Penangkapan wartawan Al Jazeera Mansour di Berlin jadi sorotan dalam sejumlah harian Jerman. Dipertanyakan, apakah landasan penangkapan itu cocok dengan citra demokrasi di Jerman yang menjunjung kebebasan pers.
Iklan
Landasan hukum penangkapan Ahmed Mansour wartawan Al Jazeera yang kritis dan terkenal amat vokal mengritik rezim di Mesir menjadi pertanyaan sejumlah harian di Jerman. Disebutkan Interpol sudah menolak permohonan kehakiman di Kairo untuk mengeluarkan perintah buron internasional. Apakah Jerman siap menanggung risiko runtuhnya citra negara demokrasi?
Harian Stuttgarter Zeitung yang terbit di Stuttgart dalam tajuknya menulis: penangkapan ini bukan rapor bagus bagi demokrasi Jerman. Penangkapan spektakuler wartawan kritis Al Jazeera oleh aparat keamanan di Berlin amat cocok dalam gambaran demokrasi Jerman yang amat meragukan ini. Juga jika nantinya polisi membatalkan ekstradisi Ahmed Mansour kepada kehakiman yang sewenang-wenag di Mesir. Walau demikian, prosedur semacam ini melontarkan pertanyaan terhadap demokrasi di Jerman yang disebut-sebut tahan uji dan mantap. Terlihat bahwa kepentingan ekonomi dengan penguasa di Mesir lebih diutamakan. Dampaknya adalah runtuhnya kepercayaaan terhadap demokrasi di Eropa.
Harian Kölner Stadt Anzeiger juga secara senada menulis tajuk yang cukup kritis terkait penangkapan wartawan kenamaan Al Jazeera itu. Harian yang terbit di Köln ini berkomentar: Hingga kini masih tetap sulit dipercaya, bahwa diplomasi Jerman nyaris tersandung kunjungan penguasa Mesir Abdel Fattah Al-Sisi belum lama ini ke Berlin. Penangkapan wartawan Al Jazeera Ahmed Mansour cocok ke dalam citra diplomasi Jerman ini. Pasalnya, penguasa Mesir itu siap berbelanja dan mengeluarkan uang dalam jumlah besar bagi ekonomi Eropa. Akibatnya, budaya demokrasi di Eropa khususnya di Jerman kini juga diobral.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Majalah berita Der Spiegel versi Online bereaksi senada. Dengan mengutip sejumlah politisi menulis: Aparat kehakiman jangan sampai terjebak menjadi kepanjangan tangan dari sistem kehakiman Mesir yang menjadi instrumen pengendali politik dari penguasa. Kehakiman di Kairo tidak independen. Pemerintah Jerman harus memperhatikan kenyataan ini.
Sementara Die Welt versi Online dalam reaksinya mengutip Al Jazeera, menuntut pembebasan wartawan tersebut. Berlin jangan sampai menjadi kawan sekomplotan dengan aparat kehakiman Mesir yang terus melakukan intimidasi dan pengejaran terhadap awak media. Mengutip reaksi para politis, Die Welt juga menulis, sistem hukum di Mesir berpijak pada landasan yang goyah dan meragukan. Karena itu kehakiman di Berlin jangan sampai menjadi pembantu dari rezim sewenang-wenang di Kairo.