak sebagai penengah antara Arab Saudi dan Iran yang selama ini saling bermusuhan.
Upaya Cina untuk meningkatkan pengaruhnya di Asia tidak akan luput dari perhatian di Seoul. "Korea Utara berada tepat di perbatasan dan merupakan ancaman militer paling akut dan langsung," kata Pinkston. "Tapi gambaran yang lebih besar adalah Selat Taiwan, Laut Cina Selatan, masalah hak asasi manusia dan masalah tata kelola global, dan semuanya kembali ke Cina. Itu akan menjadi tantangan ke depan." (hp/yf)