Badan Perlindungan Konstitusi Jerman aktif dalam hal pengawasan internet. Tetapi yang jadi skandal adalah, bukannya dinas rahasia melainkan wartawan yang dituduh mengkhianati negara. Opini Martin Muno.
Iklan
Bahwa kita hidup di masa pengawasan dinas rahasia, sudah jadi kenyataan yang pahit yang mewarnai hidup sehari-hari sejak kegiatan dinas rahasia AS diungkap Edward Snowden. Bahwa tidak seorangpun lolos dari pengawasan ini juga sudah jelas, sejak kita tahu, bahwa telefon seluler Kanselir Jerman Angela Merkel disadap oleh Dinas Rahasia AS, NSA.
Tapi belum jelas, sejauh mana pemerintah Jerman mengetahui aktivitas NSA, dan sejauh mana pemerintah menolerir atau bahkan memberikan dukungan. Tetapi munculnya dugaan, bahwa pemerintah Jerman membantu kekuatan luar untuk memata-matai warga negaranya sendiri sudah tidak bisa diterima dan harus dijelaskan sebaik mungkin.
Tetapi penyelidikan itu tidak sepenuh hati dilakukan Jaksa Agung Harald Range, lalu dengan cepat dihentikan kembali. Tetapi ada dua penyelidikan yang dilaksanakan Kejaksaan Agung terhadap dua wartawan yang menulis di blog "Netzpolitik.org", dengan dugaan mereka berkhianat terhadap negara. "Netzpolitik.org" memberitakan tentang rencana Badan Perlindungan Konstitusi untuk memperluas pengawasan internet dalam dua artikelnya. Selain itu, blog ini menerbitkan sejumlah dokumen dari dinas rahasia, yang dikategorikan rahasia. Oleh sebab itu badan Perlindungan Konstitusi mengajukan tuntutan.
Membahayakan negara hukum
Sebenarnya masih terlalu hati-hati untuk menyebut kasus ini sebuah skandal. Jika Badan Perlindungan Konstitusi tidak mengambil langkah apapun terhadap dalang spionase yang memata-matai rakyat, melainkan mengajukan tuntutan terhadap mereka yang mengungkap hal ini kepada masyarakat, maka badan itu tidak melindungi ide demokrasi di sebuah negara hukum, melainkan membahayakannya.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Nampaknya di tahun 2015 orang harus seeksplisit mungkin menunjukkan, bahwa hak privasi rakyat tidak boleh disentuh di negara hukum, demikian halnya dengan kebebasan pers. Jadi jika Badan Perlindungan Konstitusi dan Kejaksaan Agung mengambil langkah-langkah ekstrem terhadap wartawan, itu tak lain dan tak bukan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers.
"Skandal Spiegel 2.0"
Proses ini makin terasa pedas, karena ada tuduhan mengkhianati negara. Proses pengadilan terakhir soal pengkhianatan negara digelar 50 tahun lalu. Sasarannya sama seperti kali ini, yaitu laporan kritis wartawan. Proses ini dikenal dengan sebutan "Skandal Spiegel".
Untuk mengingatkan: majalah Jerman "Der Spiegel" musim gugur 1962 menerbitkan sebuah artikel yang memberitakan dengan kritis politik perdagangan senjata pemerintah Jerman ketika itu. Beberapa wartawan kemudian diselidiki karena diduga mengkhianati negara. Sebagian bahkan ditangkap. Penerbit Rudolf Augstein sempat mendekam di penjara selama 103 hari.
Di banyak lokasi kemudian terjadi protes dan demonstrasi. Akhir skandal ini dikenal semua orang: dua pejabat tinggi dipecat, dan Menteri Pertahanan Franz Josef Strauß terpaksa mengundurkan diri. Kebebasan pers jadi semakin kuat di Jerman.
Karena itu, sekarang masih ada harapan, bahwa "Skandal Spiegel" yang kedua akan berakhir demikian juga.