Jerman Jadi Negara Tujuan Mayoritas Pencari Suaka di Eropa
3 Januari 2022
Uni Eropa (UE) mengatur bahwa pencari suara mengajukan permohonan ketika pertama kali tiba di negara kedatangan. Sebagian besar aplikasi di Jerman berasal dari mereka yang gagal mendaftar di negara-negara UE lainnya.
Iklan
Surat kabar Jerman Welt am Sonntag melaporkan pada hari Minggu (02/02) bahwa mayoritas permohonan suaka di Jerman pada tahun 2021 berasal dari orang-orang yang tidak terdaftar di perbatasan luar Uni Eropa (UE).
Dikutip dari data Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF) menunjukkan bahwa sebanyak 53% pelamar kali pertama yang berusia 14 tahun ke atas tidak terdaftar di basis data sidik jari Eurodac selama 11 bulan pertama tahun 2021.
Dari 74.837 data sidik jari pemohon yang memenuhi kriteria lalu dibandingkan dengan basis data UE, yang menunjukkan bahwa 35.245 pemohon sebelumnya telah mengajukan status pengungsi.
Secara total, sebanyak 172.370 klaim suaka, termasuk anak-anak, telah diajukan di Jerman dari Januari hingga November 2021.
Eurodac didirikan pada tahun 2003 untuk menangani identifikasi sidik jari setiap orang yang mengajukan permohonan suaka di negara UE mana pun. Banyak orang dilaporkan datang tanpa memiliki dokumen fisik identifikasi diri di blok itu.
Iklan
Suaka harus diajukan pada saat kedatangan
Data BAMF mengungkapkan bahwa banyak pengungsi di Jerman belum mengajukan klaim suaka ketika mereka pertama kali menginjakkan kaki di tanah UE, seperti di Yunani, Italia, Polandia, atau Lithuania yang berada di perbatasan darat atau laut blok tersebut.
Di bawah peraturan Dublin III UE, aplikasi suaka harus didaftarkan di negara kedatangan, yang kemudian bertanggung jawab untuk memproses permintaan perlindungan orang tersebut.
Salah satu prinsip dari peraturan tersebut adalah untuk mencegah pendaftaraan aplikasi suaka yang sama di beberapa negara UE.
Namun, negara-negara di Eropa selatan dan timur mengeluh bahwa mereka menanggung beban yang lebih berat, ketika sebagian besar pemohon suaka lebih suka mengungsi di negara-negara kaya di Eropa barat dan utara.
Skenario itu juga telah dicap tidak dapat dijalankan, karena sebagian besar pengungsi berpindah antara negara-negara UE dan pemohon suaka jarang kembali ke negara kedatangan mereka.
Karena Jerman tidak terletak di perbatasan eksternal UE, di bawah aturan Dublin jumlah klaim suaka di sana seharusnya jauh lebih rendah.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Jerman menerima lebih banyak pemohon
Data dari badan statistik UE Eurostat menunjukkan persentase Jerman dari semua klaim suaka yang dibuat di UE adalah 28,4%, sementara Prancis sebesar 20%, Spanyol sebesar 11%, dan Italia sebesar 8%.
Alexander Throm, juru bicara blok kanan-tengah di parlemen Jerman, Bundestag, mengatakan data tersebut "secara drastis menunjukkan disfungsi sistem Dublin."
Kepada Welt am Sonntag, Throm mengatakan bahwa pendaftaran dan pemulangan pencari suaka adalah prinsip dasar sistem suaka UE. Throm meminta pemerintah koalisi baru Jerman untuk menuntut kepatuhan yang lebih baik terhadap aturan Dublin.
"Membebaskan negara-negara Uni Eropa lainnya dengan redistribusi secara tidak proporsional meskipun ada kekurangan pendaftaran, seperti yang dibayangkan oleh perjanjian koalisi, adalah sinyal yang salah," kata Throm.
Perjanjian koalisi pemerintah Jerman menyerukan kebijakan migrasi "berwawasan ke depan dan realistis" dan menambahkan bahwa "migrasi tidak teratur" harus dikurangi.