Dalam kunjungan ke Arab Saudi, Kanselir Jerman Olaf Scholz terutama ingin menjamin pasokan energi ke Jerman. Soal perlindungan hak asasi manusia kali ini bukan prioritas.
Iklan
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) pernah dikucilkan Barat setelah pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di Istanbul 2018. Sekarang kenaikan harga minyak dan krisis energi mengubah situasi. Presiden AS Joe Biden dan Presiden Prancis Emmanuel Macron telah bertemu dengan MBS tahun ini.
Sekarang giliran Kanselir Jerman Olaf Scholz menghadap MBS. Dia dijadwalkan bertemu putra mahkota di Riyadh hari Sabtu (24/9) selama kunjungan dua hari ke Teluk. Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar adalah dua pemberhentian lainnya.
Sementara banyak politisi Jerman dan kelompok hak asasi manusia secara terbuka meminta pemerintah Jerman dan Olaf Scholz tetap menyuarakan catatan hak asasi manusia yang buruk di Arab Saudi, direktur GIGA Institute of Middle East Studies Eckhart Woertz mengatakan prioritas Jerman memang sudah berubah.
"Prioritas bergeser" akibat perang di Ukraina
"Tentu saja ada sedikit kecenderungan untuk mengangkat isu hak asasi manusia ketika berhadapan dengan eksportir energi di Kawqasan Teluk saat ini. Tapi prioritas telah bergeser sebagai akibat dari perang Ukraina. Saya tidak pikir mereka akan terlalu tertekan, katakanlah seperti itu," kata Eckhardt Woertz kepada DW.
Iklan
Berlin saat ini memang mengharapkan bisa membuat kesepakatan energi jangka panjang seperti yang sudah ditandatangani dengan Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA) untuk menggantikan pasokan dari Rusia. Tetapi belum tentu kesepakatan semacam itu bisa dicapai dengan Arab Saudi.
"Arab Saudi menghasilkan banyak gas alam, tetapi mereka membutuhkannya untuk industrialisasi domestik mereka," kata Eckhart Woertz.
Arab Saudi memiliki cadangan gas alam terbesar kedelapan di dunia, setelah pemasok besar seperti Rusia, Iran dan Qatar. Tetapi ekonomi domestiknya juga membutuhkan gas dalam jumlah besar untuk pembangkit listrik, desalinasi air dan produksi industri.
Krisis Yaman Memburuk, Organisasi Kemanusiaan Kehabisan Uang
Perang di Yaman terus berlanjut. Namun, sejumlah organisasi kemanusiaan saat ini terancam kehabisan uang. Invasi Rusia di Ukraina berpotensi memperburuk keadaan di Yaman.
Foto: Mohammed Huwais/AFP/Getty Images
Kurangnya bantuan kemanusiaan
Krisis kemanusiaan di Yaman yang dilanda perang semakin memburuk. Menurut Program Pangan Dunia PBB (WFP), 13 juta orang di sana terancam kelaparan, lantaran perang saudara yang berkepanjangan dan kurangnya bantuan kemanusiaan.
Foto: Khaled Ziad/AFP/Getty Images
Sangat bergantung pada bantuan
Sejak awal pandemi COVID-19, semakin banyak orang yang kelaparan. Yaman adalah salah satu negara yang paling membutuhkan bantuan, dengan lebih dari 40% populasi bergantung pada bantuan WFP.
Foto: Khaled Abdullah/REUTERS
WFP kehabisan uang
"Kami memberi makan 13 juta orang dari negara berpenduduk 30 juta orang dan kami kehabisan uang," kata David Beasley, Kepala WFP, kepada Associated Press belum lama ini. "Jadi, apa yang akan saya lakukan untuk anak-anak di Yaman? Mencurinya dari anak-anak di Etiopia, atau Afganistan, atau Nigeria, atau di Suriah? Itu tidak benar," katanya.
Foto: Giles Clarke/UNOCHA/picture alliance
Paket bantuan tidak lengkap
Saat ini sekitar lima juta orang terancam mati akibat kelaparan, kata Corinne Fleischer, Direktur WFP untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Sumbangan bantuan kemanusiaan sejauh ini hanya mencakup 18% dari hampir $2 miliar (Rp28,6 triliun) yang dibutuhkan WFP untuk misinya di Yaman.
Foto: Mohammed Mohammed/XinHua/dpa/picture alliance
Perang Ukraina memperburuk krisis kelaparan
Invasi Rusia berpotensi memperburuk keadaan di Yaman karena WFP memperoleh sekitar setengah dari gandumnya dari Ukraina. Bahkan sebelum perang dimulai, harga gandum telah meningkat tajam. Bank Dunia mengingatkan bahwa perang Ukraina akan mendorong krisis kelaparan yang lebih buruk.
Foto: AHMAD AL-BASHA/AFP/Getty Images
Perang saudara yang berkepanjangan
Perang saudara di Yaman telah berlangsung selama tujuh tahun. Sejak 2015, koalisi pimpinan Arab Saudi memerangi pemberontak Houthi yang didukung Iran, yang saat ini menguasai sebagian besar wilayah di Yaman, termasuk ibu kota, Sanaa.
Foto: imago images/Xinhua
Kekacauan di Aden
Wilayah selatan Aden dikendalikan sepenuhnya oleh separatis sejak 2020 dan telah menjadi basis pemerintah yang diakui secara internasional, dipimpin oleh Abed Rabbo Mansour Hadi, sejak Houthi menyingkirkannya keluar dari Sanaa.
Foto: Wael Qubady/AP Photo/picture alliance
Tidak ada tempat berlindung
Kota Marib dianggap strategis karena merupakan benteng terakhir dari pemerintah yang diakui secara resmi di utara. Pertempura tengah berlangsung di sini, di mana Saudi terus-menerus mengebom daerah tersebut. Warga sipil terpaksa terus memindahkan kamp pengungsi mereka karena garis depan terus bergeser.
Foto: AFP /Getty Images
Rumah sakit penuh
Sistem kesehatan di Yaman bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Perang yang sedang berlangsung dan pandemi COVID-19 hanya membuat segalanya lebih mengerikan di negara termiskin di semenanjung Arab itu.
Foto: Abdulnasser Alseddik/AA/picture alliance
Sekolah dibom
Dalam laporan tahun 2021, UNICEF mengatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu korban terbesar perang Yaman. Lebih dari 2 juta anak perempuan dan laki-laki usia sekolah tidak dapat mengenyam pendidikan. Banyak sekolah hancur dibom.
Foto: Mohammed Al-Wafi /AA/picture alliance
Rangkaian kesengsaraan
Listrik, air bersih, dan bahan bakar - selalu ada sesuatu yang kurang di Yaman. Antrean di SPBU semakin panjang. Tanpa dana kemanusiaan yang lebih banyak, rangkaian kesengsaraan ini hanya akan berlanjut. (ha/yf)
Foto: Mohammed Huwais/AFP/Getty Images
11 foto1 | 11
Industri Jerman perlu pasar ekspor baru
Ekspor Jerman ke Arab Saudi telah turun hampir setengahnya antara tahun 2015 dan tahun 2021, dari 9,9 miliar euro menjadi 5,5 miliar euro. Tahun ini diperkirakan malah akan lebih rendah lagi, menurut badan perdagangan luar negeri GTAI. Sementara kawasan Teluk masih membeli banyak mesin industri buatan Jerman, sekarang ada persaingan ketat dari Cina.
Produsen mobil Jerman juga ingin meningkatkan penjualan di pasar mobil Timur Tengah, terutama karena transisi ke elektromobilitas semakin cepat. Pasar Saudi saat ini didominasi oleh merek mobil Jepang dan Korea seperti Toyota dan Hyundai, yang masing-masing memiliki 30% dan 20% pangsa pasar. Kedua paberikan juga cukup maju dalam reiset dan pengembangan kendaraan listrik. Penjualan kendaraan dan suku cadang Jerman ke Arab Saudi tahun 2015 pernah mencapai 1,6 miliar euro, tahun 2021 turun menjadi hanya 0,9 miliar euro.
Enam tahun lalu, pemerintah Jerman pernah mengumumkan Visi 2030, yang ambisinya mencakup delapan mega proyek, termasuk rencana membangun mega zona pariwisata dan perdagangan di tepi Laut Merah bernama Neom.
Olaf Scholz akan disertai delegasi bisnis Jerman dalam kunjungannya ke Kawasan Teluk, kemungkinan besar termasuk perwakilan produsen senjata. Penjualan senjata Jerman ke Saudi tahun lalu memang sangat kecil, setelah mencapai puncaknya pada 2012 dengan nilai 1,24 miliar euro. Tapi sejak 2018 Jerman melarang penjualan senjata ke Riyadh, karena Arab Saudi memimpin aliansi militer berperang di negara tetangga Yaman.